Debat Presidensial Pertama dan Ekspektasi Diaspora
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·5 menit baca
Debat pemilihan calon presiden dan wakil presiden pertama dengan tema hukum, hak asasi manusia (HAM), korupsi, dan terorisme telah diselenggarakan pada Kamis (17/1/2019) lalu. Antusiasme menyaksikan debat pertama tak hanya datang di dalam negeri. Para diaspora Indonesia di berbagai negara juga menantikan debat tersebut. Namun, jalannya debat meninggalkan sejumlah catatan yang masih jauh dari ekspektasi para diaspora.
Sebelum pesta demokrasi diselenggarakan pada 17 April mendatang, publik menyambut debat pertama capres-cawapres yang disiarkan serentak di sejumlah stasiun televisi dengan antusias. Acara nonton bareng (nobar) debat presiden diadakan di sejumlah daerah, mulai dari kafe hingga pos keamanan lingkungan (poskamling).
Bahkan, sebagai penyelenggara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengadakan nobar dengan menyediakan layar besar di area Hotel Bidakara, Jakarta, untuk pendukung kedua capres dan masyarakat umum lainnya.
Antusiasme masyarakat dalam menyaksikan debat juga dibuktikan melalui hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 15-16 Januari 2019 atau menjelang debat. Hasil jajak pendapat menunjukkan, sebanyak 68,9 persen responden berencana menonton acara debat perdana capres-cawapres melalui televisi. Jajak pendapat tersebut dilakukan di 16 kota besar di Indonesia dengan sample berjumlah 524 responden.
Jika dibandingkan dengan hasil jajak pendapat Kompas pada acara serupa pada masa kampanye Pemilu 2014, persentase responden yang berminat menonton debat presidensial perdana di Pemilu 2019 lebih besar. Pada debat presidensial perdana Pemilu 2014, sebanyak 56 persen responden menyatakan tertarik mengikuti debat melalui televisi.
Antusiasme publik mengikuti debat capres-cawapres disebabkan debat dianggap efektif menggali kemampuan kandidat dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Hampir dua pertiga responden berpendapat demikian (64,5 persen). Sementara itu, 26 persen responden berpendapat sebaliknya. (Kompas, 21/1/2019)
Antusiasme menyaksikan debat pertama ternyata tak hanya datang di dalam negeri, tetapi juga dinantikan oleh diaspora Indonesia di berbagai negara. Salah satu diaspora yang secara langsung menyaksikan debat melalui siaran streaming ialah Boni Kasih Napitupulu, mahasiswa magister perencanaan infrastruktur di University of Stuttgart, Jerman.
Meski telah menetap di Jerman selama dua tahun, Boni mengakui bahwa dia selalu mengikuti perkembangan politik di Indonesia, tak terkecuali debat presidensial. Bagi dia, mengikuti dan melihat debat sangat penting untuk mengetahui visi misi, program, dan gagasan yang ditawarkan oleh kedua pasangan.
Namun, Boni menilai, jalannya debat pertama tidak sesuai dengan ekspektasinya tersebut. Dia menyayangkan bahwa kedua pasangan masih belum banyak menyampaikan program dan gagasan melalui pertanyaan yang disampaikan moderator pada segmen kedua.
“Dua paslon terlihat masih main aman. Jawabannya hanya sekadar untuk menyenangkan semua pihak, bukan menyampaikan apa yang terjadi di realita. Hal-hal yang seharusnya dijawab ke inti masalah tetapi malah dijawab bertele-tele,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu (20/1).
Debat pertama terbagi menjadi enam segmen. Satu segmen di antaranya merupakan segmen pendalaman visi misi melalui pertanyaan yang telah disusun oleh enam panelis yang netral dan berlatar belakang sesuai tema debat. Adapun pada segmen pertama, kedua pasangan memaparkan visi dan misi mereka yang berkaitan dengan tema debat.
Dua paslon terlihat masih main aman. Jawabannya hanya sekadar untuk menyenangkan semua pihak, bukan menyampaikan apa yang terjadi di realita.
Dalam pemaparannya, pasangan Jokowi-Ma’ruf menyampaikan bahwa “Indonesia Maju” merupakan visi mereka yang berlandaskan Indonesia berkeadilan. Sementara Prabowo-Sandi menyampaikan bahwa “Indonesia Menang” merupakan visi mereka dalam menjalankan pemerintahan.
Ekspektasi yang belum didapatkan dari debat pertama tak hanya dirasakan Boni, tetapi juga Galt Leatemia, diaspora yang telah menetap di Perth, Australia, sejak 2006. Galt menilai, tidak ada gagasan baru yang disampaikan kedua paslon. Padahal, sebagian besar masyarakat diaspora sangat antusias mengikuti debat dan pemilu 2019.
Galt mengatakan, diaspora merupakan masyarakat yang sudah cukup kritis terhadap kondisi politik dan pemerintahan di Indonesia. Dalam memilih pemimpin, diaspora juga memiliki pertimbangan tersendiri, seperti sosok, karakter, kemampuan, kecakapan, rekam jejak, dan orang-orang di balik capres-cawapres tersebut.
Oleh karena itu, menurut Galt, gagasan dan program kerja baru yang disampaikan kedua pasangan sangat penting sebagai pertimbangan diaspora yang masih memiliki hak pemilu untuk memilih pemimpin Indonesia lima tahun ke depan.
Harapan
Di balik jalannya debat pertama yang belum memenuhi ekspektasi, para diaspora menyelipkan sejumlah harapan pada debat-debat selanjutnya. Bagi Boni, hal terpenting dalam debat yaitu setiap pasangan harus berani menyampaikan realita yang terjadi di Indonesia dan berani mengemukakan gagasan ke inti permasalahannya.
“Baik ataupun buruk, paslon harus lebih berani mengemukakan kondisi riil karena tidak semua WNI paham dan tau kondisi Indonesia akhir-akhir ini. Paslon juga harus lebih berani mengemukakan gagasan daripada menyerang lawan dengan jawaban yang lebih pakem dan tidak bertele-tele,” ungkapnya.
Masyarakat diaspora tahu persis, Indonesia jika dikelola dengan baik akan sama majunya dengan negara luar
Sementara Galt, berharap bahwa kedua pasang capres cawapres dapat menghadirkan gagasan dan program kerja baru yang dapat diimplementasikan.
"Masyarakat diaspora tahu persis, Indonesia jika dikelola dengan baik akan sama majunya dengan negara luar. Pada dasarnya masyarakat diaspora juga ingin kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia," katanya.
Wakil Presiden Diaspora Indonesia-Australia, Rudolf Wirawan, tak menampik bahwa jalannya debat pertama sangat membosankan. Hal ini karena tidak ada program dan gagasan baru dari masing-masing pasangan sehingga gagasan tersebut juga tidak bisa didebatkan.
Namun, bagi Rudolf, meski tidak berada di tanah kelahirannya, diaspora masih dapat menjaga dan berkontribusi untuk kemajuan Indonesia. Mengikuti kondisi politik dan memilih presiden menjadi salah satu langkah kecil kontribusi tersebut.
Rudolf berharap, melalui debat presidensial selanjutnya, masyarakat Indonesia maupun diaspora dapat mengetahui pemimpin mana yang pantas dipilih untuk kemajuan bangsa dan negara.
“Sebagai diaspora kami akan selalu menjaga agar Indonesia tidak mudah diganggu oleh pihak luar. Kami juga berharap Indonesia dapat berkembang pesat dari dalam negeri. Ini hanya dapat dilakukan bila pemerintah dikendalikan oleh orang-orang yang berniat untuk membangun Indonesia, bukan menjadi kaki tangan kepentingan negara lain,” ujarnya.