JAKARTA, KOMPAS--Pengambilalihan dana pajak rokok untuk pendanaan program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN dipandang telah merugikan pemerintah daerah. Dana tersebut seharusnya digunakan oleh pemerintah daerah untuk tindakan promotif, preventif, dan kuratif kesehatan di daerahnya.
Manajer Program Pengendalian Tembakau Yayasan Pusaka Indonesia OK Syahputra Hariada pun mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung (MA) pada April 2018. Namun, ia tidak mendapatkan kejelasan putusan dan upaya uji materi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 53 Tahun 2017 pada 23 Desember 2018 ditolak oleh MA.
"Selama ini kendala anggaran yang dialami pemerintah daerah ditutupi dengan pajak rokok," kata Syahputra dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (20/2/2019).
Dalam Permenkes Nomor 53/2017, pemerintah daerah diwajibkan untuk mendedikasikan 75 persen dari 50 persen pajak rokok yang diterima pemda untuk membayar jaminan kesehatan masyarakat di daerah masing-masing. Mekanismenya, Kementerian Keuangan langsung memotongnya dari bagian dana transfer (Kompas, 23/3/2018).
Ia menambahkan, dana dari pajak rokok seharusnya digunakan untuk kegiatan promotif dan preventif dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan di daerah.
Meningkatkan PAD
Selain itu, dana dari pajak rokok dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). "Dari pernyataan tersebut, sebenarnya pemda keberatan penggunaan pajak rokok untuk JKN," ujar Syahputra.
Kuasa Hukum OK Syahputra dari Solidaritas Advokat Pengendalian Tembakau di Indonesia (Sapta Indonesia), Ari Subagyo Wibowo, mengatakan, Permenkes 53/2017 secara tidak langsung mengabaikan amanat dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).
Pasal 31 UU PDRD menyebutkan, Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
Ari mengatakan, jika pajak rokok diambil pemerintah pusat, maka permenkes tersebut telah mengingkari ketentuan pajak rokok dipergunakan untuk kepentingan daerah. Pemda akan dirugikan karena dana dari pajak rokok akan dibagikan untuk dinas lain.
Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan melihat, ketentuan Permenkes 53/2017 dikeluarkan untuk menutupi defisit yang ada pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. "Sejak awal badan ini dibentuk, selalu defisit bahkan terus meningkat," ujar Azas.
Akibat defisit yang terjadi pada BPJS Kesehatan, pemerintah pusat membutuhkan dana yang banyak untuk menutupinya. Salah satunya, dana dari pajak rokok yang seharusnya jatah pemerintah daerah digunakan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan.
Menurut Azas, kebijakan ini membuat kepentingan kesehatan masyarakat menjadi terabaikan. "Dana tersebut seharusnya digunakan oleh pemda untuk meningkat kesehatan masyarakat di daerahnya masing-masing," ujarnya.
Memungut denda
Guru Besar Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan, untuk menutupi defisit yang ada pada BPJS Kesehatan, seharusnya pemerintah menaikkan cukai rokok dan bukan mengambil pajak rokok. "Pajak rokok merupakan hak daerah dan bukan pemerintah pusat," kata Hasbullah.
Ia menghitung, diperkirakan jumlah produksi rokok sekitar 28 miliar bungkus per tahun. Jika pemerintah berani memungut denda Rp 2.000 per bungkus, maka dana yang terkumpul akan mencapai Rp 56 triliun. Dana tersebut dapat digunakan untuk menutupi defisit BPJS yang mencapai Rp 16 triliun.
Hasbullah mengatakan, pajak rokok dapat digunakan oleh pemda dalam upaya promotif dan preventif untuk mengurangi konsumsi rokok. Ia menegaskan, konsumsi rokok harus diatur karena merusak tubuh manusia dan menyebabkan stunting atau tengkes pada generasi selanjutnya.
Ia menambahkan, rokok terbukti menyebabkan lebih dari 100 penyakit. Di antaranya, penyakit seperti jantung, stroke, dan kanker telah membebani BPJS Kesehatan. Penyakit tersebut menjadi salah satu penyebab defisit BPJS yang terus meningkat.