JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah Indonesia mulai menyiapkan kontribusi nasional kedua atas penurunan emisi gas rumah kaca. Perhitungan sementara capaian penurunan emisi di Indonesia dari target 29 persen pada 2030 mendatang saat ini mencapai 24,4 persen per tahun 2017. Kontribusi utama diberikan dari penurunan kasus dan luas kebakaran hutan dan gambut.
Emisi gas rumah kaca tersebut menjadi penyebab perubahan iklim. Indikasinya terjadi cuaca ekstrem serta peningkatan suhu global yang tercatat telah mencapai 1 derajat celcius apabila dibandingkan masa pra industri.
Panel ahli perubahan iklim antarpemerintah sejak bersidang Oktober 2018 di Korea Selatan, merekomendasikan agar dunia global menjaga kenaikan suhu bumi tak melebihi 1,5 derajat celcius. Ini untuk menghindari efek tak terpulihkan maupun kejadian bencana kekeringan, hidrometeorologi, kenaikan muka air laut, kehilangan biodiversitas, dan penyakit yang lebih parah dibandingkan angka 2 derajat celcius.
Meski tak mudah dan perhitungan para ahli menunjukkan apabila seluruh kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) yang dijanjikan para negara peratifikasi Kesepakatan Paris dipenuhi, suhu dunia masih menuju ke kenaikan 3,5- 4 derajat celcius. Meski demikian, Indonesia masih menjajaki bila bisa berkontribusi pada upaya menjaga kenaikan suhu bumi tak melebihi 1,5 derajat celcius.
“Saya minta untuk diteliti dari 2 derajat ke 1,5 derajat,” kata Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (12/2/2019), di Jakarta, seusai diskusi di Kantor Staf Presiden, Jakarta.
Pada NDC pertama, Indonesia menjanjikan penurunan emisi pada tahun 2030 sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan sampai 41 persen melalui kerja sama internasional. Pengurangan emisi itu dilakukan melalui lima sektor utama, yaitu sektor hutan dan lahan (17,2 persen), energi (11 persen), limbah (0,38 persen), proses industri/IPPU (0,10 persen), serta pertanian (0,32 persen).
Penurunan paling signifikan akan dicapai dari sektor kehutanan, lebih setengah dari target, yakni 17,2-23 persen. NDC sektor kehutanan dicapai melalui penurunan deforestasi 32.000-450.000 hektar per tahun pada 2030 serta kenaikan prinsip pengelolaan hutan lestari pada hutan produksi alam (mengurangi degradasi hutan) dan hutan tanaman industri.
Upaya lain adalah rehabilitasi lahan terdegradasi seluas 12 juta hektar atau 800.000 hektar per tahun pada 2030 dengan tingkat keberhasilan hidup 90 persen dan restorasi lahan gambut seluas 2 juta hektar tahun 2030 dengan tingkat keberhasilan 90 persen.
Lebih ambisius
Pada 2021, dunia akan menagih pelaksanaan NDC tiap-tiap negara, termasuk dari Indonesia serta mengharapkan komitmen baru yang lebih ambisius. Siti Nurbaya mengatakan NDC kedua ini sedang disiapkan dengan menghitung sumber-sumber emisi GRK serta beban tiap-tiap sektor.
Terkait sektor energi yang belum kelihatan kontribusi pada penurunan emisi – paling tidak dari pengembangan energi terbarukan yang stagnan di angka sekitar 12 persen – Siti Nurbaya mengatakan, “Banyak juga yang sudah dilakukan (sektor energi), ini lagi kita diskusikan (dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral).” Dia mengatakan kementerian lain turut berkontribusi seperti Kementerian Perhubungan dan Kementerian Perindustrian.
Ditemui terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mengatakan, proses peninjauan ulang NDC pertama sedang dilakukan. KLHK sebagai focal point Indonesia pada Konferensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC), kata dia, terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait rencana dan aksi penurunan emisi, termasuk dengan Kementerian ESDM.
“Kami sudah berikan blue print, harus begini-begini. Mereka (Kementerian EDM) di internal harus menyesuaikan. Visi yang pasti energi terbarukan meninggalkan energi fosil,” kata dia.