Inilah Cerita Eka Tjipta tentang Eka Tjipta....
Lantaran miskin, Eka Tjipta Widjaja hanya bisa tidur di tempat paling buruk di kapal, di bawah kelas dek.
Bersama ibu, saya ke Makassar tahun 1932 pada usia sembilan tahun. Kami berlayar tujuh hari tujuh malam. Lantaran miskin, kami hanya bisa tidur di tempat paling buruk di kapal, di bawah kelas dek. Hendak makan masakan enak, tak mampu. Ada uang lima dollar, tetapi tak bisa dibelanjakan, karena untuk ke Indonesia saja kami masih berutang pada rentenir, 150 dollar.
Tiba di Makassar, Eka kecil -masih dengan nama Oei Ek Tjhong- segera membantu ayahnya, yang sudah lebih dulu tiba dan mempunyai toko kecil. Tujuannya jelas, segera mendapatkan 150 dollar, guna dibayarkan kepada rentenir.
Dua tahun kemudian, utang terbayar, toko ayahnya maju. Eka pun minta sekolah meski Eka menolak duduk di kelas satu.
Tamat SD, ia tak bisa melanjutkan sekolahnya karena masalah ekonomi. Ia pun mulai jualan. Ia keliling kota Makassar, menjajakan biskuit dan kembang gula. Hanya dua bulan, ia sudah mengail laba Rp 20, jumlah yang besar masa itu. Harga beras ketika itu masih 3-4 sen per kilogram. Melihat usahanya berkembang, Eka membeli becak untuk memuat barangnya.
Namun ketika usahanya tumbuh subur, datang Jepang menyerbu Indonesia, termasuk ke Makassar, sehingga usahanya hancur total. Ia menganggur total, tak ada barang impor/ekspor yang bisa dijual. Total laba Rp 200 yang ia kumpulkan susah payah selama beberapa tahun, habis dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Baca: Eka Tjipta, Pendiri Sinar Mas Meninggal Dunia
Di tengah harapan yang nyaris putus, Eka mengayuh sepeda bututnya dan keliling Makassar. Sampailah ia ke Paotere (pinggiran Makassar, kini salah satu pangkalan perahu terbesar di luar Jawa). Di situ ia melihat betapa ratusan tentara Jepang sedang mengawasi ratusan tawanan pasukan Belanda. Tapi bukan tentara Jepang dan Belanda itu yang menarik Eka, melainkan tumpukan terigu, semen, gula, yang masih dalam keadaan baik.
Otak bisnis Eka segera berputar. Secepatnya ia kembali ke rumah dan mengadakan persiapan untuk membuka tenda di dekat lokasi itu. Ia merencanakan menjual makanan dan minuman kepada tentara Jepang yang ada di lapangan kerja itu.
Bukan tentara Jepang dan Belanda itu yang menarik perhatian Eka, melainkan tumpukan terigu, semen, dan gula.
Keesokan harinya, masih pukul empat subuh, Eka sudah di Paotere. Ia membawa serta kopi, gula, kaleng bekas minyak tanah yang diisi air, oven kecil berisi arang untuk membuat air panas, cangkir, sendok dan sebagainya. Semua alat itu ia pinjam dari ibunya.
Enam ekor ayam ayahnya ikut ia pinjam. Ayam itu dipotong dan dibikin ayam putih gosok garam. Ia juga pinjam satu botol whiskey, satu botol brandy dan satu botol anggur dari teman-temannya.
Jam tujuh pagi ia sudah siap jualan. Benar saja, pukul tujuh, 30 orang Jepang dan tawanan Belanda mulai datang bekerja.
Tapi sampai pukul sembilan pagi, tidak ada pengunjung. Eka memutuskan mendekati bos pasukan Jepang. Eka mentraktir si Jepang makan minum di tenda. Setelah mencicipi seperempat ayam komplit dengan kecap cuka dan bawang putih, minum dua teguk whisky gratis, si Jepang bilang joto. Setelah itu, semua anak buahnya dan tawanan diperbolehkan makan minum di tenda Eka. Tentu saja ia minta izin mengangkat semua barang yang sudah dibuang.
Segera Eka mengerahkan anak-anak sekampung mengangkat barang- barang itu dan membayar mereka 5-10 sen. Semua barang diangkat ke rumah dengan becak. Rumah berikut halaman Eka, dan setengah halaman tetangga penuh terisi segala macam barang.
Ia pun bekerja keras memilih apa yang dapat dipakai dan dijual. Terigu misalnya, yang masih baik dipisahkan. Yang sudah keras ditumbuk kembali dan dirawat sampai dapat dipakai lagi. Ia pun belajar bagaimana menjahit karung.
Karena waktu itu keadaan perang, maka suplai bahan bangunan dan barang keperluan sangat kurang. Itu sebabnya semen, terigu, arak China dan barang lainnya yang ia peroleh dari puing-puing itu menjadi sangat berharga.
Ia mulai menjual terigu. Semula hanya Rp 50 per karung, lalu ia naikkan menjadi Rp 60, dan akhirnya Rp 150. Untuk semen, ia mulai jual Rp 20 per karung, kemudian Rp 40.
Kala itu ada kontraktor hendak membeli semennya, untuk membuat kuburan orang kaya. Tentu Eka menolak, sebab menurut dia, ngapain jual semen ke kontraktor?
Maka Eka pun kemudian menjadi kontraktor pembuat kuburan orang kaya. Ia bayar tukang Rp 15 per hari ditambah 20 persen saham kosong untuk mengadakan kontrak pembuatan enam kuburan mewah. Ia mulai dengan Rp 3.500 per kuburan, dan yang terakhir membayar Rp 6.000. Setelah semen dan besi beton habis, ia berhenti sebagai kontraktor kuburan.
Demikianlah Eka, berhenti sebagai kontraktor kuburan, ia berdagang kopra, dan berlayar berhari-hari ke Selayar (selatan Sulsel) dan ke sentra-sentra kopra lainnya untuk memperoleh kopra murah.
Eka mereguk laba besar, tetapi mendadak ia nyaris bangkrut karena Jepang mengeluarkan peraturan bahwa jual beli minyak kelapa dikuasai Mitsubishi yang membeli Rp 1,80 per kaleng. Padahal di pasaran harga per kalengnya Rp 6. Eka rugi besar.
Ia mencari peluang lain. Berdagang gula, lalu teng-teng (makanan khas Makassar dari gula merah dan kacang tanah), wijen, kembang gula. Tapi ketika mulai berkibar, harga gula jatuh, ia rugi besar, modalnya habis lagi, bahkan berutang. Eka harus menjual mobil jip, dua sedan serta menjual perhiasan keluarga termasuk cincin kawin untuk menutup utang dagang.
Tapi Eka berusaha lagi. Dari usaha leveransir dan aneka kebutuhan lainnya. Usahanya juga masih jatuh bangun. Misalnya, ketika sudah berkibar tahun 1950-an, ada Permesta, dan barang dagangannya, terutama kopra habis dijarah oknum-oknum Permesta. Modal dia habis lagi. Namun Eka bangkit lagi, dan berdagang lagi.
USAHANYA baru benar-benar melesat dan tak jatuh-jatuh setelah Orde Baru, era yang menurut Eka, "memberi kesejukan berusaha". Pria bertangan dingin ini mampu membenahi aneka usaha yang tadinya "tak ada apa-apanya" menjadi "ada apa-apanya". Tjiwi Kimia, yang dibangun 1976, dan berproduksi 10.000 ton kertas (1978) dipacu menjadi 600.000 ton sekarang ini.
Tahun 1980-1981 ia membeli perkebunan kepala sawit seluas 10 ribu hektar di Riau, mesin serta pabrik berkapasitas 60 ribu ton. Perkebunan dan pabrik teh seluas 1.000 hektar berkapasitas 20 ribu ton dibelinya pula.
Tahun 1982, ia membeli Bank Internasional Indonesia. Awalnya BII hanya dua cabang dengan aset Rp 13 milyar. Setelah dipegang dua belas tahun, BII kini memiliki 140 cabang dan cabang pembantu, dengan aset Rp 9,2 trilyun.
Baca: Sinar Mas dan Kompas Gramedia Mewakafkan Al Quran
PT Indah Kiat juga dibeli. Produksi awal (1984) hanya 50.000 ton per tahun. Sepuluh tahun kemudian produksi Indah Kiat menjadi 700.000 ton pulp per tahun, dan 650.000 ton kertas per tahun.
Tak sampai di bisnis perbankan, kertas, minyak, Eka juga merambah ke bisnis real estate. Ia bangun ITC Mangga Dua, ruko, apartemen lengkap dengan pusat perdagangan. Di Roxy ia bangun apartemen Green View, di Kuningan ada Ambassador.
"Saya sungguh menyadari, saya bisa seperti sekarang karena Tuhan Maha Baik. Saya sangat percaya Tuhan, dan selalu ingin menjadi hamba-Nya yang baik," katanya, mengomentari semua suksesnya kini.
"Kecuali itu, hematlah," tambahnya. Ia menyarankan, kalau hendak menjadi pengusaha besar, belajarlah mengendalikan uang. Jangan laba hanya Rp 100, belanjanya Rp 90. Dan kalau untung cuma Rp 200, jangan coba-coba belanja Rp 210. "Waaahhh, itu cilaka betul," katanya.
Setelah puluhan tahun berbisnis dan bergelar konglomerat, Eka mengatakan, dia pribadi sebenarnya sangat miskin. "Tiap memikirkan utang berikut bunganya yang demikian besar, saya tak berani menggunakan uang sembarangan. Ingin rehat susah, sebab waktu terkuras untuk bisnis. Terasa benar tak ada waktu menggunakan uang pribadi," Eka mengeluh. Hendak makan makanan enak, lanjutnya, sulit benar karena makanan enak rata-rata berkolesterol tinggi.
Inilah ironi, kata Eka. Dulu ia susah makan makanan enak karena miskin. Kini ketika sudah "konglomerat", Eka tetap susah makan enak, karena takut kolesterol.
Seorang peserta seminar "Rekayasa Ulang Proses Bisnis untuk Pengusaha Kecil dan Menengah Indonesia" di Hotel Sahid Jaya, Senin (30/1/1995) mengatakan, mengapa ketika berusia sembilan tahun ia memilih berlayar ke Indonesia bukan ke negara lain.
Eka dengan senyum mengatakan, pertanyaan itu sama dengan pertanyaan yang bunyinya begini, "Mengapa saya memilih wanita ini sebagai istri saya, mengapa bukan yang lain?" (BANU ASTONO/ ABUN SANDA)
catatan:
Tulisan ini dimuat di KOMPAS, Rabu, 01 Februari 1995 Halaman: 020