Peristiwa Malari Tinggalkan Pelajaran Penting bagi Demokrasi
Oleh
Andy Riza Hidayat
·5 menit baca
Malapetaka Lima Belas Januari 1974 atau Malari sudah terjadi 45 tahun lalu. Meski begitu, peristiwa itu meninggalkan pelajaran penting untuk mewujudkan demokrasi yang lebih baik. Demokrasi yang dimaksud hadir tanpa mengedepankan politik identitas dan tersebarnya berita bohong. Jika hal ini terwujud, bukan hal mustahil pembangunan lebih dirasakan rakyat.
”Mengembalikan Demokrasi” menjadi tema utama dalam acara mengenang 45 tahun peristiwa Malari sekaligus ulang tahun ke-19 Indonesia Democracy Monitor (InDemo) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (15/1/2019) malam. Acara peringatan peristiwa Malari itu dimeriahkan pameran sketsa dan karikatur Alex Dinuth, drama sajak-sajak Rendra dari Komunitas Guntur 49, pidato politik Hariman Siregar, dan penampilan musik dari Glenn Fredly.
Aktivis sekaligus Ketua Dewan Mahasiswa UI saat peristiwa Malari, Hariman Siregar, mengatakan, kini Indonesia terbelah menjadi dua kubu besar menjelang Pemilu 2019. Perbedaan politik itu tidak seharusnya membuat Indonesia terpecah dan saling menyerang dengan berbagai isu negatif yang dapat menimbulkan gesekan.
”Sekarang yang kita dengar hanya dari kubu A yang mengatakan ini, kubu B seperti itu, hoaks bertebaran. Dunia (Indonesia) seperti hanya milik dua kubu. Kedewasaan masyarakat akan diuji pada pemilu, apakah pasangan calon dan para pendukungnya yang kalah mau mengakui kekalahannya,” kata Hariman.
Demokrasi Indonesia, menurut Hariman, akan menjadi tantangan besar dan berat. Karena itu, perlu sikap pribadi yang demokratis dari para elite politik yang ikut kontestasi saat ini. ”Merangkul yang kalah dan mendukung pemerintahan terpilih. Membuka satu identitas baru, yaitu Indonesia satu, menjadi negara besar,” ujarnya.
Ia berharap, siapa pun yang menjadi presiden RI mampu memanfaatkan berbagai potensi yang ada dan mampu menjadi pemimpin bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penyanyi Glenn Fredly memulai penampilan dengan membagi pandangannya. Di depan ratusan pengunjung, ia mengatakan, perbedaan tidak seharusnya menjadi pembatas. Semua warga bangsa adalah saudara meski berbeda agama dan pandangan politik.
Jangan menyalahkan generasi muda menjadi apatis karena kebencian yang terus disebar dan dituai...
Glenn bercerita tentang pengalamannya atas peristiwa konflik horizontal Ambon, Maluku. Tragedi itu menjadi peristiwa kelam di Indonesia karena membawa derita dan kesedihan bagi semua orang.
”Saat berangkat, di dalam pesawat orang-orang melepas rindu. Begitu sampai di Ambon (bandara), saya dan semua penumpang harus mengeluarkan KTP, kaum Nasrani dan Muslim harus dipisahkan. Buat saya, itu adalah sebuah pertanyaan besar, apakah Bhinneka Pancasila hanya terjadi di Pulau Jawa? Di mana arti persaudaraan?” kata Glenn.
Dari kejadian kelam itu, masyarakat Indonesia bisa melihat dan mengambil pembelajaran penting. Menurut Glenn, tahun 2019 tidak hanya bicara tentang demokrasi. Selama polarisasi dan politisasi agama dibuat untuk meraih kekuasaan, maka konflik-konflik horizontal yang pernah terjadi di Indonesia tidak menjadi pembelajaran bagi masyarakat dan elite politik.
”Seperti yang dikatakan Gus Dur, ketika kamu berbuat baik, orang tidak akan menanyakan apa agamamu. Saya percaya generasi saat ini tidak mau diwarisi dendam dan kebencian,” ujar Glenn.
Ia melanjutkan, jangan menyalahkan generasi muda menjadi apatis karena kebencian yang terus disebar dan dituai. Akhirnya mereka kehilangan figur-figur yang berbicara tentang kebangsaan, membangun demokrasi dengan kewarasan, dan membangun peradaban dengan pola pikir yang merangkul perbedaan.
Glenn berharap ada pendidikan demokrasi di Indonesia sehingga demokrasi menjadi cara berpikir, melihat, dan bertindak untuk kepentingan bersama masa depan Indonesia.
Refleksi Malari untuk demokrasi
Kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanakan di Jakarta pada 14 Januari dalam rangka safari diplomatik Asia Tenggara disambut protes dari mahasiswa di luar kompleks Bandara Halim Perdanakusuma. Isi protes tersebut menolak Jepang mendominasi perekonomian Indonesia.
Hariman Siregar sebagai Ketua Dewan Mahasiswa (Dema) Universitas Indonesia bersama dema perguruan tinggi lain berunjuk rasa menentang konsep pembangunan Orde Baru yang menurut dia mengutamakan pertumbuhan dan melupakan pemerataan.
Para mahasiswa membawa tiga tuntutan yang dinamakan Tritura Baru 1974, yaitu bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri), turunkan harga, dan ganyang korupsi. ”Saat itu, kami tidak menolak pemodal asing. Namun, menolak investasi modal asing yang tidak bersentuhan langsung pada kesejahteraan rakyat,” kata Hariman.
Unjuk rasa Hariman dan kawan-kawan berakhir ricuh. Tercatat setidaknya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, dan 775 orang lain ditahan aparat. Pada saat yang sama, 807 mobil dan 187 sepeda motor terbakar, 144 bangunan rusak, serta 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng ”kening”-nya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara. Malu yang tak tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang atau golongan serta menerapkan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah.
Selanjutnya, ia amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria ”pernah jadi ajudan Presiden”. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental. Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis. (KOMPAS, 18/1/2014)
Setelah rusuh Malari 1974, sebanyak 775 aktivis ditangkap, termasuk Hariman Siregar yang dipenjara dua tahun enam bulan. Hariman mengatakan, kritik mahasiswa pada 1974 sebagai bentuk kesadaran atas pertumbuhan ekonomi yang dilandaskan pada utang. ”Lawan demokrasi adalah kemiskinan. Tanpa berpihak pada rakyat kecil, Indonesia tidak akan maju karena jerat utang,” ujarnya.
Kekhawatiran Harminan dan teman-teman aktivis lainnya terbukti pada 1997. Indonesia dilanda krisis ekonomi dan krisis multidimensional karena utang yang menumpuk dan penyalahgunaan kekuasaan.
Tahun 1998 akhir dari masa Orde Baru, harapan besar untuk membangun Indonesia baru dari keterpurukan. Semangat itu terpatri, begitu yang ada di benak Hariman dan tentu bagi segenap masyarakat. Tak ayal, perjalanan panjang reformasi ternyata meninggalkan pekerjaan rumah yang besar.
Atas nama demokrasi, bebas berpendapat dan bersuara menjadi pisau bermata dua bagi Indonesia. Terlalu bebas sampai tidak ada batas antara kebenaran dan kebohongan.
Menurut Hariman, tugas pemimpin Indonesia kelak tidak mudah, tetapi perlu mendapat dukungan dan bersama rakyat pula perlu melepas sekat atas perbedaan untuk menjadi Indonesia yang maju.
Oleh karena itu, Indonesia butuh pemimpin yang memahami hakikat demokrasi. Hariman mengatakan, bukan hanya demokrasi prosedural, melainkan juga pemimpin yang mampu secara hakikat menyejahterakan rakyat dengan pemerataan pembangunan.
”Rakyat seharusnya menjadi poros utama demokrasi. Rakyat jangan hanya dilihat elite politik ketika pesta pemilu datang lima tahun sekali. Setelah itu rakyat diajak tidur, dan berselingkuh,” tuturnya. (E20/Aguido Adri)