Semilir angin menembus sela-sela pepohonan di Tempat Pembuangan Akhir Talangagung, di tepian daerah Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (19/2/2019) siang. Di sini, sampah diistimewakan. Dikelola menjadi gas metana yang menghidupi ratusan keluarga sekaligus wisata edukasi.
Di ujung area tempat pembuangan akhir (TPA), sebuah eskavator terus mengaduk gunungan sampah yang baru saja diturunkan dari truk untuk kemudian dipilah. Sekitar 100 meter ke arah selatan, dua orang guru salah satu sekolah di Kabupaten Malang tampak menggali informasi.
“Ini sedang survei untuk mata pelajaran studi visual. Besok kami bersama siswa hendak ke sini. Ada agenda kelas. Hari ini kami melihat-lihat dulu situasinya,” tutur Farouq Hilmi (20) dan diamini Nike Ermawati (44). Keduanya merupakan pengajar di Sekolah Alam Generasi Rabbani Gondanglegi.
Rencananya, sebanyak 23 siswa SD di sekolah setempat akan mengikuti pembelajaran terkait tema lingkungan. Sekilas, menurut Farouq, kondisi TPA Talangagung cukup mendukung. Lokasinya asri, tertata, dan dilengkapi sejumlah gazebo serta ruang publik yang menarik untuk kunjungan siswa.
Kondisi TPA Talangagung asri, tertata, dan dilengkapi sejumlah gazebo serta ruang publik yang menarik untuk kunjungan siswa
Satu lagi yang menarik, menurut keduanya, yakni pemanfaatan gas metana (CH4) untuk masyarakat sekitar yang dialirkan melalui sistem pipa. Saat ini ada sekitar 360 rumah tangga yang memanfaatkan metana sebagai bahan bakar secara cuma-cuma. Mereka hanya membayar iuran pemeliharaan jaringan.
Menurut pihak pengelola, saat ini volume gas metana di tempat itu berkisar 5-8 meter kubik (m3) per jam dan mengalir selama 24 jam. Sebagian besar gas dialirkan ke warga dan sisanya untuk kebutuhan di dalam TPA.
Begitulah, TPA Talangagung memang jauh dari kesan kumuh layaknya lokasi pembuangan akhir pada umumnya. Selain ruang publik, fasilitas lain di area seluas 4 hektar itu, antara lain instalasi pengolahan lumpur tinja, sumur sirkulasi air lindi, hanggar komposting, hanggar bank sampah bagi pemulung, mesin pemisah sampah, hingga tempat pembibitan (green house).
TPA Talangagung berdiri tahun 1997. Seperti TPA lain, pada masa awal berdiri, pengelolaannya masih menggunakan sistem open dumping atau pembuangan terbuka seperti TPA-TPA lainnya.
Namun, setelah keluar Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah, dengan perspektif sampah sebagai barang yang masih memiliki manfaat bagi kehidupan, Talangagung bersolek. Fungsinya diubah menjadi lokasi yang bukan lagi sekadar tempat pembuangan terakhir.
Inovasi dilakukan. Pada tahun 2009 mulai dibuat konsep TPA Wisata Edukasi. Tahun 2010, mulai dihasilkan gas metana yang dimanfaatkan masyarakat sekitar secara bertahap. Selanjutnya, pada 2015, TPA Wisata Edukasi Talangagung meraih penghargaan inovasi pelayanan publik Top 25 dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Revitalisasi
Adalah Koderi yang menjadi “arsitek” perubahan TPA Talangagung saat itu. Lelaki yang kini menjadi Kepala Bidang Peningkatan Kapasitas Penaatan di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Malang itu bahkan pernah mendapatkan penghargaan kalpataru dari pemerintah pusat untuk kategori pengabdi lingkungan tahun 2013.
Kini, dua zona (zona I dan II) tumpukan sampah di TPA Talangagung yang dulu terbuka, telah diurug (top covering). Kini, tumpukan sampah telah berubah menjadi tanah dan menghijau. Rencananya, Zona I dan II itu akan direvitalisasi.
“Nantinya akan dibongkar lagi untuk tempat pemrosesan sampah berikutnya. Sekarang, sedang kami teliti sehingga harapannya bisa benar-benar ramah lingkungan,” ujar Kepala TPA Talangagung Rudi Santoso di lokasi.
Menurut Rudi, pepohonan yang kini tumbuh di area TPA tidak hanya sebagai perindang, tetapi juga berfungsi menyerap gas karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dalam pengolahan sampah. Pihak TPA juga tengah meneliti karakter sampah untuk dijadikan komposting. Dengan begitu, terjadi sirkulasi yang saling menguntungkan di dalam TPA Talangagung.
Pepohonan di area TPA tidak hanya sebagai perindang, tetapi juga berfungsi menyerap gas karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dalam pengolahan sampah
Volume sampah yang masuk ke Talangagung sendiri terus bertambah. Jika pada masa awal tercatat 150 m3 per hari, kini menjadi 250 m3. Sampah tersebut berasal dari 13 kecamatan (dari total 33 kecamatan) di Kabupaten Malang, seperti Pakisaji, Kepanjen, Sumberpucung, Pagak, Wonosari, hingga Dampit.
Melihat perkembangan dan fungsinya, tak mengherankan jika TPA yang berada di tepi Sungai Metro itu, menjadi salah satu tempat wisata edukasi. Setiap tahun ada sekitar 10.000 wisatawan berkunjung. Mereka berasal dari siswa-siswa sekolah hingga instansi pemerintahan.
Menurut Koderi, TPA Talangagung sudah direplikasi sekitar 100 TPA di Indonesia karena aspek pengendalian gas metana yang semula jadi polutan menjadi bahan bermanfaat. “Gas metana kalau tidak dikendalikan berbahaya, 21 kali lipat dari bahaya CO2,” ujarnya.