Siswa Berbagi Gagasan Solusi Permasalahan ke Lingkungan Sekitarnya
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Memberi siswa kebebasan mengembangkan topik proyek sekolah berdasarkan penyerapan terhadap masalah sehari-hari menjadi landasan bagi sekolah memastikan berlangsungnya pendidikan karakter. Selain mencari solusi permasalahan, siswa juga diminta membagi hasilnya dengan sesama teman sekolah ataupun orang sekitar.
”Saya membagi penemuan penelitian tugas akhir sekolah dengan ibu-ibu dari perumahan di sekitar sekolah,” kata Raga Asandidharma (12), siswa kelas V Sekolah Cikal, ketika memberi pemaparan mengenai tugas akhirnya pada pameran tugas akhir siswa kelas V sekolah tersebut di Jakarta, Kamis (14/2/2109).
Berangkat dari pengalamannya diantar-jemput sekolah oleh ayah dengan menggunakan sepeda motor, Raga menyadari, dirinya terpapar polusi udara yang membahayakan kesehatan. Ia memilih permasalahan itu sebagai topik tugas akhir dan melakukan penelitian mengenai dampak polusi bagi kesehatan manusia.
Dalam pencarian informasi, ia menemukan berbagai jenis tanaman yang berdasarkan referensi yang dibacanya mampu menyerap polusi udara. Salah satunya adalah tanaman ular atau lidah mertua (Sansevieria trifasciata). Raga kemudian melumat tanaman tersebut dan merendam masker sekali pakai di dalam cairannya.
Setelah itu, ia melakukan percobaan dengan membakar obat nyamuk di sebelah beberapa masker, ada yang sudah direndam cairan sansevieria dan ada yang tidak. Ternyata masker yang mengandung sari sansevieria memiliki kadar pH 6,3 dan masker biasa berkadar pH 5,2.
”Semakin kecil pH, artinya kadar udara yang dihirup makin asam. Enggak baik buat kesehatan,” kata Raga.
Ilmu itu ia bagi dengan ibu-ibu di sekitar sekolah melalui kegiatan Kelas Sosial Cikal. Alasan Raga berbagi ilmu dengan mereka adalah karena ia mengamati mereka sering naik sepeda motor ataupun berjalan kaki sehingga rawan terpapar polusi udara. Selain itu, para ibu juga pandai menjahit dan bisa membuat masker sendiri sehingga bisa menghemat biaya dibandingkan membeli masker sekali pakai.
Alasan Raga berbagi ilmu dengan mereka adalah karena ia mengamati mereka sering naik sepeda motor ataupun berjalan kaki sehingga rawan terpapar polusi udara.
Sementara itu, Priscilla Rochelle Sembiring (10) lebih tertarik mendalami warna dan getar. Ia membuat alat bermain yang terdiri dari kaleng susu bekas, pulpen laser yang biasa digunakan sebagai penunjuk, dan cermin. Benda-benda itu disusun sedemikian rupa di atas sebilah papan agar ketika pulpen laser dinyalakan, sinarnya menyentuh cermin yang ditempel di kaleng dan memantul ke dinding. Ketika kaleng ditepuk-tepuk dan bergetar, pantulan laser akan menghasilkan berbagai bentuk guratan.
Peka
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum Sekolah Cikal Marsania Primadona menuturkan, setiap siswa diberi waktu tiga bulan untuk menentukan topik pilihan. Guru bertindak sebagai pengawas. Metode ini merupakan landasan dari sistem pendidikan International Baccalaureate (IB) yang digunakan sekolah tersebut. Metode ini sangat bisa disadur untuk dilaksanakan di sekolah-sekolah umum.
”Perbedaannya, pada sistem pendidikan yang terdahulu, guru memberi tugas kepada siswa disertai tata langkah yang harus diikuti siswa. Sebaliknya, pada sistem IB, siswa diberi kebebasan mencari topik. Kebanyakan siswa mengambil permasalahan yang ada di sekeliling mereka,” ujarnya.
Pada sistem pendidikan yang terdahulu, guru memberi tugas kepada siswa disertai tata langkah yang harus diikuti siswa. Pada sistem IB, siswa diberi kebebasan mencari topik.
Cara ini mengasah kepekaan siswa mengamati lingkungan sekitar, juga kepekaan guru mengenali aspirasi siswa. Tidak ada ide yang dianggap konyol ataupun lebih hebat daripada siswa lain. Hal ini karena setiap siswa memiliki permasalahan dan cara penelitian yang berbeda-beda. Ada yang melibatkan teknologi, ada pula yang terlihat sederhana tanpa memerlukan peralatan yang rumit. Semua sama-sama dihargai.
”Guru harus mengembangkan kemampuan bertanya kepada siswa. Kenapa memilih topik tersebut? Apa tujuan penelitian dan cara mewujudkannya? Selama proses pembuatan, siswa juga diajak terus berefleksi untuk memastikan prosedur yang diambil sesuai dengan tujuan penelitian,” ucapnya. Seusai penelitian, mereka juga diajak memikirkan strategi membagi ilmu tersebut, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah.
Terkait narasumber yang membantu siswa melakukan penelitian dan mengeksekusi ide, guru mengarahkan kepada para praktisi terdekat, seperti anggota keluarga, guru-guru, bahkan anggota staf sekolah. Siswa yang melakukan penelitian tentang tanaman, misalnya, bisa belajar dari tukang kebun sekolah. Siswa yang proyeknya berkaitan dengan listrik bisa belajar dari tukang listrik. Barang-barang yang dipakai juga diarahkan dari yang sudah ada di rumah ataupun barang bekas.
Evaluasi holistik
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno mengatakan, evaluasi siswa harus bersifat holistik. Tidak hanya sisi akademis, tetapi yang juga penting adalah kepandaian mengembangkan ide, mengelola emosi, dan bersosialisasi.
”Evaluasi ini harus dilakukan setiap hari dan melalui tugas-tugas sekolah yang bisa berupa proyek ataupun esai,” katanya.
Ia mengingatkan guru dan orangtua bahwa evaluasi memiliki banyak jenis, tidak hanya seperti ujian nasional yang berupa soal pilihan ganda. Oleh sebab itu, selain menggunakan lembar kerja siswa yang diterbitkan penerbit buku, hendaknya guru juga mengembangkan berbagai soal sendiri. Cara ini sekaligus menajamkan kemampuan guru mengembangkan ilmu.