Masyarakat Belum Memahami Makna Pendidikan Inklusif
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Dalam konsep pendidikan inklusif, setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan yang diberikan pun harus sesuai dengan kebutuhan setiap individu.
JAKARTA, KOMPAS — Misi pendidikan inklusif masih memerlukan pendalaman konsep dan penerapan di kalangan pendidik serta masyarakat. Sering kali cita-cita pelaksanaan pendidikan inklusif terhambat akibat adanya bias di masyarakat maupun kekurangan kapasitas guru maupun tenaga kependidikan di sekolah yang menangani anak-anak berkebutuhan khusus dan anak-anak dari kelompok rentan.
“Mayoritas pelaksanaan kurikulum pendidikan guru di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan fokus kepada materi pelajaran. Ilmu psikologi perkembangan anak masih kurang,” kata Dante Rigmalia, instruktur pendidikan dari Cipta Aliansi Edukasi yang spesialis di anak berkebutuhan khusus pada Konferensi Pendidikan Inklusif yang diadakan oleh Yayasan Indonesia Peduli Anak Berkebutuhan Khusus di Jakarta, Kamis (21/2/2019).
Acara tersebut dihadiri para orangtua, guru, maupun pegiat pendidikan yang kerap berhadapan dengan anak-anak berkebutuhan khusus dan rentan seperti anak dengan gangguan belajar, penyandang disabilitas, memiliki masalah kesehatan, atau pun berasal dari latar belakang ekonomi dan sosial yang lemah.
Ia menjelaskan, pendidikan inklusif merupakan persepsi semua anggota masyarakat bahwa setiap orang berhak atas pendidikan. Wujud pendidikan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan setiap individu. Artinya, apabila ada peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus, pengajaran yang diberikan tidak bisa disamakan dengan peserta didik lain yang tidak memiliki keterbatasan fisik, mental, maupun akses. Harus ada metode khusus yang diambil. Contohnya adalah dengan membuat sistem pembelajaran dan evaluasi yang berbeda meskipun siswa tersebut ada di satu kelas dengan siswa lain.
Apabila ada peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus, pengajaran yang diberikan tidak bisa disamakan dengan peserta didik lain yang tidak memiliki keterbatasan fisik, mental, maupun akses.
“Tantangan dari pendidikan inklusi ialah belum semua sekolah siap melaksanakannya karena keterbatasan guru-guru mengenali permasalahan tumbuh kembang anak, apalagi yang berkebutuhan khusus. Pelatihan yang berkesinambungan merupakan keniscayaan. Akan tetapi, akan lebih baik jika mulai dari kurikulum di LPTK semakin dipertajam mengenai pedagogi,” tutur Dante.
Sementara itu, dosen psikologi pendidikan Universitas Padjajaran Indun Lestari Setyono mengemukakan permasalahan sekolah kerap terlalu cepat mengasumsikan permasalahan tumbuh kembang siswa. Misalnya, siswa yang sukar membaca langsung disimpulkan memiliki disleksia. Padahal, asesmen terhadap hambatan belajar yang dialami seseorang hendaknya bertahap dan memerhatikan berbagai aspek.
“Hal ini yang mengakibatkan metode pembelajaran yang diberikan ke siswa sering keliru. Ada siswa yang permasalahannya lebih kepada emosional, ada pula yang memang mengalami kelainan di sarafnya,” jelasnya.
Pada siswa berkebutuhan khusus, aspek yang perlu diamati adalah kemampuan untuk fokus kepada kegiatan di kelas. Oleh sebab itu, guru harus pandai mengambil perhatian siswa melalui stimulan yang berbeda-beda, tergantung pada kebutuhan.
Sistem
Dosen Hukum Universitas Mataram Hayyan Ul Haq mengatakan, meskipun pendidikan inklusif diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, penerapannya sering tidak ideal di lapangan. Kesempatan sekelompok anak mendapatkan pendidikan kerap terhalang oleh penolakan masyarakat lokal.
Contohnya adalah kasus penolakan anak-anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di Samosir, Sumatera Utara dan Solo, Jawa Tengah. Pemerintah daerah sudah memenuhi hak mereka mendapatkan pendidikan dengan cara memasukkan anak-anak tersebut ke sekolah-sekolah negeri. Akan tetapi, desakan masyarakat mengakibatkan anak-anak tersebut terpaksa ditarik dari sekolah karena orangtua siswa lain takut anak-anak mereka tertular HIV/AIDS.
Dalam keterangannya, Direktur Pembinaan SD Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Khamim mengungkapkan, untuk ADHA di Solo sudah dipindahkan ke sekolah lain. Adapun ADHA di Samosir terpaksa menjalani pendidikan privat. Keputusan tersebut diambil oleh pemerintah daerah selaku pemangku kebijakan pendidikan.
“Ini solusi yang in situ, bukan sistematis. Solusi yang hanya diambil jika ada kasus. Hal ini tidak sesuai dengan konstitusi,” ujar Hayyan. Semestinya, pemerintah tidak boleh kalah terhadap keinginan populis, apalagi ini terkait pemenuhan hak asasi manusia pada anak-anak.
Semestinya, pemerintah tidak boleh kalah terhadap keinginan populis, apalagi ini terkait pemenuhan hak asasi manusia pada anak-anak.
Menurut dia, langkah yang diambil hendaknya tetap memastikan anak-anak berada di sekolah. Orangtua siswa dan anggota masyarakat lainnya diberi pengertian melalui sosialisasi yang melibatkan semua dinas di pemerintah daerah. Pendidikan sejatinya membangun sistem yang mencerdaskan masyarakat, bukan melayani masyarakat mayoritas atau pun golongan tertentu saja.