Sandera Tembok Perbatasan Trump
Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah.
Peribahasa asli Indonesia tersebut sangat tepat menggambarkan situasi AS saat ini. Kongres menolak permintaan anggaran Presiden Trump sebesar 5,7 miliar dollar AS untuk membangun tembok perbatasan AS dan Meksiko. Hal itu memicu tertahannya anggaran AS tahun fiskal 2019 yang mengakibatkan berhentinya beroperasi pemerintahan Federal AS, shutdown.
Terhitung sejak 22 Desember 2018, shutdown di AS belum juga berhenti sampai tulisan ini ditayangkan sehingga memecahkan rekor baru. Akibatnya, 320.000 pegawai dinas Federal dirumahkan dan tidak dibayar, bahkan 400.000 pegawai harus tetap bekerja tanpa menerima gaji.
Tersandera di Kongres
Shutdown yang terjadi di AS ini memang khas. Artinya, konsekuensi dari ditahannya anggaran pemerintah tidak terjadi di negara lain. Hal ini dapat dipahami dari sistem pemerintahan AS yang menganut sistem bikameral, yakni dua majelis dalam satu parlemen, Senat dan DPR.
Pascapemilu sela November 2018, komposisi di Kongres AS berubah. Partai pengusung pemerintah, Republik, menguasai Senat AS dengan 52 kursi, sedangkan Demokrat hanya memiliki 45 kursi, ditambah 2 kursi independen yang mendukung Demokrat. Sebaliknya, di DPR, Demokrat menjadi mayoritas karena unggul dengan total 235 kursi dibandingkan Republik dengan 199 kursi. Oleh karena itu, Republik memerlukan dukungan dari partai oposisi untuk menyetujui kebijakan pemerintah, termasuk anggaran untuk tahun fiskal 2019.
Karena sistem dua majelis dalam parlemen (bikameral) ini juga dianut oleh negara-negara lain, secara teoretis situasi shutdown juga dapat terjadi di negara-negara tersebut, terutama di negara yang terpengaruh dengan sistem parlemen gaya Westminster Inggris. Akan tetapi, bentuk shutdown di negara-negara lain berarti jatuhnya pemerintahan karena tidak didukung oleh parlemen.
Di negara-negara demokrasi lain, penganggaran sering kali dijadikan tanggung jawab pemerintah yang sedang berkuasa. Sehingga ketika parlemen menolak anggaran yang diajukan pemerintah, hal tersebut dapat langsung berarti mosi tidak percaya. Akibatnya, pemerintah negara tersebut harus mundur dan negara dikelola oleh pemerintahan sementara sampai pemerintahan baru berhasil dibentuk. Hal ini tidak terjadi di AS karena kuatnya institusi pemerintah, yang bahkan memiliki hak veto.
Akan tetapi, tiadanya pemerintahan yang sah di negara-negara tersebut tidak mengacaukan penganggaran rutin, terutama untuk belanja pegawai negeri. Hal itu disebabkan karena sistem hukum kepegawaian di negara-negara lain dibuat agar tidak dengan mudah merumahkan aparatur sipil negara semata karena perdebatan politik.
Situasinya menjadi berbeda di AS. Penganggaran di AS harus disetujui oleh tiga per lima anggota Kongres, Senat dan DPR. Sementara sistem di kebanyakan negara hanya mensyaratkan mayoritas sederhana dengan 50 persen suara plus satu. Ketika Kongres tidak menyetujui anggaran yang diajukan pemerintah, pemerintahan akan shutdown diikuti dengan berhentinya layanan dinas Federal AS. Situasi tersebut telah terjadi dalam 40 tahun terakhir.
Sejak The Anti-Deficiency Act diundangkan 1884, dinas Federal sebenarnya tidak dapat melanjutkan kegiatan apabila tidak didukung pendanaan yang disetujui Kongres. Akan tetapi, praktik tersebut tidak terjadi begitu saja. Dalam sejarah, dinas Federal tetap beroperasi walau anggaran tak disetujui Kongres.
Interpretasi terhadap aturan tersebut dipertajam pada tahun 1980-an. Kegiatan dinas Federal akan dihentikan apabila tidak terjadi kesepakatan terhadap anggaran di Kongres. Sejak saat itu, mulai terjadi beberapa shutdown, mulai dari beberapa jam hingga beberapa minggu.
Rekor shutdown paling lama sebelum Trump adalah Presiden Clinton pada 1996 sebanyak 21 hari. Disusul Presiden Jimmy Carter pada 1978, yaitu 18 hari dan ketiga Barrack Obama pada 2013, yaitu 16 hari.
Dipicu Pembangunan Tembok
Pembangunan tembok menjadi kata kunci fenomena shutdown AS kali ini. Walaupun hanya setara dengan 0,11 persen dari total anggaran federal AS tahun 2019, Kongres tetap tak merestui proposal Trump. Ketidaksepemahaman akhirnya mengakibatkan anggaran macet dan Pemerintah Federal tak bisa beroperasi.
Pembangunan tembok perbatasan sebenarnya telah dimulai oleh Trump sejak 2017. Dua tahun lalu, dengan alokasi sebesar 292 juta dollar AS, Kementerian Dalam Negeri AS ditargetkan membangun 65 kilometer tembok pembatas di wilayah El Paso, El Centro, dan San Diego dengan spesifikasi tinggi sekitar 9 meter dan kedalaman fondasi 2 meter.
Pada awal 2018, Trump juga menganggarkan 23 miliar dollar AS untuk membangun tembok perbatasan dengan Meksiko sepanjang 105 kilometer di selatan Texas. Trump juga memfokuskan anggaran bagi peningkatan kapasitas penjara untuk imigran agar bisa menampung 47.000 orang dan tambahan 571 juta dollar AS untuk merekrut 2.000 petugas imigrasi dan 750 petugas keamanan perbatasan.
Hingga awal 2019, beberapa bagian dari proyek pembangunan tembok perbatasan, seperti di sektor San Diego, Rio Grande Valley, El Centro, Yuma, dan Tukson telah selesai digarap. Biaya yang dikeluarkan oleh Pemerintah AS dalam membangun tembok ini tidaklah murah.
Tahun lalu, untuk menyelesaikan sekitar 129 kilometer tembok pembatas, pemerintah AS menganggarkan dana sebesar 1,38 miliar dollar AS. Jika tahun ini akhirnya Kongres menyetujui proposal pembangunan tembok, Pemerintah AS akan mengeluarkan total 7,4 miliar dollar AS selama 3 tahun berjalannya pembangunan.
Argumentasi Trump
Tekad Presiden Trump membangun tembok sudah bulat. Trump menyampaikan kekhawatirannya akan situasi di wilayah perbatasan AS dan meminta dukungan publik. Dalam pidatonya yang disiarkan langsung televisi pada Selasa (9/1/2019), Trump mengklaim bahwa AS sedang dilanda krisis kemanusiaan.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa para imigran gelap masuk dari perbatasan Meksiko dan mengancam AS dengan berbagai perilaku kriminal, seperti penyelundupan narkoba, pemerkosaan, hingga pembunuhan. Ia percaya, satu-satunya jalan keluar dari permasalahan tersebut ialah dengan membangun tembok pembatas.
Pembangunan tembok perbatasan merupakan salah satu janji kampanye Trump saat Pilpres 2016. Namun, gagasan tersebut ditolak kubu Demokrat. Penolakan didasarkan pada argumen bahwa AS memiliki prioritas lain dalam pemakaian anggaran, terutama untuk memberdayakan warga miskin. Selain itu, saat kampanye Trump menyatakan bahwa pembangunan tembok sepanjang 3.200 kilometer akan dibebankan kepada Meksiko.
Jadi, bukan hanya masalah besar kecilnya anggaran pembangunan tembok yang dipermasalahkan Kongres AS. Selain janji beban anggaran pembangunan tembok kepada Meksiko, beberapa fakta juga berlawanan dengan yang disampaikan Trump.
Ketidaksinkronan pertama terlihat saat melihat data jumlah imigran gelap yang tertangkap di perbatasan. Menurut data dari United States Border Patrol, imigran gelap yang tertangkap saat menyeberang melalui perbatasan darat tahun lalu justru yang paling sedikit selama hampir 50 tahun terakhir.
Tahun lalu, 403 ribu imigran gelap ditangkap di perbatasan AS. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan rata-rata 800 ribu migran gelap yang ditangkap satu dekade lalu. Tren ini berkebalikan dengan apa yang selama ini Trump ucapkan saat berpidato tentang tembok perbatasan.
Trump juga mengkhawatirkan perilaku kriminal yang dilakukan para imigran gelap. Namun, jika mengacu pada United States Border Patrol, jumlah imigran gelap dengan catatan hitam tindak kriminal dan buron yang tertangkap semakin menurun dalam 3 tahun terakhir. Petugas perbatasan AS hanya menemukan sekitar 8 ribu tindak kriminal pada tahun 2017 dan turun menjadi sekitar 6 ribu hingga akhir Agustus 2018.
Demikian juga soal narkoba. Trump menyatakan bahwa imigran gelap dari Meksiko akan membanjiri AS dengan narkoba, terutama heroin. Bahkan, ia mengklaim bahwa 90 persen heroin yang disita oleh pihak kepolisian AS merupakan barang dari para imigran gelap yang masuk melalui jalur darat.
Namun, klaim dari Trump tersebut berbeda dengan data yang terpublikasi. Walaupun tren jumlah narkoba sitaan petugas perbatasan meningkat dalam beberapa tahun terakhir, tetapi bukan berarti tembok perbatasan dapat menjadi solusi.
Nyatanya, sebagian besar narkoba masuk ke AS melalui berbagai jalur, baik darat, laut dan udara. Selain itu, sebagian besar barang ilegal itu pun diselundupkan bersama dengan barang-berang resmi yang dilengkapi dokumen, bukan dibawa oleh imigran gelap.
Rakyat yang Menjadi Korban
Hasil pemilu sela pada November 2018 mengubah peta politik di Kongres AS yang sebelumnya dikuasai Republik. Negosiasi yang diajukan tentu saja harus mengakomodasi suara Kongres yang kini dikuasai Demokrat.
Setelah hari ke-24, Trump yang didukung penuh oleh Partai Republik masih bersikukuh dengan proposalnya dan menyalahkan terjadinya shutdown kepada Demokrat. Akibatnya, shutdown masih terjadi dan mengakibatkan hampir 800.000 pegawai dinas Federal bekerja tanpa mendapatkan upah.
Banyak pengamat memperkirakan bahwa tindakan Trump untuk bersikukuh dengan isu tembok perbatasan merupakan upaya untuk menaikkan posisi di kalangan pendukungnya serta mengarahkan kesalahan kepada Demokrat. Pandangan tersebut dapat dipahami mengingat seringkali, baik Kongres maupun presiden menggunakan shutdown sebagai upaya meraih tujuan politik, bukan demi efisiensi maupun perhatian terhadap budget secara umum.
Akan tetapi, durasi shutdown yang telah mencapai lebih dari 3 minggu ini berpengaruh ke seluruh negeri. Para pegawai yang harus bekerja tanpa digaji mulai mencari pekerjaan sampingan. Akibatnya, layanan utama mereka tidak dapat berjalan dengan baik.
Berbagai sektor layanan publik langsung terimbas penutupan layanan Federal. Sektor kesehatan menjadi salah satu sorotan karena hampir 50% pegawai dinas Makanan dan Obat AS (FDA) telah dirumahkan. Dikhawatirkan persoalan kesehatan meluas di AS. Kekhawatiran tersebut muncul karena FDA telah menghentikan beberapa inspeksi terhadap makanan, termasuk buah, daging, sayuran, dan makanan laut.
Di luar sektor kesehatan dan sektor publik lain, akibat shutdown juga dirasakan oleh perusahaan swasta yang memiliki kontrak dengan pemerintah Federal. Mereka juga tidak dapat menggaji pegawainya karena belum mendapatkan anggaran dari rekanan mereka, pemerintah Federal.
Di sisi lain, sebagai pilar keempat demokrasi, media-media di AS menyikapi shutdown dengan aneka cara. Salah satunya dengan berbela rasa dengan rakyat yang menjadi korban. Beberapa media berpengaruh di AS, seperti The Washington Post serta The New York Times, membuka layanan laporan imbas shutdown. Pembaca dari segala kalangan diminta untuk menceritakan pengalaman mereka yang terimbas langsung dari berhentinya layanan dinas Federal AS.
Perdebatan di Kongres yang memicu shutdown dilakukan oleh mereka yang dipilih rakyat, entah anggota Senat, DPR, maupun Trump. Namun, akibatnya, rakyat yang terkena imbasnya. Inilah jalan yang dipilih dan sedang dipertaruhkan oleh politisi AS saat ini. (RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS)