Dari total 80 daerah pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat pada Pemilu 2019, sebanyak 16 daerah pemilihan cenderung menjadi arena pertarungan politik paling sengit. Kekuatan politik mana yang berpotensi menguasai dapil tersebut?
Kajian terhadap seluruh daerah pemilihan (dapil) DPR yang digunakan sebagai basis wilayah penentuan alokasi kursi pada Pemilu 2019 mengungkapkan karakteristik geopolitik wilayah dengan pola kompetisi yang beragam.
Di satu sisi ada sekelompok dapil dengan pola persaingan partai sangat kompetitif. Di wilayah itu, konsentrasi penguasaan suara pemilih tiap partai relatif rendah. Tak ada satu pun kekuatan partai atau aktor politik yang mampu mendominasi ruang kontestasi politik.
Di sisi lain, ada pula kelompok dapil yang kurang kompetitif, yakni suara pemilih cenderung terkonsentrasi pada satu kekuatan politik dominan. Wilayah ini terbangun menjadi suatu benteng partai politik yang sulit tergoyahkan.
Jika seluruh dapil DPR ditempatkan dalam kedua kategori pola persaingan semacam ini, tidak kurang sembilan dapil telah menjadi benteng kekuatan parpol. Selain di Dapil Jawa Tengah 5, DKI Jakarta 3, dan Jawa Timur 6, pada umumnya dapil yang masuk kategori semacam ini tersebar di luar Pulau Jawa.
Dapil lain yang juga masuk kategori ini ialah Gorontalo, Bali, Kalimantan Barat (sebelum dipilah menjadi Kalimantan Barat 1 dan Kalimantan Barat 2), Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan 1, dan Kalimantan Tengah.
Di dapil itu, partai menguasai lebih dari 30 persen suara sah—proporsi penguasaan suara yang sangat tinggi. PDI-P dan Golkar menjadi dua partai yang bisa dikatakan berhasil membangun benteng kekuatan. Di Dapil Gorontalo, misalnya, pada Pemilu Legislatif 2014 Golkar menguasai hampir separuh dari suara sah (48,8 persen). Di Bali, PDI-P menguasai 43, 1 persen suara sah. Begitu pula di Dapil Jawa Tengah 5, yang meliputi Kabupaten Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Kota Solo, yang 42,9 persen suara sahnya dikuasai PDI-P.
Dengan besaran kekuatan pendukung sebesar itu, sulit bagi kekuatan politik mana pun untuk membalikkan kondisi. Terlebih, jika merujuk data historis pemilu-pemilu sebelumnya, sebagian besar dapil tersebut tetap tergolong kurang kompetitif. Hampir tiap pemilu tidak menghasilkan partai pemenang baru.
Dikaji dari derajat partisipasi politiknya, dapil itu juga memiliki tingkat partisipasi politik di atas rata-rata nasional. Di Dapil Gorontalo, misalnya, partisipasi pemilih mencapai 82,9 persen pada Pemilu 2014. Contoh lain, partisipasi pemilih di Provinsi Sulawesi Utara mencapai 80,8 persen.
Loyalitas dan antusiasme pemilih yang tinggi menjadi fondasi politik yang paling sulit digoyang. Itulah mengapa, jika pada Pemilu 2019 terjadi perubahan penguasaan partai politik di dapil ini, hal itu menjadi suatu kejutan besar.
Dapil kompetitif
Peta persaingan di antara partai yang paling memungkinkan ada perubahan penguasaan akan berlangsung di dapil paling kompetitif. Kompetitif dimaknai sebagai proporsi suara pemilih yang dikuasai partai pemenang tidak tinggi, tak lebih dari 18 persen dari suara sah. Proporsi kemenangan itu tidak terpaut jauh dari proporsi penguasaan suara pemilih oleh partai-partai pesaingnya.
Ada 16 dapil yang masuk kategori paling kompetitif. Dari 16 dapil paling kompetitif, tidak semua memiliki pola persaingan yang sama ketat. Selain itu, tidak semua dapil memiliki tipologi jumlah pemilih dan partisipasi pemilih yang seragam.
Setidaknya ada lima dapil paling menarik untuk dicermati. Kelimanya adalah Dapil Sumatera Utara II, Jambi, Lampung 2, Jawa Timur 11, dan Nusa Tenggara Barat (di Pemilu 2019 jadi dua dapil). Di lima dapil itu, selain pola persaingan yang terbentuk sangat ketat, besaran pemilih dan tingkat partisipasi juga tinggi. Artinya, wilayah ini menjadi battle ground paling sengit.
Misalnya, di Dapil Sumatera Utara 2, Gerindra sebagai pemenang bersaing ketat dengan PDI-P, Golkar, dan Demokrat. Selain itu, Partai Hanura, PAN, Nasdem, dan PKS juga mendapat suara cukup signifikan. Perbedaan suara di antara partai pun tidak banyak berjarak.
Pada Pemilu 2019, diperkirakan Dapil Sumatera Utara 2 tetap menjadi arena persaingan paling sengit. Dapil yang terhimpun dari kabupaten dan kota dengan identitas sosial beragam—yang berelasi dengan pilihan politik—akan kembali diperebutkan oleh Gerindra, Golkar, PDI-P, Demokrat, dan partai-partai yang sudah mengakar sebelumnya.
Selain Sumatera Utara 2, Dapil NTB juga menarik dicermati. Pasalnya, pada Pemilu 2014, Golkar sebagai pemenang di dapil ini hanya menguasai 13,8 persen suara. Proporsi itu terpaut tipis dengan Demokrat di urutan kedua (13,2 persen), Gerindra (10,8 persen), dan PKS (10,5 persen). Rasio konsentrasi penguasaan pemilih dapil ini tergolong rendah. Perolehan empat besar partai pemenang tak sampai separuh dari total suara sah. Separuh lainnya terdistribusikan ke parpol lain dengan persentase signifikan.
Jadi persoalan besar
Dengan membagi NTB menjadi dua dapil pada Pemilu 2019, pola konsentrasi bisa jadi berubah mengingat pola pengelompokan pilihan juga tampak pada kantong wilayah politik yang terpisah oleh batas geografi dan pemerintahan. Namun, kontestasi sengit antarpartai bisa berulang.
Di dapil lain, ketatnya kompetisi akan menjadi persoalan besar bagi partai-partai yang menguasai dapil itu pada Pemilu 2014. Terkait hal ini, Golkar perlu berusaha keras untuk mempertahankan kemenangan. Tujuh dari 16 dapil paling kompetitif dikuasai Golkar.
Pada Pemilu 2019, di Dapil Jambi, Banten 1 (Kabupaten Lebak dan Pandeglang), Jawa Barat 4 (Kota dan Kabupaten Sukabumi), Jawa Barat 3 (Cianjur, Kota Bogor), Golkar berhadapan dengan PDI-P. Di wilayah itu, selisih perolehan suara kedua partai sangat tipis.
Hal sama juga bisa ditemui di Dapil Jawa Barat 11 dan Sulawesi Selatan 1. Di Jawa Barat 11 yang meliputi Garut, Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, Golkar berhadapan dengan PPP. Sementara di Dapil Sulawesi Selatan 1, Golkar bersaing dengan Demokrat. Kendati unggul, selisih suara partai itu tipis, di bawah 3 persen. Karena itu, pada Pemilu 2019 bisa jadi kondisi berbalik. Para pemilih yang akan menjadi penentunya.