JAKARTA, KOMPAS — Kalangan dunia usaha menilai kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha berlebihan. Hal ini karena lembaga tersebut dapat bertindak sebagai pelapor, pemeriksa atau penuntut, dan pemutus atau hakim.
”Apindo dan Kadin berpendapat bahwa kewenangan tersebut harus dipisahkan, yakni antara sebagai penuntut dan sebagai hakim,” kata Kepala Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono di Jakarta, Rabu (16/1/2019).
Sutrisno mengatakan hal tersebut pada konferensi pers Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia serta Apindo menyikapi draf rancangan Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dinilai berlebihan merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian Apindo dan Kadin.
Kadin dan Apindo berpendapat, tidak perlu terburu-buru dalam memutuskan amandemen UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Menurut Sutrisno, KPPU dapat menjadi pelapor dan penuntut. ”KPPU boleh memeriksa dan kemudian menuntut pelaku usaha dengan denda sekian. Tetapi seharusnya ada pihak lain yang berfungsi sebagai pihak netral untuk mengadili,” katanya.
Dia mencontohkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga bukan sebagai pemutus. ”Pada waktu menuntut orang, KPK tidak kemudian memutuskan seseorang bersalah sebab yang mengadili adalah Pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi),” kata Sutrisno.
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kadin Indonesia Anton J Supit mengatakan, kalangan dunia usaha ingin ada pembatasan agar kewenangan KPPU tidak berlebihan. ”Kami harapkan KPPU menjadi lembaga yang kredibel dan kuat,” kata Anton.
Ketua Umum Indonesia Competition Lawyer Association Asep Ridwan mengatakan, akan ada konflik ketika penuntut juga menjadi hakim. ”Seharusnya hakim adalah pihak ketiga yang independen. Makanya, ada istilah Latin bahwa seorang penuntut tidak bisa menjadi hakim yang adil,” katanya.
Menurut Asep, proses persidangan sesungguhnya adalah di pengadilan. Artinya, putusan KPPU harus siap diuji secara menyeluruh. ”Di RUU (Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat), kita tidak ada ruang untuk itu,” katanya.
Hal ini karena pengadilan hanya diberi kesempatan waktu 45 hari untuk memeriksa keberatan. ”Akibatnya, dengan waktu yang hanya 45 hari itu semua berkas perkara hanya berdasarkan berkas perkara dari KPPU, tidak dari para pihak,” katanya.
Menurut Asep, waktu yang terbatas itu juga tidak memberi ruang untuk menguji, menyampaikan bukti baru, dan kesempatan ahli untuk menilai atau mengkaji keputusan KPPU.
Sebelumnya, secara terpisah, komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih mengatakan, ada banyak versi lembaga persaingan usaha di dunia. ”Sesuai UU No 5/1999 KPPU menerima laporan sampai memutus. Kami memberikan rekomendasi kebijakan. Kami juga memutus bersalah tidaknya terkait pelanggaran UU No 5/1999,” katanya di Jakarta, Jumat (11/1/2019) akhir pekan lalu.
Namun, Guntur mengatakan bahwa KPPU bukanlah lembaga super atau superbody. Tata cara persidangan yang diikuti KPPU memberi ruang lebih luas bagi terlapor untuk membela diri dibandingkan model di negara-negara lain.
”Terlapor boleh didampingi penasihat hukumnya. Investigator silakan memberikan buktinya. Terlapor silakan membantah kalau tidak terima. Bahkan, para terlapor pun boleh menguji hasil putusan kami, tingkat banding sampai di MA. Artinya, putusan kami tidak mutlak. Masih ada lembaga lain, yakni peradilan, yang bisa menguji putusan kami,” kata Guntur. (CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO)