Jaringan Kepercayaan yang Sulit Diputus
CP (30), DL (29), dan AN (28) berjalan dalam kawalan polisi bersenjata dari sel tahanan menuju halaman kantor Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat. Badan mereka terlihat kurus dengan baju tahanan biru tua dan masker. Tak ada kata yang keluar dari mulut mereka saat polisi mendampinginya.
Mereka lebih banyak menundukkan kepala seraya diam menghindari kamera dan tatapan wartawan Selasa (15/1/2019) lalu. CP dan DL merupakan saudara kandung, penjaga sebuah sekolah di Jakarta Barat. Mereka menjadikan ruang di salah satu sekolah tempat mereka bekerja sebagai gudang penyimpanan narkoba. Siapa yang akan curiga tempat menuntut ilmu dan mengenal baik buruk dunia itu dijadikan gudang penyimpanan narkoba?
AN, rekan CP dan DL selama delapan tahun, yang mengenalkan bisnis itu kepada mereka. AN mengaku, sebelum menjadi pengedar, ia hanya mengonsumsi sabu yang diperoleh dari jaringan di lembaga pemasyarakatan (lapas).
Jaringan itu dikelola LK yang kini masuk daftar pencarian polisi. Sampai kini, LK belum ditemukan, padahal berada di dalam lapas. "Kami sudah mengantongi foto LK yang diperoleh dari AN, tetapi belum ditemukan karena LK itu nama samaran," kata Inspektur Satu Dimitri Mahendra, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Kembangan, Kamis (17/1/2019).
Dimitri juga mengatakan, polisi telah memeriksa lapas yang ada di Jakarta, tetapi belum menemukan LK. Selain itu, ia mengatakan telah menyurati ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar lebih mudah menemukan LK.
Sementara itu, karena rutin membeli, AN memperoleh kepercayaan LK menjadi kurir. Menjanjikan ? Untuk sekali antar, LK memberi iming-iming uang Rp 100.000 hingga Rp 500.000. Tidak hanya uang tunai, ia juga mendapatkan sabu-sabu gratis yang selama ia beli dari LK.
Ia cukup mengikuti instruksi yang diberikan LK. Ambil barang, lalu simpan di tempat yang diperintahkan dari lapas melalui telepon genggamnya. Ia pikir, dengan cara ini, dengan cepat ia bisa mengumpulkan uang untuk menikah dengan pacarnya.
Malang baginya, belum sampai ke pelaminan, Kepolisian Sektor (Polsek) Metro Kembangan, Jakarta Barat membekuknya. Dari kurir baru ini, diperoleh 355,56 gram sabu-sabu dan 7.910 tablet psikotropika golongan IV juga obat dalam daftar G.
“Ketiga tersangka diancam hukuman mati, pidana penjara seumur hidup, atau penjara paling singkat 6 hingga 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar,” kata Komisaris Joko Handoko, Kepala Polsek Kembangan.
Tak berhenti di sini, polisi terus menggali informasi dari ketiganya. Enam hari dari penangkapan, polisi mengumumkan menemukan kamar yang juga dijadikan gudang di Apartemen Puri Park View Tower A lantai 23, kamar CA2345, Rabu (16/1/2019). Di dalam kamar ditemukan obat golongan G dan psikotropika golongan IV sebanyak 112.060 butir senilai Rp 229,5 juta.
Apartemen yang digunakan memiliki luas sekitar 15 meter persegi. Hanya ada kasur, meja, dan sebuah lemari plastik yang digunakan untuk menyimpan barang haram itu. Terdapat kardus-kardus kosong juga di kamar yang berantakan itu. Kardus yang dilabeli dengan merek vitamin itu digunakan untuk mengirim obat-obatan agar tidak dicurigai.
Pemilik apartemen berinisial BD, seakan sudah mengetahui penggerebekan. Ia kabur dan kini polisi menetapkan sebagai buronan. Selain dagangannya, di kamar itu nampak botol minuman keras dan asbak yang masih dipenuhi abu dan puntung rokok. BD juga meninggalkan mimpinya dalam sebuah celengan bertulis “buat beli mobil”. Ia menjadi salah satu buron yang dikejar polisi. Pasalnya polisi terus mengembangkan kasus ini.
Kepolisian Resor Jakarta Barat dan jajarannya tanpa henti mengumumkan kasus narkoba. Dilaporkan pada 28 Desember 2018, sepanjang 2018 ada 1.088 kasus terkait narkoba yang ditangani. Sebanyak 437 ditangani Polres Jakbar, sisanya 651 kasus oleh jajaran Polsek. Bahkan, pada 2018, Polres Jakarta Barat juga mengungkap kasus pabrik sabu di Cipondoh Tangerang. Ada pula pabrik esktasi di Cibinong, Jawa Barat.
“Ada banyak kemungkinan mengapa Jakarta Barat menjadi daerah yang banyak kasus narkoba. Bisa karena wilayah dengan populasi pengguna yang banyak, memiliki tempat-tempat yang kondusif bagi peredaran seperti hiburan malam, dihuni banyak pengedar, atau polisi yang rajin mengungkap,” kata Muhammad Mustofa, Guru Besar Kriminolog Universitas Indonesia.
Walau ribuan kasus diungkap tiap tahunnya, narkoba masih meraja lela di Jakbar, bahkan Jakarta, hingga seluruh Indonesia. Hal ini tidak mengherankan bagi salah satu mantan pengedar obat terlarang itu, sebut saja dia Doni (39).
“Susah, dia banyak cara, mereka ada semacam kayak backup-an juga. Makanya itu, kalau tersangka pengedar atau bandar itu sudah diputus, langsung dieksekusi cepat, supaya jangan sampai nyanyi (ungkap), karena bisa terbongkar semua, (termasuk) pejabat,” kata Doni di sela-sela ceritanya kepada Kompas sambil mengisap rokok dan terkadang menyeruput bir, Rabu (16/1/2019) malam.
Doni yang merupakan perantau di Jakarta ini berani mencoba sabu-sabu itu karena penasaran dan membutuhkan tenaga lebih. Ia mengaku, dengan mengonsumsi sabu-sabu ia dapat bekerja dengan istirahat yang minim.
Tidak hanya menggunkannya, Doni juga membantu kakaknya untuk mengedarkan sabu-sabu, ekstasi Inex, ganja, dan lainnya. Ia mengantarkan barang berdasarkan perintah kakaknya atau bandar yang berada di atas saudaranya itu.
“Biasanya bandar dan kurir itu tidak pernah ketemu, hanya lewat telepon saja. Bahkan video call pun tidak. Disuruh ambil barang di sini lalu simpan di sini,” lanjut Doni sambil memelankan suara jika ada yang lewat di dekat pintu kontrakannya.
Menurut keterangan Doni, umumnya barang diambil di hotel yang sudah dipesan oleh bandar. Lalu diantar ke hotel lain yang nantinya akan ada yang mengambil.
Selain dengan sistem antar tanpa ketemu, Doni juga pernah menjadi salah satu pengedar di dalam salah satu klab malam. Di tempat ini, ekstasi jenis Inex menjadi primadona, pasalnya pil ini dianggap ampuh menghilangkan stres untuk bersenang-senang.
Tetapi, Doni mengaku tidak gampang untuk bisa dipercaya menjadi pengedar oleh “bos besar”, sebutan bagi bandar besar bahkan orang yang telah miliki pabrik. Kalau tidak dikenalkan oleh orang kepercayaan sebelumnya, perlu waktu lagi untuk memantau dan memberi kepercayaan pada pengedar yang berhubungan dengan bandar.
Bahkan, untuk membeli dari pengedar bawahan pun juga tidak sembarang, harus yang telah dikenal atau dikenalkan. Tempat menjual atau mengedarkan juga tidak sembarang. Bandar atau pengedar punya wilayahnya masing-masing yang tidak boleh dilanggar.
“Ada jaringan per daerah. Misalnya daerah sini, dia tidak bisa masuk daerah lain. Kalau ada yang jual di sini tanpa sepengetahuan mereka, mereka bisa ‘makan’ itu orang,” tegas Doni.
Jaringan lapas
Aksi Doni dan kakaknya tidak selalu berjalan mulus. Kakaknya pernah tertangkap polisi. Bisnisnya berhenti? Tidak. Kakaknya justru mendapatkan pengalaman tambahan. Bisnis masih bisa berjalan dari lapas.
Bedanya, hanya butuh biaya tambahan untuk membayar penjaga. Hal serupa banyak dilakukan narapidana lain.
“Di dalam penjara kan mereka setor. Sipir itu mereka punya ‘anak angkat’ masing-masing. Dulu, Kakak bilang, sudah kamu datang, nanti ada yang jemput. Saat datang (di lapas), langsung ada yang jemput bilang kamu saudaranya ini, sudah masuk sini, tidak usah catat nama,” kenang Doni.
Kakak Doni pun keluar dari penjara setelah sebelumya membayar denda Rp 500 juta. Uang itu dari bandar yang telah mempercayai Doni dan kakaknya karena prinsip mereka adalah setia dan saling percaya.
Selama pemeriksaan polisi, kalau pengedar kecil dapat mudah memberikan informasi karena informasi yang dia ketahui juga sedikit. Tapi jika yang sudah masuk dalam jaringan yang besar, akan sangat sulit. Doni mengandaikan, biar sampai kukunya dicabut, tak akan bicara juga.
Agar tidak tertangkap, Doni selalu memegang prinsip bahwa barang haram itu adalah bom. Harus cepat-cepat bergeser dari tangannya. Jika ada perintah, langung diantarkan saat itu juga.
Doni mengaku berhenti pada 2004 setelah menjalankannya selama sekitar empat tahun. Ia mengaku dunia itu sangat menggiurkan. Jika sudah mendapat kepercayaan, bisa mendapatkan puluhan juta hanya dalam seminggu. Ratusan bahkan miliaran rupiah setiap bulannya.
Bandar juga terkadang mengutus orang yang dia percaya untuk belajar membuat sabu-sabu di Tiongkok agar saat kembali bisa membuat sendiri. Pasalnya, sabu-sabu terbaik yang Doni sebar selama ini berasal dari Cina dan Malaysia.
Menggiurkan bukan bertarti tanpa efek, buat diri sendiri bahkan orang lain. Seperti yang dialami Ula (24). Sewaktu duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama ia mencoba barang haram itu. Sabu, psikotropika, dan obat dalam daftar G.
Ula mengaku mendapatkan barang itu dengan mudah dari temannya. Untuk obat daftar G dia bisa mendapatkannya dengan mudah di apotek. "Sebenarnya harus dengan resep dokter, tapi banyak apotek yang nakal," kata Ula kepada Kompas. Walau telah mengaku berhenti, efeknya masih ia rasakan. Badannya tidak sekuat dulu dan mudah sakit. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH/STEFANUS ATO)