Debat dari Pemilu ke Pemilu
Debat calon presiden-wakil presiden mulai mewarnai Pemilu Presiden di Tanah Air sejak 2004. Dari Pemilu ke Pemilu, debat terus berevolusi. Namun tak pernah menuju ke arah debat sesungguhnya. Bahkan di Pemilu Presiden 2019, arah evolusi semakin menjauh dari debat seharusnya.
Saat regulasi Pemilu disusun sebagai dasar hukum penyelenggaraan Pemilu 2004, isu debat calon presiden-wakil presiden menjadi salah satu isu yang alot diperdebatkan.
Saat itu, PDI-P menjadi satu-satunya fraksi di DPR yang getol menolaknya. Debat dinilai tak diperlukan karena kualitas pemimpin tidak bisa diukur dari kepintaran berdebat.
Sementara mayoritas fraksi lainnya, menilai debat perlu untuk meyakinkan publik soal visi, misi, dan program calon.
Pada Pemilu 2004 PDI-P menjadi satu-satunya fraksi di DPR yang getol menolak debat capres. Debat dinilai tak diperlukan karena kualitas pemimpin tidak bisa diukur dari kepintaran berdebat
Kalah suara, PDI-P akhirnya luluh pada keinginan mayoritas fraksi lainnya. Debat pun masuk dalam regulasi Pemilu, menjadi salah satu bentuk kampanye.
Sekalipun Undang-Undang Pemilu jelas menyebutkan, debat publik atau debat terbuka antarcalon, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemudian menyebut debat dengan sebutan dialog.
Dialog digelar dua kali, 30 Juni dan 1 Juli 2004, dan diikuti oleh lima pasangan calon presiden-wakil presiden.
Meski dinamakan dialog, KPU mencoba adanya interaksi antarcalon. Dengan interaksi, diharapkan akan terjadi adu argumentasi untuk memperlihatkan perbedaan di antara calon.
Namun yang kemudian terlihat dalam dua kali dialog, adu argumentasi tak terjadi. Respon satu calon atas jawaban calon lainnya, lebih merupakan pernyataan setuju atau tambahan atas jawaban yang telah disampaikan, Kompas (1/7/2014).
Dalam dua kali dialog, adu argumentasi tak terjadi. Respon satu calon atas jawaban calon lainnya, lebih merupakan pernyataan setuju atau tambahan atas jawaban yang telah disampaikan
Di putaran kedua Pemilu Presiden (Pilpres) 2004, dialog kembali digelar. Namun kali ini, interaksi antarcalon sama sekali tidak ada. Selama dialog, percakapan hanya antara panelis dan calon. Panelis bertanya, calon menjawab. Selain itu, kedua pasangan tampil terpisah. Jadi yang terjadi kemudian justru monolog, bukan dialog, Kompas (16/9/2004).
Pemilu 2009
Menjelang Pemilu 2009, ketika regulasi pemilu sebagai dasar penyelenggaraan pemilu direvisi, isu debat kembali memantik perdebatan. Kali ini soal frekuensi debat.
PDI-P kembali berbeda dengan mayoritas fraksi lainnya. PDI-P menginginkan frekuensi debat maksimal tiga kali. Adapun mayoritas fraksi lain minimal lima kali, Kompas (24/10/2008).
PDI-P lagi-lagi berdalih presiden yang dicari bukan ahli debat sehingga debat tidak perlu dibuat terlalu banyak. Berbeda dengan pandangan mayoritas fraksi lain yang melihat debat bisa membuat publik jelas akan visi, misi, dan program calon. Hasilnya disepakati, frekuensi debat lima kali.
Namun dari mayoritas debat yang digelar, tak terlihat adu visi, misi, dan program. Debat lebih menyerupai tanya jawab karena tidak muncul pandangan yang bisa menunjukkan perbedaan pendapat dan program di antara calon, Kompas (19/6/2009).
Pemilu 2014
Untuk Pemilu 2014, regulasi pemilu yang digunakan masih sama dengan yang digunakan di Pemilu 2009. Oleh karena itu, tak ada lagi perdebatan soal perlu tidaknya debat atau frekuensi debat seperti terjadi menjelang pemilu sebelumnya.
Catatan Kompas, dalam debat yang digelar lima kali dengan lima tema berbeda, terlihat jawaban yang berbeda di antara capres-cawapres dalam menyikapi persoalan bangsa. Saat sesi tanya jawab antar calon, perbedaan itu kian jelas terlihat.
Namun sejumlah pihak tetap mengkritisi debat tersebut. Pasalnya, acara debat dinilai lebih sekadar untuk memfasilitasi kampanye capres, perdebatan yang terjadi masih di permukaan, belum bisa mempertajam permasalahan yang dihadapi bangsa.
Perdebatan yang terjadi masih di permukaan, belum bisa mempertajam permasalahan yang dihadapi bangsa
Selain itu, durasi debat yang terbatas dikeluhkan. Pasalnya, dengan alokasi waktu yang sempit, calon tidak mampu menjawab setiap pertanyaan hingga tuntas. Saat itu, setiap kandidat hanya mendapat jatah waktu sekitar dua menit untuk menjawab pertanyaan antarkandidat. Dan tiap kandidat mendapat jatah waktu tiga menit untuk menjawab pertanyaan dari moderator.
Pemilu 2019
Isu debat di pemilu Presiden juga tidak lagi dipersoalkan saat DPR bersama pemerintah merumuskan regulasi pemilu yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu 2019. Debat dengan mulusnya masuk dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagai salah satu metode kampanye.
Hanya dalam pelaksanaannya, KPU atas kesepakatan bersama dengan tim sukses dari kedua calon presiden-wakil presiden, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, memodifikasi sejumlah hal.
Baca juga : Sandiaga Berlatih Debat
Salah satunya terkait mekanisme debat. Jika sebelumnya debat hanya terjadi di segmen akhir atau saat sesi saling bertanya antarkandidat, kali ini, debat memungkinkan terjadi sejak awal atau setelah penyampaian visi dan misi calon yang menjadi pembuka acara. Persisnya, di sesi penajaman visi-misi.
Ini karena pertanyaan dari panelis kepada salah satu calon, bisa ditanggapi calon lain. Dan tanggapan dari calon lain itu, bisa saja berbeda dengan jawaban calon atas pertanyaan panelis.
Baca juga : Jokowi Habiskan Pagi sampai Siang di Bogor
Modifikasi itu tak selamanya berjalan mulus. Modifikasi terkait pertanyaan kepada calon saat debat, justru menuai kontroversi. Pasalnya di debat kali ini, pertanyaan dari panelis debat, sudah diberikan kepada para capres-cawapres, satu pekan sebelum debat. Dari total 20 pertanyaan, memang tidak semuanya akan ditanyakan ke calon. Yang mana pertanyaan yang akan dipilih oleh panelis, peserta debat tidak akan diberitahu.
Namun tetap saja, pertanyaan yang diberikan sebelum debat dinilai sejumlah pihak bisa mendegradasi kualitas debat. Sebab, dengan pertanyaan diberikan lebih dulu, jawaban calon dikhawatirkan akan seperti hapalan. Padahal debat harapannya bisa memperlihatkan kepada publik, kualitas natural dari masing-masing calon.
Di debat kali ini, pertanyaan dari panelis debat, sudah diberikan kepada para capres-cawapres, satu pekan sebelum debat
Atas kritik yang mengalir dari publik itu, KPU bergeming. KPU yang mengambil keputusan bersama-sama dengan tim sukses kedua capres-cawapres, tetap pada keputusannya, dengan dalih model pertanyaan tersebut, dapat membuat calon memberikan jawaban yang dalam. Dengan jawaban yang dalam, publik dapat lebih melihat visi-misi setiap calon jika terpilih kelak di 2019.
Kontroversi juga muncul dalam penetapan panelis. Dua nama panelis, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto dan Ketua Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, dicoret dari daftar nama panelis sehari sebelum panelis rapat untuk merumuskan pertanyaan bagi para capres-cawapres. Usulan pencoretan yang lahir dari tim sukses itu, dengan mudahnya diakomodasi oleh KPU. Padahal sebelumnya, BW dan Adnan bersama enam panelis lainnya, sudah disepakati KPU bersama tim sukses.
Baca juga : Alasan di Balik Pencoretan BW dan Adnan
Sebuah kontroversi yang tak pernah terlihat dalam penetapan panelis debat, di pemilu-pemilu sebelumnya.
Debat ideal
Desain debat yang formalistis dan kaku ini disayangkan oleh Mada Sukmajati, ahli tata kelola pemilu dan partai politik Universitas Gadjah Mada. Ia mengatakan, desain debat seharusnya dapat lebih cair dan memungkinkan publik berpartisipasi dalam menyampaikan pertanyaan, atau gaya town hall debate.
Debat yang tidak kaku dan formal, menurut Mada, memungkinkan ide gagasan yang lebih luas tersampaikan ke publik. Jika terlalu formal dan sudah diatur sebelumnya, kandidat dikhawatirkan hanya akan menyampaikan ‘talking points’ yang sudah disiapkan.
“Kalau anda didebat, akan ada stimulan untuk mengeluarkan lebih banyak ide dan gagasan yang lebih menantang, yang lebih menarik,” kata Mada.
Baca juga : Kualitas Debat Pengaruhi Pemilih
Lokasi debat juga menjadi persoalan yang penting menurut Mada. Ia mengatakan, dengan penyelenggaraan debat di berbagai daerah dan memberikan kesempatan publik untuk berpartisipasi memungkinkan adanya pertanyaan-pertanyaan yang membumi dan konkret bisa terlontarkan langsung dari masyarakat; yang dari tataran permasalahan konkret hingga visi-misi yang lebih abstrak.
Terkait akomodasi pencoretan panelis, Mada memahami bahwa ada rasa ‘kebersamaan’ yang ingin dibawa oleh KPU. Namun ia mengingatkan, bahwa KPU seharusnya tidak hanya melayani peserta pemilu, tetapi juga kepentingan rakyat.
“Jadi jangan anggap pemilu itu hanya urusan penyelenggara dan peserta juga. Ini punya kita semua,” kata Mada.
Sementara itu, peneliti Departemen Politik dan Hubungan Internasional dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, yang paling menjadi catatan soal format debat di Indonesia adalah ketiadaan ruang bagi panelis untuk lebih berinteraksi dengan kandidat. Akibatnya, panelis tak bisa mendalami lebih jauh hubungan antara tema dan program kandidat.
"Panelis tidak leluarsa men-challange kandidat. Jadi, tak ada interaksi antara panelis," ujarnya.
Hal itu berbeda dengan debat yang ada di Amerika Serikat. Di sana, panelis diberikan ruang yang besar untuk mengeksplorasi pandangan kandidat.
Baca juga : Efek Elektoral Debat Capres
Catatan lain adalah durasi debat yang mulai dibatasi. Arya menilai, hal itu tentu sangat berimplikasi pada minimnya pertukaran gagasan antarkandidat, tidak ada ruang interaksi cukup panjang antarkandidat. Kandidat belum sampai pada satu inti pernyataan, tetapi harus terpotong oleh waktu.
"Kalau waktu dibatasi itu malah kayak kuis-kuis di televisi, tak mencerminkan debat. Kandidat tidak leluarsa menyampaikan argumen mereka. Karena tidak adanya interaksi seperti itu, publik agak sulit membedakan program kandidat itu," kata Arya.
Pada akhirnya, begitulah debat yang akan disajikan malam nanti. Debat diprediksi masih akan berputar-putar soal pemaparan visi-misi kandidat, tanpa ada pertukaran gagasan yang dalam antarkandidat. Publik hanya dihadapkan pada gagasan yang tak substansial, entah itu hanya berupa janji atau khayalan semata. Itu karena arah evolusi debat negara ini semakin menjauh dari debat yang seharusnya.