Hampir setahun lalu, klinik laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) diresmikan di DPR. Harapannya bisa mendorong sekaligus memudahkan anggota DPR untuk menyusun LHKPN. Namun kenyataan berbicara sebaliknya.
Oleh
Satrio Pangarso Wisanggeni
·5 menit baca
Hampir setahun yang lalu, 12 Februari 2018 tepatnya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo meresmikan klinik laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) secara daring, di Gedung Nusantara III DPR, Jakarta. Turut diundang kala itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo selain pimpinan DPR, dan pimpinan fraksi dan komisi di DPR.
Klinik dibuat dengan harapan, akan mempermudah setiap anggota DPR dalam menunaikan kewajibannya setiap tahun, menyerahkan laporan harta kekayaan secara daring.
Bambang pun menyatakan, lahirnya klinik itu merupakan bentuk komitmen DPR untuk lebih transparan kepada publik.
Namun apa hasilnya?
Berdasarkan data dari KPK, untuk periode 2017-2018, tingkat kepatuhan anggota DPR untuk menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) hanya 21,42 persen, yaitu dari 537 anggota wajib lapor, hanya 115 yang melapor. Persentase itu turun drastis dari periode 2016-2017 yang mencapai 96,36 persen (Kompas, 24 Januari 2019).
Itu artinya, sekalipun sudah ada klinik untuk memudahkan anggota DPR, mereka abai untuk menunaikan kewajibannya.
“Sudah lebih baik yang sekarang sistemnya elektronik bahkan ada kliniknya, kok kepatuhannya cuma 21 persen. (Proses pelaporan) benar-benar dimudahkan, malah rendah kepatuhannya. Jadi kami rasa ini cuma masalah komitmen aja,” kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.
Klinik memang dioperasikan oleh pegawai Sekretariat Jenderal DPR. Namun menurutnya, petugas KPK selalu siap untuk membantu jika ditemukan kendala dalam proses pengisian LHKPN secara daring.
Tidak beroperasi
Ketika kini, rendahnya kepatuhan anggota DPR menunaikan kewajibannya itu digugat oleh banyak pihak, Kompas mencoba melihat kembali keberadaan klinik tersebut.
Plang bertuliskan “Klinik e-LHKPN” hingga Jumat (25/1/2019) memang masih tertempel di depan ruangan klinik yang berada di Gedung Nusantara III DPR.
Namun jika melihat ke dalam ruangan klinik, tidak lagi terlihat aktivitas. Sarana dan prasarana lengkap yang ada saat klinik diresmikan, kini yang tersisa tak sampai separuhnya. Yang terlihat hanya meja tanpa kursi dan sebuah papan ketik komputer yang tergeletak di lantai karpet.
Staf Biro Protokol Sekretariat Jenderal DPR Ahmad Hendra mengatakan, sudah hampir setahun klinik LHKPN tidak beroperasi. “Mungkin hanya dua sampai tiga bulan setelah diresmikan. Kemudian setelah itu tutup. Sudah lama sekali saya juga lupa persisnya,” kata Ahmad.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar membenarkan klinik itu tak lagi beroperasi sejak April 2018. Itu artinya hanya dua bulan setelah klinik diresmikan.
Dia berdalih, pengoperasian klinik dihentikan karena masa pelaporan LHKPN berakhir pada Maret 2018. “Jadi, mulai April 2018 klinik sudah tidak beroperasi lagi,” ujar Indra.
Padahal penyerahan LHKPN merupakan agenda rutin yang harus dilakukan oleh anggota DPR dan penyelenggara negara lainnya, setiap tahun.
Dikutip dari situs resmi KPK, batas waktu penyampaian LHKPN sebenarnya paling lambat 31 Maret setiap tahunnya. Artinya untuk periode 2017-2018 berakhir pada 31 Maret 2018.
Meski demikian, penyelenggara negara termasuk anggota DPR, tak tertutup peluangnya untuk menyerahkan LHKPN setelah tenggat waktu. KPK akan tetap memprosesnya tetapi diberi catatan terlambat melapor. Ini hanya berlaku untuk pelaporan yang dilakukan di tahun yang sama. Jika berganti tahun, mereka akan dinyatakan tidak patuh.
Terkait kondisi terkini klinik LHKPN tersebut, tidak banyak anggota DPR mengetahuinya. “Tutup ya? Saya minta tim saya untuk mengecek kondisi klinik LHKPN, tapi saya belum dapat laporan,” ujar Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera.
Bahkan Bambang Soesatyo yang sempat ditanya terkait rendahnya kepatuhan anggota DPR menyampaikan LHKPN, Rabu (23/1/2019), dia masih membanggakan klinik yang diresmikannya tersebut.
"Kita sendiri kan sudah buka kantor perwakilan sekretariat di sini untuk membantu anggota DPR untuk memperbaiki LHKPN-nya setiap tahun. Kita ingatkan juga. Jadi seharusnya tidak rumit," ujar Bambang.
Namun kalaupun klinik dihidupkan kembali, bukan jaminan akan mendorong anggota DPR patuh dengan kewajibannya. Rendahnya kepatuhan mereka saat klinik masih beroperasi setidaknya sudah menunjukkan hal itu.
Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, yang menjadi persoalan sebenarnya karena mereka memang memiliki komitmen yang rendah pada transparansi.
Di luar itu, bisa jadi mereka sengaja tidak patuh untuk menyembunyikan sesuatu. Sudah bukan rahasia, tidak sedikit anggota DPR yang menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri. Banyak dari mereka tertangkap tangan oleh KPK saat melakukan tindak pidana korupsi. Banyak pula yang ditangkap sebagai hasil pengembangan kasus korupsi yang ditangani KPK.
“Ini mencerminkan bahwa kepedulian akan prinsip transparansi dan akuntabilitas itu tidak ada. Ini bukan karena kemalasan. Saya kira, hal ini memang supaya harta kekayaan yang ada dan mereka kuasai itu tidak masuk dalam daftar administrasi KPK,” kata Adnan.
Adnan mengatakan, para anggota dewan dan penyelenggara negara lainnya sudah seharusnya sadar bahwa melaporkan harta kekayaan mereka adalah suatu kewajiban. “Ketika disumpah di atas ayat-ayat suci, mereka sudah seharusnya paham akan kewajiban mereka. Kalau tidak tahu, ya harus cari tahu, karena melaporkan harta kekayaan adalah kewajiban,” tambahnya.
Lahirnya klinik LHKPN di awal 2018 tak pelak memunculkan persepsi, klinik itu dibuat semata untuk memulihkan citra DPR yang korup. Apalagi sebelumnya, citra DPR terpuruk oleh ketuanya, Setya Novanto, yang terjerat korupsi dan berupaya lari dari upaya penegakan hukum oleh KPK.
"Ini (lahirnya klinik) mungkin adalah salah satu cara untuk memperbaiki citra kelembagaan DPR,” kata Pengamat Politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes.
Kalau transparansi yang menjadi salah satu agenda penting dalam pemberantasan korupsi hanya digunakan sebatas untuk komoditas politik atau pencitraan semata, maka sulit untuk bisa mengharapkan negeri ini bebas dari korupsi. Sampai kapan elit-elit negeri ini akan serius memerangi korupsi?