RUU Permusikan Dinilai Prematur
Penolakan terhadap RUU Permusikan berlanjut. Kalaupun direvisi, draf RUU Permusikan ini harus dirombak karena isi dan penyusunannya bermasalah.
JAKARTA, KOMPAS - Rancangan Undang-Undang Permusikan dinilai prematur karena tidak disusun berdasarkan naskah akademik yang memenuhi standar ilmiah. Selain itu, hampir semua pasal dalam draf RUU permusikan ini bermasalah, yaitu dari 54 pasal yang ada, 50 pasal terindikasi bermasalah.
Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang Permusikan menemukan begitu banyak masalah di hampir keseluruhan pasal draft Rancangan Undang-Undang Permusikan. Permasalahan tersebut meliputi hal-hal substansial, disharmoni dengan perundang-undangan lain, potensi-potensi munculnya penafsiran ganda, hingga ketidakcermatan dalam perancangan pasal. Setelah dikaji lebih lanjut, hanya ada empat pasal yang tak terindikasi masalah, yaitu pasal 44, pasal 52, pasal 53, dan pasal 54.
“RUU ini berangkat dari naskah akademiknya yang tidak jelas, landasan awalnya cacat dan tidak ada sosialisasi sama sekali kepada musisi dan pekerja musik. Draft RUU Permusikan ini banyak serampangan sehingga kalaupun mau direvisi, maka RUU ini harus dirombak semuanya dari awal, termasuk mengulang dari penyusunan naskah akademik yang menyeluruh, mendalam, dan benar-benar merefleksikan kebutuhan dan daya guna RUU ini,” kata Arian Arifin, vokalis Band Seringai sekaligus anggota Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, Rabu (6/2/2019), di Jakarta.
Penyusunan RUU Permusikan sebagai informasi publik bertentangan dengan asas keterbukaan seperti diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini terlihat dari penyusunan draft RUU Permusikan yang selesai sejak 15 Agustus 2018, tetapi baru bisa bisa diakses dan ramai diperbincangkan media serta komunitas-komunitas musik pada Februari 2019 ini.
Menurut Arian, pasal-pasal dalam RUU ini tidak menjawab identifikasi masalah tentang kesejahteraan pekerja musik atau pengaturan pemerintah dalam menjamin ekosistem musik yang adil. Sebaliknya, pasal-pasal dalam RUU permusikan justru berpotensi membatasi ruang gerak dan menyensor kebebasan berekspresi musisi.
Hal yang disesalkan lagi adalah, RUU ini tidak disusun berdasarkan naskah akademik yang memenuhi standar ilmiah. Koalisi menilai, semestinya penyusunan draft RUU sejak awal harus dilandasi dengan pengkajian akademik yang melibatkan perwakilan pekerja musik dari berbagai latar belakang, mulai dari musisi independen, tradisi, daerah, jalanan, dan sebagainya.
“Kajian ini akan menelisik bagaimana pemerintah dapat menjadi fasilitator bukan pengontrol yang melibatkan organisasi-organisasi yang kompeten dan berpengalaman di permusikan Indonesia sejak awal, bukan saja pemain-pemain besar di industri musik hari ini. Ini penting karena musik lahir dari komunitas dan masyarakatlah yang menghidupkan kebudayaan,” kata penyanyi Mondo Gascaro.
Disinergikan
Arian menambahkan, kajian akademik RUU Permusikan semestinya disinergikan dengan UU Hak Cipta, UU Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam yang keduanya berkaitan erat dengan perlindungan kepada pihak-pihak terkait dunia permusikan. Selain itu, kajian akademik juga perlu dicocokkan dengan UU Pemajuan Kebudayaan yang sebenarnya telah mengatur musik sebagai salah satu bagian dari seni yang merupakan satu dari 10 obyek pemajuan kebudayaan.
“UU Pemajuan Kebudayaan sebenarnya sudah bagus banget. Sayangnya, RUU Permusikan justru semangatnya sangat bertolak belakang dengan UU Pemajuan Kebudayaan. Dalam Pasal 3 UU Pemajuan Kebudayaan disebutkan, pemajuan kebudayaan berasaskan toleransi, keberagaman, kelokalan, lintas wilayah, partisipatif, manfaat, berkelanjutan, kebebasan berekspresi, keterpaduan, kesederajatan, dan gotong royong. UU Pemajuan kebudayaan ini terasa sekali menjadi sistem pendukung bagi pelaku kebudayaan termasuk di dalamnya musisi dan pekerja musik. Namun, RUU Permusikan justru memagari musisi dan pekerja musik,” kata penyanyi Kartika Jahja yang juga tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menilai, Pasal 5 draft RUU Permusikan yang berisi larangan bagi setiap orang dalam berkreasi untuk mendorong khalayak melakukan kekerasan, penyalahgunaan narkoba, provokatif, hingga merendahkan harkat dan martabat manusia sangat tidak jelas dan multipersepsi. Dengan pasal ini, maka musisi mudah sekali dikait-kaitkan dengan peristiwa kekerasan meski tidak ada hubungannya sama sekali. “Pasal karet ini sangat provokatif,” ucapnya.
Menjaring pendapat
Menyikapi segala kerawanan dalam draft RUU Permusikan ini, Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan secara tegas menolak draft RUU Permusikan karena terlampau prematur, tidak berdasar pada kajian, diskusi, serta partisipasi aktif para pekerja musik di Indonesia.
Musisi sekaligus pengajar Institut Musik Daya Indonesia, Prof Tjut Nyak Deviana Daudsjah berpendapat, sebelum draft RUU Permusikan diajukan, semestinya harus diadakan forum untuk menjaring pendapat-pendapat dari para praktisi musik mulai dari Sabang sampai Merauke.
“Ini bisa memakan waktu dua hingga tiga tahun. Setelah lengkap, baru kita dengan seizing musisi seluruh Indonesia membuat organisasi yang mewakili mereka. Setelah itu, baru kita merancang dengan kalimat tepat draft RUU dan disampaikan ke DPR,” kata dia.
Sebagai musisi sekaligus akademisi, Deviana menilai draft RUU Permusikan yang ada saat ini sama sekali tidak mewakili bahasa musik. Menurutnya, 95 persen dari RUU tersebut harus direvisi. “Naskah RUU Permusikan ini saya tolak mentah-mentah,” tegasnya.