Venezuela: Kutukan Negara Minyak
Warisan orangtua dapat menjadi berkat ataupun kutuk dalam sebuah keluarga. Demikian juga bagi negara. Venezuela adalah contohnya.
Sebagai negara yang dianggap paling potensial untuk berkembang di Amerika Selatan karena cadangan minyak mentah terbesar di dunia, Venezuela berakhir dengan lebih menyedihkan daripada negara yang miskin sumber daya alam.
Situasi tersebut telah menjadi bahan penelitian mendalam oleh Terry Lynn Karl dalam bukunya, The Paradox of Plenty: Oil Booms and Petro-states, pada 1997. Terry mencontohkan Venezuela sebagai salah satu petro-state, yakni negara yang sangat menggantungkan pendapatan pada minyak. Ketergantungan tersebut tidak berhasil dimanfaatkan dengan baik sehingga Venezuela menjadi contoh negara minyak yang gagal memanfaatkan kekayaan yang dimilikinya.
Dalam istilah ekonomi, Venezuela mengalami Dutch Disease, krisis ekonomi yang disebabkan ditemukannya sumber daya alam yang besar. Dengan ditemukannya minyak, pendapatan Venezuela sangat bergantung pada minyak sehingga akan mematikan sumber ekonomi lain, seperti hasil pertanian, industri, jasa, dan konstruksi.
Pendapatan dari minyak menjadi sangat destruktif dan mengancam negara karena Venezuela belum memiliki tahapan pembangunan yang kokoh serta kultur birokrasi yang kuat sebelum terjadi bom minyak.
Dua puluh tahun kemudian, Venezuela, yang memiliki nama resmi Bolivarian Republic of Venezuela, tak juga beranjak dari julukan negara minyak yang gagal, malah semakin parah. Penduduk Venezuela hidup dalam kemiskinan karena inflasi yang membubung tinggi dan langkanya bahan makanan (Kompas, 25 Januari 2019).
Krisis ekonomi
Minyak yang dianggap sebagai tumpuan ekonomi di Venezuela tidak lagi dapat diandalkan untuk mendanai berbagai program pemerintah. Produksi minyak turun drastis dari tahun ke tahun. Pada 2018, produksi minyak mentah Venezuela sekitar 1 juta barel per hari, jauh di bawah produksi melimpah 3 juta barel per hari pada 2002.
Tanpa kucuran program dari pemerintah, rakyat tak mampu membeli cukup makanan sehingga banyak penduduk terpaksa kembali mengonsumsi ketela khas Venezuela, yuka. Akibatnya, dua pertiga rakyat Venezuela kehilangan berat badan rata-rata 11 kilogram sepanjang 2017. Hal itu diperburuk dengan wabah malaria yang menghantui penduduk Venezuela. Lebih dari 600.000 kasus malaria menyerang penduduk.
Suasana krisis pangan dan sarana kesehatan tersebut juga disebabkan inflasi yang tak terkendali di Venezuela. Setelah naik sebagai presiden pada 2013, Nicolas Maduro melanjutkan kebijakan populis pendahulunya, Hugo Chavez.
Berbeda dengan situasi di era Chavez pada awal tahun 2000-an, kebijakan Maduro tak didukung oleh pendapatan minyak yang melimpah.
Pada awal pemerintahannya, Chavez sangat diuntungkan dengan pendapatan melimpah dari ekspor minyak. Oleh karena itu, pemerintahannya mampu mendanai program-program sosial dan populis berupa subsidi untuk makanan dan energi. Langkah tersebut sempat memangkas angka kemiskinan di Venezuela hingga 20 persen.
Akan tetapi, untuk jangka panjang, kebijakan Chavez sangat berisiko. Kebijakan pemerintah yang antipasar serta mengontrol mata uang dan harga telah menahan masuknya investasi asing di Venezuela. Pengeluaran pemerintah pun tak diarahkan untuk investasi bagi peningkatan produktivitas ekonomi. Ditambah lagi, tak ada usaha untuk mengadakan diversifikasi ekonomi di luar minyak.
Situasi semacam itulah yang diwarisi oleh Maduro ketika menggantikan Chavez pada 2013. Maduro semakin terpukul saat terjadi krisis minyak pada 2014. Akibatnya, program pemerintah tak dapat didanai.
Menghadapi krisis minyak, Maduro malah mencetak uang sehingga mengakibatkan inflasi yang tak tertahankan. Maduro tidak berusaha mendongkrak perekonomian dengan meningkatkan pajak ataupun menahan pengeluaran. Hasilnya, hingga November 2018, inflasi tahunan di Venezuela meroket hingga 1,3 juta persen.
Menyadari bahwa krisis ekonomi semakin parah, Maduro bereaksi dengan melakukan represi. Ia mencari dukungan dari militer dengan cara menempatkan para pejabat tinggi militer sebagai pemegang perusahaan negara di sektor transportasi umum, air, gas, dan pariwisata.
Situasi tersebut memancing gelombang protes di seluruh negeri. Sepanjang 2018, LSM Observatorio Venezolano de Conflictividad Society mencatat 12.715 gerakan protes rakyat Venezuela atau rata-rata 35 protes dalam sehari. Dari jumlah tersebut, 89 persen protes menuntut hak ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup.
Alasan utama rakyat Venezuela turun ke jalan adalah menuntut hak atas pekerjaan dan gaji yang lebih baik. Selain itu, mereka juga meminta akses terhadap sarana mendasar, seperti gas, air, listrik, dan makanan.
Persoalannya menjadi sangat sederhana dan mendasar, rakyat Venezuela tidak memiliki uang untuk membeli makanan dan memberi makan keluarga mereka.
Hal tersebut juga memicu eksodus penduduk Venezuela ke negara-negara tetangga. Tercatat lebih dari 3 juta penduduk Venezuela meninggalkan negerinya sejak 2014 menuju Kolombia, AS, Ekuador, Spanyol, Argentina, Chile, Panama, dan Brasil.
Krisis ekonomi yang mendera Venezuela itu tak dapat dilepaskan dari kebijakan politik yang diambil oleh pemegang kekuasaan di Venezuela.
Chavismo dan ”colectivos”
Mulai dengan terpilihnya Hugo Chavez sebagai Presiden Venezuela pada 1998, Venezuela resmi berjalan dengan ideologi Chavismo. Ideologi tersebut bercirikan pemahaman bahwa negara harus berperan konkret untuk mendukung program kesejahteraan bagi rakyatnya.
Prinsip yang dibawa oleh ideologi Chavismo ini meliputi juga nasionalisasi industri dan sikap antineoliberalisme ekonomi. Secara konkret, Chavez menggunakan pendapatan dari penjualan minyak Venezuela untuk mendanai program pengurangan kemiskinan di Venezuela.
Chavez juga menanamkan akar semangat revolusioner Simon Bolivar, pahlawan pembebasan Amerika Latin, ke dalam sosialismenya. Ciri Bolivarian terasa dari janjinya untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam demokrasi, memangkas birokrasi yang menghalangi ekspresi warga negara.
Dalam pelaksanaannya, tak semua pendapat rakyat bisa mudah disuarakan karena media di Venezuela lama-kelamaan menjadi perpanjangan tangan penguasa. Di era itu, Juan Guaido, yang belakangan mendeklarasikan diri sebagai presiden ad interim Venezuela, berdemo menentang Chavez yang mengendalikan media di Venezuela.
Selain loyalis Chavismo yang menyebut diri Chavistas, para loyalis Hugo Chavez juga membentuk organisasi masyarakat yang disebut colectivos. Nama colectivos mengambil inspirasi dari gerakan gerilyawan Venezuela tahun 1960-an. Ormas tersebut dibiayai dan dipersenjatai oleh pemerintah.
Chavez membentuk colectivos sebagai usaha mendapatkan dukungan dari akar rumput. Colectivos berkembang pesat dan memiliki nama sendiri-sendiri. Organisasi ini jugalah yang kemudian menjadi pembela Chavez dalam kudeta gagal yang dimotori oleh sekelompok anggota militer pada 2002.
Setelah Chavez meninggal pada 2013, ia digantikan oleh Nicolas Maduro. Sebelum meninggal, Chavez berpesan bahwa dirinya memilih Maduro sebagai penerus ideologinya. Sebagai loyalis Chavismo, colectivos mendukung Maduro yang memosisikan diri sebagai ahli waris sah ideologi Chavismo.
Dengan demikian, Maduro menggantikan Chavez sebagai pejabat presiden, menabrak konstitusi Venezuela yang memberi kuasa kepada ketua Dewan Nasional untuk menggantikan presiden yang tidak dapat melanjutkan masa pemerintahan.
Mengingat ketua Dewan Nasional saat itu, Diosdado Cabello, adalah loyalis Chavez, hal tersebut dapat berjalan tanpa persoalan. Selain itu, pada saat itu, Dewan Nasional masih dikuasai oleh PSUV, partai Chavez, Maduro, dan Diosdado Cabello.
Tak lama berselang, pilpres digelar dan Maduro memenangi pemilihan dengan selisih tipis, 1,6 persen. Oleh karena itu, sejak 2013, Maduro menjadi Presiden Venezuela selama enam tahun berikutnya.
Nicolas Maduro
Sebagai penerus ideologi Chavismo, Maduro mulai menjadi pengagum Chavez sejak kudeta yang dipimpin oleh Hugo Chavez pada 1992. Walaupun gagal, ide gerakan revolusioner Bolivarian yang dibawa oleh Chavez telah memikat Maduro untuk berpolitik dengan landasan serupa.
Pada saat itu, Maduro berkesempatan masuk dalam lingkaran Chavez karena memadu kasih dengan Cilia Flores, salah satu pengacara yang membela Chavez pascakegagalan dalam kudeta 1992. Belakangan, Maduro menikahi Flores pada 2013 setelah ia menjadi Presiden Venezuela.
Politisi yang lahir pada 1952 ini mulai berpolitik praktis sejak bergabung dengan Socialist League. Alih-alih melanjutkan sekolah, Maduro remaja memilih pergi ke Kuba untuk mendapatkan pelatihan organisasi serikat pekerja.
Pulang ke Venezuela, Maduro menjadi sopir bus dan masuk ke serikat buruh transportasi hingga terpilih menjadi ketua serikat buruh transportasi Caracas.
Sebagai simpatisan Chavismo, Maduro mulai dipercaya oleh Chavez dengan masuk ke Majelis Konstituante bentukan Chavez. Tugas lembaga ad hoc ini adalah menulis ulang konstitusi Venezuela sesuai ideologi Chavismo pada 1999. Melalui konstitusi inilah, sistem bikameral dalam parlemen Venezuela dihapus, diganti dengan unikameral dengan Dewan Nasional.
Pada tahun 2000, Maduro terpilih menjadi anggota Dewan Nasional. Pada 2005, Maduro kembali masuk sebagai anggota Dewan Nasional, bahkan terpilih sebagai ketua.
Satu tahun kemudian, Maduro ditarik masuk ke kabinet Chavez sebagai menteri luar negeri. Di Dewan Nasional, jabatannya digantikan oleh Cilia Flores, kekasihnya di tahun 1990-an. Pada zaman Maduro inilah, kebijakan luar negeri Venezuela semakin hangat dengan Rusia dan China.
Karier politik Maduro melejit setelah Chavez mengangkatnya menjadi wakil presiden pada 2012. Sebagai mentor, Chavez menganggap Maduro sebagai loyalis yang dapat meneruskan ideologi Chavismo yang dibawanya. Oleh karena itu, sebelum meninggal, Chavez mewanti-wanti Maduro untuk menggantikannya.
Maduro terpilih sebagai presiden pada April 2013. Sebagai ahli waris ideologi Chavismo, Maduro pandai membangkitkan ingatan rakyat Venezuela terhadap Hugo Chavez, bahkan sering berbicara di depan foto besar Chavez.
Pada 2015, kekuasaan Maduro di Dewan Nasional ambruk setelah partainya, PSUV, tak lagi menjadi mayoritas di parlemen. Karena mendapat tantangan dari pihak oposisi di Dewan Nasional, Maduro berupaya melucuti kewenangan Dewan Nasional.
Maduro membentuk Dewan Konstituante pada 2017. Ia ingin mengulang sukses Chavez pada 1999, saat dirinya juga terlibat dalam Dewan Konstituante. Bedanya, sebelum membentuk Majelis Konstituante, Chavez mengadakan referendum dan didukung rakyat Venezuela.
Maduro membentuk Dewan Konstituante tanpa meminta persetujuan rakyat lewat referendum. Dewan Konstituante bentukan Maduro berisi para loyalisnya untuk mengimbangi Dewan Nasional. Selain itu, Majelis Konstituante tak segera dibubarkan begitu menyelesaikan tugasnya.
Segera, kaum oposisi menentang pembentukan Majelis Konstituante karena presiden dianggap tak berkuasa membentuknya tanpa persetujuan rakyat.
Selain itu, beberapa golongan Chavistas (simpatisan Chavismo) juga menentangnya karena mereka tidak menginginkan perubahan pada konstitusi yang telah ada. Mereka takut bahwa berbagai program sosial yang telah dibuat oleh Hugo Chavez akan dihilangkan dalam konstitusi yang baru.
Didera oleh krisis ekonomi serta kekuasaannya yang melemah di parlemen, kekuasaan Maduro digoyang dengan berbagai protes dari rakyat. Pihak oposisi berdiri di belakang protes rakyat Venezuela. Puncaknya, oposisi menyerukan protes menolak pengangkatan kembali Nicolas Maduro menjadi Presiden Venezuela pada awal Januari 2019.
Krisis politik
Secara politik, perlawanan dari pihak oposisi secara langsung terlihat sejak pemilu presiden 2018. Karena menganggap bahwa pemilu akan dicurangi petahana, pihak oposisi melakukan boikot terhadap pilpres 2018. Tanpa dukungan dari oposisi, pilpres Venezuela tetap digelar dengan empat kontestan.
Hasilnya dapat ditebak. Maduro dapat mengalahkan lawannya dengan kemenangan telak 67,8 persen atau 6,2 juta suara, jauh meninggalkan penantangnya. Jumlah tersebut merupakan 30 persen dari seluruh pemilih sah yang berhak memberikan suara. Pada pilpres tersebut terdapat 20,5 juta rakyat Venezuela yang berhak memberikan suara, tetapi hanya 9,3 juta orang yang memberikan suaranya di bilik suara.
Dengan partisipasi pemilih yang hanya 46 persen, pihak oposisi tidak mengakui kemenangan Maduro. Mereka menganggap bahwa kemenangan Maduro tidak sah. Oleh karena itu, pihak oposisi merencanakan untuk mengadakan pemilihan ulang.
Langkah oposisi untuk mengadakan pemilihan ulang semakin terbuka lebar setelah pada 20 Desember 2018, parlemen, Dewan Rakyat, memilih struktur pemimpin baru. Juan Guaido, ketua Partai Voluntad Popular (VP) berumur 35 tahun, terpilih sebagai ketua Dewan Rakyat.
Saat dilantik pada 5 Januari 2019, Guaido berjanji akan mengadakan pemilihan ulang. Janji Guaido tersebut merupakan bentuk perlawanan terbuka dari pihak oposisi di kubu Dewan Nasional yang sejak 2015 dikuasai oleh oposisi.
Di Dewan Nasional, oposisi yang tergabung dalam koalisi yang dibentuk oleh Partai MUD menguasai 109 kursi, sedangkan partai Maduro, PSUV, hanya menguasai 54 kursi.
Suasana semakin memanas pascapelantikan Maduro sebagai presiden pada 10 Januari 2019. Guaido menyatakan bahwa Maduro telah melakukan perebutan kekuasaan. Ia meminta militer, rakyat, serta komunitas internasional untuk menurunkan Maduro dari kursi kepresidenan. Dua hari kemudian, Guaido sempat ditahan oleh Dinas Intelijen Nasional Venezuela (SEBIN) selama hampir satu jam, tetapi kemudian dibebaskan.
Pemerintah lantas mengubah strategi perlawanan, tidak dengan tindakan represif, tetapi dengan mencoba mendelegitimasi gerakan oposisi melalui Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung menyatakan bahwa semua keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Nasional adalah inkonstitusional. Oleh karena itu, semua keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Nasional adalah inkonstitusional.
Tak terpengaruh dengan keputusan yang dibuat oleh Mahkamah Agung, Dewan Nasional mencoba mencari dukungan dari militer. Mereka mendekati prajurit menengah dan yunior untuk mendukungnya. Dewan Nasional menawarkan amnesti bagi militer yang bersedia bekerja sama dengan pemerintahan sementara.
Dukungan internasional pun mulai berdatangan. Wakil Presiden AS Mike Pence mengatakan, AS mendukung Guaido dan demonstrasi yang menentang pemerintahan Maduro. Hal itu dapat dipahami mengingat AS selama ini menganggap pemerintahan Maduro, bahkan sejak Chavez, adalah ancaman bagi ”halaman belakang” AS.
Langkah Guaido semakin mantap. Pada 23 Januari 2019, di tengah demonstrasi yang sedang digelar untuk menentang Maduro, ia mendeklarasikan diri sebagai presiden ad interim yang akan mengantarkan pemilu ulang di Venezuela.
Guaido menyatakan bahwa pemilihan Maduro terlaksana dengan tidak adil, merampas kekuasaan. Ia mengatakan, kepemimpinan Maduro tidak sah sehingga kursi kepresidenan kosong.
Senjata makan tuan, Guaido menggunakan Artikel 233 dan 333 Konstitusi Venezuela 1999 yang ikut disusun Maduro.
Artikel yang disebutkan menyatakan bahwa kepala Dewan Nasional mengambil alih kekuasaan sebagai akting presiden dalam beberapa kasus ketika presiden tidak dapat melanjutkan pemerintahan.
Ia juga menggunakan Artikel 350 yang menyatakan bahwa rakyat Venezeula seharusnya mengingkari setiap rezim yang menentang prinsip-prinsip demokrasi.
Tanpa mempersoalkan legitimasi konstitusional seputar penggunaan artikel tersebut, simpati dunia internasional berdatangan mendukung deklarasi Guaido sebagai presiden ad interim.
Perhatian internasional
Dukungan pertama datang dari AS, Presiden Donald Trump, yang menyatakan bahwa pemerintahan Presiden Maduro tidak sah. Dari Davos, wakil negara-negara Grup Lima mengakui Guaido sebagai Presiden Venezuela.
Sebaliknya, dukungan terhadap Maduro juga bermunculan. Rusia, China, dan Turki masih mendukung pemerintahan Maduro. Selain itu, Maduro juga mendapatkan dukungan dari Meksiko, Bolivia, dan Kuba.
Membalas komentar AS, Maduro segera memutus hubungan diplomatik dengan AS. Ia mengusir para diplomat AS, memberi waktu 72 jam untuk meninggalkan Venezuela.
Dukungan terhadap Maduro bertambah ketika Menlu Rusia menyatakan bahwa dukungan internasional bagi Guaido merupakan jalan ilegal yang akan membawa pada pertumpahan darah.
Sejak menjadi menteri luar negeri, Maduro telah menjalin relasi dengan Rusia dan China. Venezuela dapat menjalin relasi yang baik dengan Rusia karena mereka sama-sama merupakan ancaman bagi AS. Rusia telah memberikan pinjaman yang besar kepada Venezuela. Selain itu, Rusia menjadi eksportir senjata terbesar bagi Venezuela dalam kurun waktu 1999-2008. Tak mengherankan, Rusia masih mendukung Maduro.
Walaupun secara resmi mendukung Maduro, Guaido juga menjajaki kerja sama dengan China. Dalam wawancara dengan South China Morning Post, Guaido mengharapkan relasi yang lebih baik dengan China, bahkan ingin menjadikan Venezuela sebagai perpanjangan program China One Belt Road Strategy.
China menyatakan bahwa relasinya dengan Venezuela tidak akan terpengaruh dengan situasi politik yang sedang terjadi di Venezuela. China harus mengamankan pinjaman yang selama ini telah digelontorkan ke Venezuela.
Selama 10 tahun terakhir, China telah memberikan pinjaman sebesar 50 miliar dollar AS kepada Venezuela dan dibayar dengan minyak. Tak mengherankan, China memainkan langkah pragmatis, mengadakan pendekatan kepada kedua kubu.
Dukungan Turki terhadap pemerintah Maduro dimulai karena emas. Setelah mendapat sanksi perdagangan minyak, Venezuela mencoba mendongkrak pendapatan dengan penjualan emas.
Turki menjadi salah satu pembeli emas terbesar Venezuela, bahkan mencapai 900 juta dollar AS sepanjang 2018. Belakangan AS mencium adanya aliran emas Venezuela ke Iran melalui Turki sehingga Turki sempat ingin menghentikan perdagangan emas dari Venezuela. Akan tetapi, Turki tetap mendukung Venezuela di bawah Maduro.
Sanksi AS
Di tengah aksi dukung mendukung tanpa tindakan konkret, Pemerintah AS merongrong Maduro dalam bentuk sanksi perdagangan. AS menjatuhkan sanksi kepada perusahaan minyak milik negara Venezuela, PdVSA, agar Maduro turun dari jabatan.
Sejumlah 7 miliar dollar AS aset PdVSA dalam yurisdiksi AS dibekukan. Selain itu, PdVSA akan kehilangan 11 miliar dollar AS pendapatan ekspor selama satu tahun ke depan karena AS merupakan importir minyak terbesar dari Venezuela, diikuti China dan India.
Sanksi AS juga melarang perusahaan AS untuk mengekspor barang dan jasa kepada perusahaan minyak PdVSA. Kilang minyak AS juga dilarang mengimpor minyak mentah dari PdVSA apabila pembayarannya terkait dengan Maduro.
Sanksi AS semakin ampuh karena sifat minyak mentah yang dimiliki Venezuela. Minyak mentah yang dihasilkan Venezuela mengandung sulfur yang tinggi sehingga membutuhkan kilang dengan teknologi tinggi untuk mengolahnya. Kilang minyak di AS merupakan salah satu kilang dengan teknologi yang dapat mengolah minyak dengan kadar sulfur tinggi.
Dengan demikian, sanksi AS telah mengunci Venezuela yang 90 persen pendapatan luar negerinya bergantung pada minyak. Rakyat Venezuela semakin menderita dan protes semakin meluas.
Juan Guaido
Di dalam negeri, pihak oposisi menggelar demonstrasi yang lebih besar pada 2 Februari 2019. Ribuan rakyat Venezuela turun ke jalan, menunjukkan dukungan kepada Juan Guaido dan menuntut Maduro turun. Guaido meminta oposisi tetap melancarkan protes sampai Venezuela dimerdekakan.
Keberanian suami dari Fabiana Rosales dan ayah dari Miranda ini membuat banyak pihak bertanya-tanya. Selama ini, Guaido merupakan politisi yang tak banyak dikenal oleh dunia internasional, bahkan di Venezuela sendiri.
Pamornya kalah dari mentor sekaligus oposisi utama di Venezuela, Leopoldo Lopez, yang sedang menjalani tahanan rumah. Walaupun Guaido juga merupakan pendiri, Lopez-lah yang lebih dikenal sebagai pendiri Partai Voluntad Popular pada 2009.
Guaido lahir dari keluarga kelas menengah. Ayahnya bekerja sebagai pilot pesawat komersial, sedangkan ibunya seorang guru. Ia merupakan anak pertama dari tujuh bersaudara yang lahir di kota pelabuhan La Guaira di Negara Bagian Vargas.
Latar belakangnya yang berasal dari Vargas membuat Guaido selama ini tidak diperhitungkan sebagai golongan elite di Venezuela karena Vargas merupakan salah satu daerah paling miskin di Venezuela.
Guaido pernah belajar teknik industri sebelum menyelesaikan gelar sarjana di Universitas George Washington, AS, dan kemudian sekolah bisnis di Instituto de Estudios Superiores de Administración, Venezuela.
Keterlibatan Guaido dalam politik mulai tampak ketika ia terlibat protes terhadap ideologi sosialisme ala Chavez pada 2007. Sebagai mahasiswa, ia memprotes usaha Chavez untuk mengontrol media. Saat itu, Guaido memilih tidak memperbarui lisensinya sebagai penyiar independen di Radio Caracas Television.
Guaido merupakan politisi muda yang berani meniti karier sebagai oposan, yang bahkan berani menentang Chavez di saat Chavez masih berkuasa.
Guaido baru berumur 15 tahun saat Chavez terpilih sebagai Presiden Venezuela. Oleh karena itu, berhadapan dengan Maduro, di saat Chavez sudah tak ada, Guaido tetap konsisten melawan sosialisme ala Chavez.
Bersama Leopoldo Lopez, ia mendukung kebijakan Partai Voluntad Popular tentang pasar bebas dan pembagian kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintah daerah.
Guaido dipilih sebagai anggota Dewan Nasional pada 2011 dan 2016 mewakili daerahnya, Vargas. Pada Desember 2018, ia diangkat sebagai Ketua Dewan Nasional.
Saat ini, dukungan internasional yang melimpah belum menjadi jaminan bagi Guaido di Venezuela. Maduro masih belum mau tunduk. Maduro masih menguasai media dan Mahkamah Agung serta masih didukung oleh militer dan colectivos.
Militer adalah Kunci
Militer di Venezuela menjadi pendukung Maduro karena Maduro melanjutkan kebijakan Chavez. Ia menempatkan para pejabat militer sayap kiri sebagai pemimpin militer, bahkan memberi jabatan di berbagai posisi strategis di Venezuela. Sebelum era Chavez, militer di Venezuela tak masuk ranah politik praktis di Venezuela.
Dengan kebijakan tersebut, militer diuntungkan oleh kebijakan pemerintah, bahkan masuk ke sektor perbankan dan layanan finansial. Selain itu, pejabat-pejabat militer yang dimasukkan ke posisi-posisi strategis merupakan simpatisan ideologi Chavez. Salah satu contoh adalah penempatan petinggi militer Mayor Jenderal Manuel Quevedo sebagai presiden perusahaan minyak dan gas negara PdVSA.
Oleh karena itu, tidak heran bahwa militer, terutama para pejabat tinggi yang menikmati keuntungan dari pemerintahan Maduro, menyatakan tetap mendukung Maduro.
Menyadari dukungan nyata petinggi militer terhadap Maduro, pihak oposisi mencoba mendekati militer level menengah dan yunior sambil menjanjikan amnesti apabila bersedia mendukungnya.
Guaido mencoba menyadarkan militer dengan mengutip pernyataan politisi Venezuela, Julio Borges, di tahun 2017, ”Kami tidak menginginkan angkatan bersenjata yang memihak oposisi, kami menginginkan angkatan bersenjata yang berpihak pada konstitusi”.
Usaha kaum oposisi tampaknya masih akan sulit tercapai mengingat militer di Venezuela masih menikmati keuntungan dari posisi yang mereka dapatkan dari Maduro.
Akan tetapi, di dalam negeri, keterlibatan militer dalam krisis ekonomi dan politik Venezuela adalah pilihan paling masuk akal. Berpaling kepada pihak gereja Katolik, yang merupakan agama 96 persen penduduk Venezuela, tampaknya bukan pilihan terukur. Gereja Katolik di Venezuela tak memiliki akar sekuat Filipina, misalnya, yang mampu mendorong gerakan people power. Kebanyakan pastor di Venezuela adalah para pendatang, bukan penduduk asli Venezuela.
Oleh karena itu, menjadi masuk akal apabila militer masih diharapkan menjadi pemain kunci dalam penyelesaian krisis di Venezuela dengan cepat dan tanpa menimbulkan banyak korban. Harapan tersebut muncul karena pihak militer terkesan membiarkan gelombang protes yang terus berlanjut di Venezuela.
Keluar dari kutukan
Layaknya keluarga, persoalan dalam negeri Venezuela harus diselesaikan oleh Venezuela sendiri. Venezuela perlu menata diri agar terbebas dari kutukan negara minyak dari sisi ekonomi ataupun politik.
Menurut Jeffrey Sachs, ekonom Universitas Columbia, kutukan petro-state dapat dikurangi apabila pemerintah menggunakan hasil pendapatan dari sumber daya alam yang melimpah dengan lebih bertanggung jawab. Artinya, pendapatan tersebut digunakan untuk membiayai pengeluaran publik yang berfungsi mendukung investasi swasta dan pertumbuhan jangka panjang.
Secara konkret, Venezuela perlu mengubah kebijakan ekonominya, entah oleh Maduro, Guaido, ataupun pemimpin terpilih lain agar semata tidak mengandalkan pada minyak.
Dengan perhatian besar dunia internasional bagi Venezuela, berbagai skenario dapat terjadi bagi penyelesaian krisis Venezuela. Skenario terburuk adalah munculnya perang sipil karena intervensi asing di Venezuela.
Walaupun jajak pendapat yang dibuat Datanalisis menyatakan bahwa 80 persen rakyat Venezuela menginginkan Maduro turun, mereka juga tidak menyukai campur tangan asing, terutama AS.
AS tidak disukai karena terbukti sanksi ekonomi yang diberikan kepada Venezuela lebih dirasakan oleh rakyat Venezuela ketimbang Maduro yang disasar. Maduro terus menyerukan kemandirian Venezuela terhadap intervensi asing. Satu-satunya keterlibatan asing yang diharapkan Maduro adalah Paus Fransiskus sebagai fasilitator dialog dengan kaum oposisi.
Di sisi lain, kaum oposisi tak lagi percaya dengan ajakan dialog Maduro karena dialog yang selama ini terjadi tak menghasilkan banyak perubahan. Pihak oposisi sekarang semata menginginkan Maduro mundur dari kursi kepresidenan.
Di tengah macetnya dialog Maduro dan pihak oposisi, yang harus digarisbawahi adalah bahwa protes yang dilancarkan oleh rakyat Venezuela sepanjang 2018 pertama-tama lebih bertemakan persoalan mendasar, akses pada sarana-sarana dasar, seperti makanan dan kesehatan.
Tak banyak rakyat Venezuela yang mempersoalkan ideologi sosialis Chavismo Chavez yang diteruskan oleh Maduro. Protes mereka terhadap Maduro lebih disebabkan Maduro tidak berhasil mewujudkan janji kesejahteraan kepada rakyat Venezuela.
Oleh karena itu, perhatian internasional kepada Venezuela tak cukup hanya dalam bentuk dukung-mendukung terhadap salah satu pihak. Akan tetapi, tindakan seperti AS dengan memberikan sanksi pun terbukti malah menyengsarakan rakyat, apalagi bersiap mengadakan intervensi militer ke Venezuela.
Rakyat Venezuela akan terus turun ke jalan walaupun terus bertambah dukungan dari sejumlah negara, baik kepada Guaido maupun Maduro. Protes akan kembali berulang karena mereka tidak mampu membeli makanan.
Perubahan lanskap politik dan kebijakan ekonomi memang penting demi masa depan Venezuela yang lebih baik. Akan tetapi, ada yang lebih mendesak yang harus dilakukan oleh dunia internasional saat ini, yakni memberikan bantuan makanan dan kesehatan kepada rakyat Venezuela. (MAHATMA CHRYSHNA/LITBANG KOMPAS)