Media Arus Utama Terseret Arus Media Sosial
JAKARTA, KOMPAS -- Dalam Rapat Kerja Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat di Wisma Antara, Jakarta, yang berakhir Selasa (22/1/2019), yang diisi pula dengan seminar, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo (Stanley) menyampaikan kritikan pedas pada komunitas pers. Ia menyebutkan, media massa arus utama (mainstream) di Indonesia saat ini cenderung terseret arus media sosial.
Tampil bersama dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan dan Wali Kota Bogor (Jawa Barat) Bima Arya, Ketua Dewan Pers menunjukkan, kini nyaris semua media arus utama, baik media cetak, media elektronik, atau media dalam jaringan (daring) memberikan tempat pada suara warganet (netizen). Bahkan, tak sedikit wartawan dari media arus utama yang kini melupakan ke lapangan, dan membuat berita berdasarkan status seorang tokoh di media sosial.
Padahal, lanjut Stanley, prinsip dasar kerja jurnalistik, adalah adanya klarifikasi, konfirmasi, dan verifikasi. Hal itu bisa dilakukan, kalau wartawan turun ke lapangan untuk mengumpulkan fakta dan melihat fenomena. "Dewan Pers beberapa kali menerima pengaduan terhadap media massa, sebab menurunkan berita yang berasal dari media sosial,"ingat Stanley, yang juga mantan wartawan media cetak itu.
Ia menyontohkan, ada media arus utama yang diadukan ke Dewan Pers, karena menurunkan sebuah foto yang diambil dari media sosial, yang menggambarkan seorang perempuan dengan pakaian kurang sopan, bersama dengan seorang pria. Foto itu diberi keterangan perbuatan tidak senonoh, tanpa ada konfirmasi, klarifikasi, dan verifikasi kepada orang yang diambil fotonya itu. Padahal, ternyata perempuan dalam foto itu bersama dengan suaminya.
Ketua Dewan Pers menjelaskan, di seluruh dunia saat ini media arus utama tergerus digital, terutama media sosial. Jika media arus utama mengikuti saja yang berkembang di media sosial, apalagi informasi di dunia maya sangatlah melimpah, tak ada pentingnya lagi bagi masyarakat untuk menikmati media arus utama. Media arus utama kian senjakala.
Stanley juga mengakui, kepercayaan masyarakat pada media arus utama kini memang merosot, karena ketidak-mampuan pengelola dan pekerja media arus utama menjawab kebutuhan masyarakat akan adanya informasi terpercaya, terkonfirmasi, dan bisa menjadi rujukan. Pers gamang. Media sosial bukanlah pers. Jika terjadi persoalan dengan media sosial, bukan menjadi kewenangan Dewan Pers untuk menyelesaikannya.
Media sosial bukanlah pers. Jika terjadi persoalan dengan media sosial, bukan menjadi kewenangan Dewan Pers untuk menyelesaikannya.
"Sayangnya, sekarang tak sedikit wartawan yang mengunggah beritanya (di media arus utama) juga ke media sosial. Hal ini menimbulkan persoalan baru, karena masyarakat bisa memberikan komentar,"kata Ketua Dewan Pers lagi. Oleh karena itu, ia meminta wartawan media arus utama yang ingin mengunggah berita yang dibuatnya ke media sosial, sebaiknya mematikan atau tak mengaktifkan komentar dari masyarakat.
Baca: Media Arus Utama Jadi Acuan Pemerintah Daerah di Era Digital
Membuka ruang
Sebaliknya, Gubernur DKI Jakarta menyebutkan, media sosial saat ini memang membuka ruang komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat secara luas. Namun, media arus utama tetap menjadi referensi pemerintah. Kerja jurnalistik di media arus utama, yang terkonfirmasi dan terverifikasi, tetap tidak tergantikan oleh media sosial.
Stanley dan Anies sependapat, media arus utama bisa mengisi ruang-ruang kosong yang tak tersentuh media sosial, misalnya dengan memberitakan pengembangan pariwisata, kemajuan suatu daerah, dan kebersamaan dalam masyarakat. Media arus utama bisa mendorong pembangunan daerah, dan sekaligus tetap membuka ruang bagi pertumbuhan media arus utama.
Sebaliknya, Bima Arya mengakui, ia dalam menjalankan pemerintahan mendapatkan banyak masukan dari masyarakat yang disampaikan melalui media sosial. Hal ini menjadi tantangan bagi media arus utama untuk bisa semakin membantu pemerintahan daerah dalam pengembangan daerah.
Komparasi media arus utama dan media sosial ini, salah satunya tergambar dalam temuan yang dilaporkan Bias, Bullshit, and Lies: Audience Perspectives on Low Trust in the Media, yang dituliskan Nic Newman dan Richard Fletcher. Masyarakat dilaporkan membaca berita di media sosial dengan keraguan yang tinggi. Hasil Digital News Project 2017 yang diprakarsai Reuters Institute dan Universitas Oxford, Inggris, itu dipublikasikan pada akhir November 2017 lalu.
Laporan dua ahli jurnalisme digital itu didasarkan pada survei terbuka di Denmark, Jerman, Irlandia, Inggris, Perancis, Spanyol, Yunani, Australia, dan Amerika Serikat. Laporan itu senada dengan hasil survei Nielsen Consumer and Media View 2017 di 11 kota di Indonesia yang dipublikasikan pada Rabu, 6 Desember 2017. Hasil survei yang dilakukan pada triwulan IV-2016 hingga triwulan III-2017 itu menunjukkan, 83 persen responden mempercayai koran (Kompas, 9 Desember 2017).
Dalam survei di Indonesia itu, 56 persen responden menilai, berita di koran paling bisa dipercaya.
Dalam survei di Indonesia itu, 56 persen responden menilai, berita di koran paling bisa dipercaya. Hasil ini berbeda dengan temuan Digital News Project 2017 yang menempatkan berita di televisi sebagai yang paling dipercayai, lebih tinggi dibandingkan surat kabar, karena koran di negara-negara itu cenderung berafiliasi dengan partai politik. Televisi sulit dimanipulasi.
Hanya sekitar 24 persen responden yang mempercayai kabar di media sosial. ”Membangun kepercayaan perlu proses yang panjang. Perlu komitmen dari penerbit, media, dan masyarakat selama bertahun-tahun,” tulis Ricardo Bilton dari The Nieman Jurnalism Lab, AS. Kepercayaan adalah kata kunci bagi media.
Rapat kerja
Sementara Rapat Kerja PWI Pusat, yang berlangsung sejak Senin (21/1/2019) itu, adalah yang pertama setelah terbentuk kepengurusan baru yang dipimpin Ketua Umum Atal Sembiring Depari. Atal terpilih dalam Kongres PWI di Surakarta, Jawa Tengah pada 27-30 September 2018.
Atal pun menegaskan kembali janjinya di depan kongres, untuk membawa PWI dengan visi yang baru, di tengah perkembangan media massa arus utama yang tergerus teknologi digital dan media sosial di Tanah Air. Ia akan memimpin PWI untuk periode lima tahun ke depan.
"Menjadikan PWI sebagai organisasi profesional dan bermartabat di era transformasi lanskap media dengan spirit kebangsaan, kebebasan, dan kreativitas digital. PWI zaman now," katanya. Wujud dari PWI di era sekarang, adalah misalnya dalam pengelolaan organisasi yang akan dikelola menggunakan teknologi digital berbasis aplikasi PWIapp. Dengan aplikasi ini, bisa melayani kebutuhan interaksi hingga informasi pengurus pusat, provinsi hingga kabupaten, serta anggota PWI di seluruh Indonesia. Juga masyarakat yang ingin tahu kegiatan PWI diberbagai bidang, mulai dari kegiatan pendidikan : Sekolah Jurnalisme Indonesia(SJI), Uji Kompetensi Wartawan (UKW), hingga kegiatan lain di dalam dan luar negeri.
Bahkan dari PWIapp itu juga kelak dapat dijadikan sarana pendidikan jarak jauh, sehingga bisa diakses semua anggota PWI, terutama yang berada di berbagai pelosok Indonesia. Adapun untuk menjangkau kaum milenial, PWI menggunakan media sosial, seperti instagram, facebook, dan youtube. "Semuanya cukup dari ponsel (telepon seluler) masing-masing," ujar Atal.
Seluruh peserta rapat kerja, sepakat bahwa dalam menjalankan tugas, pers harus berpegang pada Kode Etik Jurnalistik. Dalam kongres PWI di Solo 2018, malah menambah satu lagi Kode Etik Perilaku. Dengan dua kode etik ini, dimaksudkan agar profesi wartawan bisa dijalankan dengan profesional dan berintegritas.
Disesalkan jika pers mengabaikan Kode Etik Jurnalistik, demi mengikuti irama kendang pihak lain (polisi), sehingga kehilangan sikap kritis. Contoh terbaru, bagaimana media sosial dan media arus utama yang beramai-ramai "menghakimi" artis VA yang diduga terlibat dalam kasus prostitusi via online.
Menurut Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang, saat ini ada tiga kategori ancaman terhapat pers, yaitu pemerintah, preman (yang bisa saja di belakang partai politik), dan pemilik modal, yang sekitar 95 persen di negeri ini berafiliasi dengan partai.
Seiring dengan itu, Indek Kebebasan Pers yang diumumkan oleh Dewan Pers menunjukkan bahwa intervensi pemerintah pada media menurun, sedangkan intervensi pemilik media atau pemilik modal pada newsroom (wartawan) meningkat. Diksi "intervensi", khususnya oleh pemilik media, pemilik modal pada redaksi dan wartawan memancing pro dan kontra.
Pihak yang pro kemerdekaan pers, menganut pandangan, bahwa pemilik media atau pemiliki modal tidak boleh mencampuri idealisme kerja redaksi dan wartawan yang otonom: berpihak kepentingan umum. Sedangkan yang kontra, melihat secara realistis bahwa usaha media harus dijalankan pemilik modal atau pemilik media, bersama wartawan agar tetap hidup, apalagi di tengah kondisi pers yang sulit sekarang ini.
Margiono, yang menjabat Ketua Umum PWI dua periode, yang kini duduk sebagai Ketua Dewan Penasihat PWI, mengingatkan bahwa media tidak hidup di ruang hampa, karena itu harus belajar pada kondisi riil. "Sepanjang seseorang menjadi wartawan, ya harus tunduk pada (pemilik) medianya. Kalau tidak mau tunduk, ya bikin media sendiri,"ujarnya. Ia menambahkan, wartawan harus membela perusahaan supaya tetap hidup.