Indonesia kian menarik hati milenial mancanegara. Butuh strategi tepat menjamu raja “kecil” itu berlama-lama menjelajahi nusantara.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Indonesia kian menarik hati kaum milenial mancanegara. Butuh strategi tepat untuk menjamu raja ”kecil” itu berlama-lama menjelajahi Nusantara.
Baru dibuka Kamis (14/2/2019), cinta sudah hadir di Pasar Digital Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Bidikan kamera telepon genggam mulai merekam sejumlah kios menjajakan beragam jenis makanan tradisional setempat. Bukan hanya ragam makanan seperti lotek, nasi pecel, dan geblek, makanan khas warga Jateng, tulisan di papan depan kios juga menggoda diabadikan. Menggelitik dan unik.
Senyum mengembang terlihat dari pengunjung yang kebanyakan anak muda. Urusan beli belakangan, yang penting selfie dulu.
Berjarak 120 kilometer dari Semarang, Pasar Digital Menoreh diresmikan Menteri Pariwisata Arief Yahya pada 14 Februari 2019. Warga Desa Sedayu, Kecamatan Loano, menjadi penggerak utamanya. Mereka didampingi Generasi Pesona Indonesia, komunitas anak muda penyuka pariwisata, kuliner, dan fotografi yang dibentuk Kementerian Pariwisata.
Ada 20 kios yang memamerkan keunikannya masing-masing. Bagi Arief, cara ini menjadi salah satu alternatif menarik wisatawan milenial dalam dan luar negeri menikmati kekhasan Indonesia.
”Siapa pun yang ingin mengembangkan wisata di daerahnya masing-masing harus membayangkan apa dan layanan bagaimana yang disuguhkan agar nantinya bisa ikut menarik minat kalangan milenial,” ujar Arief.
Ia mengatakan, tahun ini jumlah wisatawan asing ditargetkan mencapai 20 juta orang. Sebanyak 50 persen di antaranya diperkirakan dari kalangan milenial. Oleh karena itu, butuh kerja keras semua pihak untuk memikat 10 juta wisatawan itu agar menikmati Nusantara. Pemetaan tentang siapa dan minat apa yang diinginkan kaum milenial lantas menjadi sangat penting.
Menurut Arief, sebagian besar kalangan milenial bukan wisatawan bermodal besar. Hal itu membuat mereka lebih menyukai destinasi wisata berbiaya murah. Selain itu, generasi milenial juga suka berwisata ke banyak tempat.
Kedua hal itu, kata Arief, menuntut kesiapan akses layanan transportasi yang mudah dan relatif terjangkau. Jika semua tersedia, wisatawan milenal akan bisa menjelajah lebih leluasa mengunjungi berbagai tempat dalam waktu yang relatif lama.
Terkait hal itu, menurut Arief, setiap pemerintah daerah diminta untuk proaktif membangun akses jalan yang menghubungkan setiap destinasi wisata dengan Tol Trans-Jawa.
”Pembangunan akses jalan bisa menggunakan dana APBD kota/kabupaten, APBD provinsi, dan kalau perlu bisa mengajukan permintaan bantuan dana dari APBN. Segala cara harus kita tempuh agar Jalan Tol Trans-Jawa ini bisa benar-benar bermanfaat bagi pengembangan destinasi wisata di setiap daerah di Jawa,” ujarnya.
Pengembangan wisata
Inovasi tak boleh dilupakan. Masyarakat diminta mengembangkan segala apa yang ada di sekitarnya agar dapat dijual sebagai destinasi wisata. Kalangan milenial sangat suka dengan ide wisata yang penuh inovasi.
Arief mencontohkan, jika hanya melihat dari sisi produksi, sawah di Ubud, Bali, hanya bisa mendatangkan hasil berupa 5 ton gabah. Pendapatan potensial yang bisa didapatkan hanya Rp 25 juta saat panen. Padahal, pemandangan sawah yang indah bisa dijual dan laku sebagai obyek wisata.
”Bagi salah satu hotel di Ubud, pemandangan sawah bisa menjadi pemikat saat menawarkan harga sewa kamar 1.000 dollar AS per malam,” ujarnya.
Contoh lain datang dari Sumatera Barat. Menurut Arief, Sumbar punya pantai indah yang dulu hanya dimanfaatkan untuk mencari ikan dengan pendapatan nelayan Rp 50.000 per hari. Hasilnya menjadi berbeda, lanjutnya, saat aktivitas melaut ditawarkan kepada wisatawan. Nelayan bisa mendapatkan penghasilan hingga Rp 225.000 per hari.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Jateng Sinung Nugroho Rahmadi mengatakan, pihaknya terus berupaya menggenjot semangat masyarakat mendatangkan wisatawan. Salah satu caranya, mendorong pertumbuhan desa-desa wisata. Jika saat ini baru terdata 230 desa wisata, diharapkan 3-4 tahun mendatang sudah ada 400 desa wisata di Jateng.
Inovasi kaum milenial terbaru di Purworejo juga hadir lewat Glamour Camping (Glamping) DeLoano. Letaknya masih di Kecamatan Loano. Lahan seluas 309 hektar itu milik Perhutani. Badan Otorita Borobudur (BOB) adalah pengelolanya. Glamping DeLoano direncanakan menyediakan 10 tenda inap berwarna-warni. Harga tiket masuk, sesuai arahan Menteri Pariwisata, akan ditetapkan Rp 100.000 per orang. Menghabiskan dana APBN sebesar Rp 2,5 miliar, perbaikan akses jalan bakal dibenahi dengan menanam jenis tanaman tertentu yang bisa mencegah risiko longsor.
Direktur Utama BOB Indah Juanita mengatakan, pihaknya akan terus mengembangkan pemanfaatan 309 hektar kawasan hutan milik Perhutani itu, yang kini dikelola BOB. Tidak sekadar membangun kawasan glamping, dia juga akan membangun kawasan untuk atraksi tambahan sehingga nantinya semakin menarik wisatawan, terutama dari kalangan milenial dari dalam dan luar negeri, untuk datang berkunjung. Menyesuaikan dengan minat anak muda, memperbanyak spot berswafoto, jadi prioritas utama.