Jurnalis rawan mengalami kekerasan saat meliput pemilu. Karena itu, kedisiplinan terhadap prinsip-prinsip kode etik jurnalistik harus ditegakkan karena dengan itulah jurnalis dijamin Undang-Undang Pers.
JAKARTA, KOMPAS - Selama 2018, Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat ada 71 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang sebagian besar terjadi saat peliputan pemilihan umum kepala daerah. Tren kekerasan ini berpotensi naik menjelang pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden/wakil presiden.
Dilihat dari kategorisasi isu, kekerasan terhadap jurnalis selama pilkada menduduki peringkat tertinggi, sebanyak 16 kasus, disusul isu kriminal 15 kasus, korupsi 14 kasus, lingkungan 9 kasus, olahraga 4 kasus, arogansi pejabat 4 kasus, kesehatan 4 kasus, vigilante (penghakiman di luar ranah hukum) 2 kasus, kemudian kebudayaan, imigran, sosial, dan premanisme masing-masing 1 kasus.
“Kasus tertinggi kekerasan terhadap jurnalis berkaitan dengan isu-isu politik. Menyikapi fenomena ini, rekan-rekan jurnalis mesti hati-hati saat meliput pileg dan pilpes nanti. Karena itu, kedisiplinan terhadap prinsip-prinsip kode etik jurnalistik harus ditegakkan karena dengan itulah jurnalis dijamin Undang-Undang Pers,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin, Rabu (16/1/2019) dalam acara paparan Catatan LBH Pers tentang Kebebasan Pers dan Kebebasan Berekspresi 2018 di Jakarta.
Kategori kekerasan yang terjadi selama 2018 bermacam-macam, mulai dari kekerasan fisik (24 kasus), kriminalisasi (13 kasus), pelarangan peliputan (12 kasus), intimidasi (10 kasus), kekerasan verbal, penyerangan kantor media massa, perusakan dan penghapusan data, dan ancaman/teror (masing-masing 2 kasus), serta gugatan perdata, kriminalisasi narasumber, dan ancaman verbal (masing-masing 1 kasus). Adapun, pelaku kekerasan sebagian besar didominasi oleh Polisi (30 persen), warga (22 persen), pejabat pemerintah (13 persen), dan TNI (7 persen).
Kriminalisasi
Selain kekerasan, LBH Pers juga mencatat sejumlah kasus kriminalisasi selama 2018 sebanyak 14 kasus. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2017 sebanyak 8 kasus.
Menurut Ade, kasus kriminalisasi terhadap jurnalis terjadi karena masih banyak media-media lokal di daerah yang belum memenuhi syarat-syarat administratif sebagai perusahaan pers. Konsekuensinya, media-media tersebut akhirnya tidak terlindungi UU Pers.
“Polisi bisa meneruskan kasusnya karena mereka bisa dianggap bukan sebagai perusahaan pers. Masih banyak media lokal yang kini terkendala sejumlah masalah, mulai dari minimnya pengetahuan tentang kode etik jurnalistik, masih banyaknya media yang sekadar menjadi agregator berita dan bukan pencipta konten, tidak terpenuhinya syarat administratif, serta terbatasnya sumber ekonomi,” ujarnya.
Belajar dari pengalaman tahun 2018, jurnalis dan media massa mesti mewaspadai terulangnya kasus-kasus kekerasan serta kriminalisasi. Apalagi, perhelatan pemilu legislatif dan pilpres/pilwapres sudah mulai menghangat.
“Publik saat ini menjadi sangat sensitif. Ketika berita-berita di media tidak sesuai dengan (pillihan) diri mereka, maka mereka kemudian menganggapnya sebagai hoaks. Walaupun jurnalis sudah bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik dan melakukan verifikasi, tetapi ada saja yang menganggap pemberitaannya sebagai hoaks. Ini berbahaya,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen Jakarta Asnil Bambani.
Sebelumnya, Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Atal Sembiring Depari juga mengingatkan, di tahun politik ini, media mesti menyajikan informasi tentang para kandidat politik dengan semangat independen dan profesional. Menurut Atal, media jangan sampai larut dalam kontroversi persaingan antarkandidat, menghindari pemberitaan bombastis dan provokatif, menyajikan informasi kredibel yang tidak apriori dan tidak bermuatan kebohongan/kebencian, serta menaati kode etik jurnalistik.
Dalam catatan akhir tahunnya, LBH Pers juga menyinggung tentang persoalan kesejahteraan jurnalis yang selama ini masih menjadi persoalan pelik, mulai dari gaji di bawah Upah Minimum Provinsi, pembayaran upah dengan dicicil, pemutusan hubungan kerja sepihak, hingga hubungan kerja kontributor.
“Seorang kontributor kadang dianggap sebagai pekerja lepas. Meski mereka telah bekerja bertahun-tahun untuk sebuah media, namun jika pada suatu saat tidak diperlukan, maka mereka langsung diputus kerja tanpa pesangon,” kata Ahmad Fathanah, Staf Advokasi LBH Pers.
Sejumlah rekomendasi disampaikan LBH Pers ke beberapa pihak. Pertama, meminta Presiden Joko memerintahkan jajarannya untuk memastikan perlindungan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Kedua, mendesak DPR lebih teliti dan berhati-hati membahas peraturan yang berkaitan dengan kebebasan pers dan berekspresi.
Ketiga, mendesak Kapolri dan jajarannya mematuhi Nota Kesepahaman Kapolri dengan Dewan Pers dan menyelesaikan kasus-kasus yang berkaitan dengan media; keempat mengimbau masyarakat menggunakan UU Pers jika dirugikan oleh pemberitaan media. Kelima, mengimbau para jurnalis selalu memenuhi standar kode etik jurnalistik di setiap aktivitas jurnalistiknya.
Keenam, mengimbau perusahaan media melindungi jurnalis di lapangan dengan tetap independen. Ketujuh, mendesak perusahaan media memberikan hak-hak jurnalis sesuai dengan undang-undang.