Rekam Jejak Caleg Tanpa Korupsi
Pemilu 2019 diharapkan jadi ajang perebutan kekuasaan yang bersih dari korupsi. Ini bisa diwujudkan dengan kehadiran caleg yang terbebas dari kasus korupsi. Transparansi rekam jejak caleg menjadi kunci menjawab kebutuhan publik itu.
Dengan mengetahui latar belakang calon anggota legislatif, pemilih bisa menimbang apakah calon tersebut layak dipilih atau tidak. Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu menyebutkan, mayoritas responden (87,1 persen) menganggap pemilih perlu mengetahui rekam jejak caleg agar pemilih membuat pilihan dengan bekal pengetahuan tentang latar belakang calon.
Apalagi dengan sistem pemilu proporsional terbuka, caleg tetap berperan besar. Caleg dengan suara terbanyak di dalam partainya berhak menempati kursi yang berhasil diraih parpol tersebut. Jadi, mau tidak mau pemilih semestinya mengetahui rekam jejak calon anggota legislatif di daerah pemilihannya. Sayangnya, bagi publik, tak mudah untuk mengakses data caleg, terutama untuk menggali rekam jejak mereka.
Kesulitan akses ini tak lepas dari faktor tak semua caleg pada Pemilu 2019 bersedia membuka rekam jejaknya melalui daftar riwayat hidup yang dipublikasikan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Setidaknya hasil penelusuran Litbang Kompas menunjukkan, sebanyak 26 persen dari caleg DPR RI tidak bersedia daftar riwayat hidupnya dipublikasikan. Pasal 8 Ayat (1) Huruf i Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 memberi pilihan kepada caleg soal bersedia atau tidak bersedia daftar riwayat hidupnya dipublikasikan.
Ketidaksediaan untuk jati dirinya dipublikasikan ini tentu menghambat pemilih untuk mengenal caleg lebih dalam. Tidak heran jika kemudian masyarakat sipil menyatakan perlu ada transparansi data diri caleg. KPU diminta tidak ragu membuka daftar riwayat hidup caleg (Kompas, 8/2/2019).
Apalagi jajak pendapat Kompas mencatat, pentingnya publik mengetahui rekam jejak caleg tak lepas dari keingintahuan mereka apakah calon tersebut bersih dari kasus korupsi. Hampir 30 persen responden menyebut rekam jejak keterlibatan dalam kasus korupsi menjadi alasan terbesar mengapa mereka ingin tahu lebih jauh soal riwayat hidup calon anggota legislatif. Selain kasus korupsi, kompetensi sang calon juga menjadi pertimbangan, khususnya terkait pengalaman mereka di dunia legislatif.
Transparansi
Tidak heran jika kemudian upaya KPU mengumumkan calon anggota legislatif yang pernah dipidana dalam kasus korupsi diapresiasi publik. Apresiasi ini diikuti keinginan agar publikasi tersebut ditindaklanjuti dengan mengumumkan nama-nama calon anggota legislatif yang dimaksud di tempat pemungutan suara (TPS) di daerah pemilihan caleg terkait. Keinginan ini diamini 70,9 persen responden yang setuju gagasan ini.
Salah satu alasan terbesar mengapa perlu nama-nama caleg eks terpidana korupsi tersebut dipasang di TPS adalah agar mereka tidak dipilih. Sebanyak 82,8 persen responden menyatakan alasan ini saat menyatakan setuju dengan pengumuman nama caleg eks napi korupsi di TPS.
Alasan lainnya adalah agar hanya caleg bersih dari korupsi yang layak dipilih. Selain itu, juga ada alasan agar caleg yang dimaksud mendapatkan sanksi sosial.
Namun, dari kelompok responden yang kurang setuju dengan gagasan mengumumkan nama-nama caleg eks napi korupsi di TPS, rata-rata mereka mempertimbangkan soal kepantasan. Sebanyak 22 persen dari kelompok responden ini menyebut soal perlunya memberikan perlakuan yang sama kepada semua caleg. Di mata kelompok responden yang tidak setuju, penyelenggara pemilu tidak boleh membeda-bedakan. Apalagi sebagian responden lain di kelompok ini menyebut bahwa caleg yang dimaksud sudah menjalani hukuman atas kasus korupsi yang pernah menjerat mereka. Mereka juga sudah memenuhi persyaratan pencalonan anggota legislatif.
Baik kelompok responden yang setuju maupun yang tidak setuju memiliki argumentasi kuat. Namun, jika dilihat dari sisi antusiasme, kelompok responden yang setuju nama-nama caleg eks terpidana korupsi diumumkan di TPS mendapatkan respons lebih besar dibandingkan dengan yang tidak setuju. Apalagi, Pasal 240 Ayat (1) Huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan, mantan terpidana boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif jika secara jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Artinya, pengumuman nama-nama caleg eks napi korupsi atau kasus lainnya secara hukum ada landasannya.
Pemilih kritis
Tentu saja keinginan sebagian besar responden yang berharap nama-nama caleg eks narapidana korupsi diumumkan di TPS tetap membutuhkan pemilih kritis. Jika saja KPU tidak menindaklanjuti harapan publik tersebut, pemilih perlu aktif mencari tahu nama caleg yang diumumkan. Sayangnya, pemilih saat ini cenderung pasif.
Meskipun menganggap rekam jejak menjadi sesuatu yang penting diketahui, tidak banyak pemilih yang kemudian aktif mencari informasi nama-nama caleg eks napi korupsi yang diumumkan KPU. Ada kecenderungan pemilih menunggu sajian informasi dari media massa dibandingkan dengan aktif mencari tahu di laman daring KPU.
Setidaknya hal ini terdeteksi dari pengumuman caleg eks napi korupsi oleh KPU akhir Januari lalu. Hanya 8,9 persen responden yang mengaku mencari tahu detail nama- nama caleg bekas napi korupsi di laman daring KPU.
Kendati begitu, publik meyakini kualitas pemilu tahun ini akan lebih baik dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Hampir 70 persen responden meyakini bahwa caleg akan jauh lebih baik. Setidaknya sebagian besar caleg yang dicalonkan partai memiliki pengalaman di legislatif, baik di DPRD maupun DPR RI. Apalagi kehadiran partai-partai baru yang menyuguhkan sosok-sosok baru dan muda usia bisa memberikan harapan baru akan lahirnya sosok legislatif yang lebih baik seperti harapan publik. (LITBANG KOMPAS)