Tuntutan Pencabutan Remisi Terhadap Susrama Menguat
Pengungkapan kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali Prabangsa pada 2010 menjadi tonggak penegakan kemerdekaan pers di Indonesia. Karena itu, pemberian remisi kepada kepada I Nyoman Susrama, terpidana kasus ini, dinilai menjadi langkah mundur upaya kemerdekaan pers.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Tiga hari terakhir, 19 unjuk rasa digelar oleh sejumlah organisasi. Mereka menuntut remisi terhadap terpidana pembunuhan jurnalis dicabut.
JAKARTA, KOMPAS - Kebijakan Presiden memberikan remisi kepada I Nyoman Susrama, terpidana kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa menuai gelombang protes di sejumlah kota. Sejak tiga hari lalu, berbagai komunitas dan pegiat pers telah menggelar 19 aksi unjuk rasa menuntut Presiden mencabut pemberian remisi terhadap Susrama.
Aksi pertama digelar di titik Nol Kilometer Yogyakarta, Kamis (24/1/2019) oleh sejumlah organisasi, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Yogyakarta, LBH Yogyakarta, Indonesia Court Monitoring Yogyakarta, dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Dalam aksi damai tersebut, mereka menuntut Presiden mencabut remisi terhadap Susrama yang merupakan otak pembunuhan berencana almarhum Prabangsa.
Berikutnya, pada Jumat (25/1/2019), unjuk rasa meluas ke 18 kabupaten/kota lainnya, meliputi Jakarta, Mamuju, Majene, Mamasa, Tanjung Pinang, Kendari, Jambi, Denpasar, Kotamobagu, Banda Aceh, Semarang, Padang, Banyuwangi, Surabaya, Malang, dan Bojonegoro. Di Kota Pelambang, aksi yang digelar berupa diskusi publik bertema “Remisi Pembunuh Jurnalis?”. Sama seperti di Palembang, di Lombok juga akan diselenggarakan diskusi publik kemerdekaan pers sekaligus penandatanganan petisi cabut remisi pembunuh jurnalis, Sabtu (26/1/2019).
Di Denpasar, istri almarhum Prabangsa, Anak Agung Sagung Istri Mas Prihantini, juga turut serta dalam aksi damai bersama para jurnalis di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kanwil Kemenkumham) Bali. Dalam aksi tersebut, mereka meminta Kepala Kanwil Kemenkumham Bali, Sutrisno menandatangani surat pernyataan kesediaan menyampaikan petisi dari para jurnalis terkait pencabutan remisi terhadap narapidana I Nyoman Susrama kepada Menteri Menkumham Yasonna Laoly.
Sama seperti di Denpasar, di Mamuju Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Sulawesi Barat Silvester Sili Labe juga menandatangani surat pernyataan untuk menyampaikan aspirasi sejumlah jurnalis di Mamuju tentang pencabutan remisi terhadap Susrama. Menurut perwakilan jurnalis Anhar, keputusan Presiden memberikan remisi bagi Susrama akan memberi angin segar bagi para pelaku tindak kekerasan terhadap jurnalis lainnya dan berpotensi memunculkan peristiwa sejenis.
Keputusan Presiden memberikan remisi bagi Susrama akan memberi angin segar bagi para pelaku tindak kekerasan terhadap jurnalis lainnya dan berpotensi memunculkan peristiwa sejenis.
Pembunuhan berencana
Kasus pembunuhan Prabangsa bermula dari berita yang dibuatnya pada 3, 8, dan 9 Desember 2008 tentang dugaan korupsi dalam proyek pembangunan taman kanak-kanak bertaraf internasional di Bangli. Pemberitaan itu mengusik Susrama. Ia bersama rekannya kemudian merencanakan pembunuhan terhadap Prabangsa.
Berdasarkan fakta persidangan, pelaksanaan pembunuhan dilakukan pada 11 Februari 2009 di rumah Susrama. Pada saat eksekusi, Susrama juga terbukti ikut memukul korban dengan balok kayu. Dalam keadaan sekarat, Surama dibuang di Teluk Bungsil, Perairan Padang Bai, Karangasem.
“Polisi telah menemukan bukti-bukti yang sangat valid untuk mengatakan bahwa kasus ini adalah pembunuhan berencana dan Susrama adalah otak intelektual di baliknya. Pengadilan Negeri Denpasar dan Mahkamah Agung juga tidak membantah bahwa pembunuhan ini terkait pemberitaan. Sehingga sangat mengejutkan ketika Presiden mengurangi hukuman Susrama dari seumur hidup menjadi 20 tahun,” kata Ketua Umum AJI Abdul Manan dalam aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jumat (25/1/2019) siang.
Menurut Manan, kebijakan Presiden memberikan remisi kepada pembunuh jurnalis jelas merupakan sikap tak bersahabat kepada pers. Ibaratnya, Presiden memberikan sinyal bahwa dirinya tidak mau berdiri di belakang media dalam membela kebebasan pers.
Pengungkapan kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali Prabangsa pada 2010 menjadi tonggak penegakan kemerdekaan pers di Indonesia. Sebelumnya tidak pernah ada kasus pembunuhan jurnalis yang berhasil diungkap secara tuntas di sejumlah daerah di Indonesia, apalagi dihukum berat.
Pengungkapan kasus pembunuhan jurnalis Radar Bali Prabangsa pada 2010 menjadi tonggak penegakan kemerdekaan pers di Indonesia.
Ketua Bidang Advokasi AJI Sasmito mengatakan, masih ada delapan kasus pembunuhan jurnalis lainnya yang belum berhasil diungkap, antara lain pembunuhan Fuad M Syarifuddin (Udin) wartawan Harian Bernas Yogyakarta (1996), pembunuhan Harliyanto wartawan lepas Harian Radar Surabaya (2006, kematian Ardiansyah Matrais wartawan tabloid Jubi dan Merauke TV (2010), dan kasus pembunuhan Alrets Mirulewan wartawan tabloid mingguan Pelangi di Pulau Kisar dan Maluku Barat Daya (2010).
Di tengah macetnya pengungkapan kasus pembunuhan jurnalis di sejumlah tempat, Presiden justru memberikan keringanan hukuman kepada Susrama, pembunuh Prabangsa melalui Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018.
“Kebijakan presiden ini melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia. Kami mendesak Presiden Joko Widodo mencabut Keppres pemberian remisi terhadap Susrama. Pemberian keringanan hukuman bagi pembunuh jurnalis dan tak diadilinya pelaku-pelaku kekerasan terhadap jurnalis akan menyuburkan iklim impunitas dan membuat para pelaku kekerasan tidak jera,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin.
Pegiat Pers sekaligus mantan Direktur LBH Pers Padang Rony Saputra dalam diskusi di AJI Padang, Kamis (24/1/2019) berpendapat, pembunuhan berencana terhadap jurnalis tidak bisa dipandang sebagai kejahatan biasa. Pembunuhan berencana terhadap jurnalis bisa dikategorikan masuk sebagai kejahatan terhadap HAM.