Seperti Memilih Wakil dalam Karung (3)
Di setiap gelaran pemilu, pemilih disodorkan banyak nama calon anggota legislatif tanpa mengetahui siapa mereka atau apa yang akan diperjuangkan jika terpilih. Masa kampanye yang panjang tak pernah optimal dimanfaatkan. Baru di detik-detik akhir mereka mendekat. Itu pun semata mengejar elektoral.
Fenomena ini terlihat terulang menjelang Pemilu Legislatif 2019. Sekalipun masa kampanye telah berjalan sejak 23 September 2018, masih banyak calon pemilih yang belum mengetahui para kandidat wakil mereka di legislatif.
Kalaupun ada yang sudah kenal, tak pernah jelas visi, misi, dan program yang akan dilakukan oleh calon jika kelak terpilih.
Calon pemilih mula di Jakarta, Theodore Gilbert (18) misalnya. “Saya tidak tahu caleg di daerah saya siapa. Saya tidak pernah melihat kampanye mereka. Apalagi program apa yang mereka perjuangkan kalau nanti terpilih,” katanya.
Begitu pula Fildaz Raeditya (27), warga Demaan, Jepara, Jawa Tengah. Memang sudah banyak caleg dari beragam partai politik mengenalkan diri melalui spanduk yang mereka pasang.
Namun siapa mereka? Apa program yang mereka perjuangkan untuk dia dan orang Jepara lainnya jika terpilih? “Tidak tahu, tidak pernah lihat mereka turun ke masyarakat,” jawabnya.
Sama juga dengan yang dirasakan oleh Slamet Tryono (26), warga Kota Lama, Kupang, Nusa Tenggara Timur.
"Hanya ada spanduk di tempat umum dan kawasan permukiman. Kalau melintas pasti lihat spanduk, tetapi siapa mereka kemudian apa program-programnya, tidak tahu," ujarnya.
Baca juga : Warna-Warni Kampanye Caleg (1)
Minimnya para caleg turun ke masyarakat itu, selaras dengan keterangan dari sejumlah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di daerah.
Ketua Bawaslu Jakarta Pusat (Jakpus) Muhammad Alman Muhdar misalnya, mengatakan, hingga awal Januari 2019, tidak banyak caleg yang turun kampanye ke masyarakat, baik melalui pertemuan tatap muka ataupun pertemuan terbatas.
Intensitas kampanye baru meningkat di akhir Januari atau sekitar dua bulan dari tanggal terakhir kampanye, 13 April 2019. Banyak diantaranya “wajah-wajah baru” yang sebelumnya tidak pernah terlihat turun ke masyarakat.
Meski demikian, dia melihat masih banyak caleg yang belum turun.
“Diperkirakan masih ada sekitar 30 persen caleg yang belum turun,” tambahnya.
Di Jakarta Selatan, menurut Komisioner Divisi Hukum Data dan Informasi Bawaslu Jakarta Selatan Ardhana Ulfa Azis, hanya caleg DPRD DKI Jakarta yang intens kampanye. Sementara caleg untuk DPR ataupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD), jarang terlihat kampanye.
Sama seperti di Jakpus, intensitas kampanye para caleg di Jakarta Selatan juga baru meningkat mulai akhir Januari.
Di 2019, total ada 109 calon anggota DPR yang berkontestasi di daerah pemilihan (dapil) DKI Jakarta 2. Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat masuk di dapil DKI Jakarta 2. Selain itu, ada 26 calon anggota DPD dari dapil DKI Jakarta. Kemudian 518 calon anggota DPRD DKI Jakarta dari dapil DKI Jakarta 1 yang mencakup wilayah di Jakarta Pusat, dan DKI Jakarta 2 dan Jakarta 3 di Jakarta Selatan.
Baca juga : Ketika Tak Ada Lagi Bulan Bahagia (2)
Minimnya caleg turun kampanye ke masyarakat juga terlihat dari laporan kampanye peserta Pemilu 2019 ke Bawaslu Pusat.
Hingga Desember 2018, hanya ada 12.643 kegiatan kampanye dengan metode pertemuan langsung. Padahal total seluruh caleg di 2019, ada 20.528 caleg. Jadi bisa dipastikan ada ribuan caleg yang belum kampanye.
Jika mengacu jajak pendapat Litbang Kompas dengan 489 responden, 28-29 November 2018, 61,8 persen responden merasa kehadiran caleg di tempat tinggalnya masih minim. Mereka mengungkapkan belum pernah ada caleg yang memperkenalkan diri sebagai peserta pemilu mendatang di wilayah mereka.
Baca juga : Jebakan di Surat Suara (4)
Menurut Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira, frekuensi kampanye caleg sangat bergantung pada modal caleg. Apalagi untuk calon anggota DPR dengan dapil yang luas, lintas kabupaten/kota, modal besar dibutuhkan.
Dikutip dari Kompas (29/1/2019), caleg menyiapkan anggaran minimal lima miliar rupiah selama masa kampanye hingga pemilu. Bahkan bagi caleg berlatar belakang pengusaha, biaya kampanye yang dihabiskan bisa sampai Rp 20 miliar.
Jika modal terbatas, caleg akan fokus kampanye mendekati hari pemungutan suara Pemilu 2019, 17 April 2019. Ini dengan pertimbangan, masyarakat akan lebih ingat mereka daripada kampanye jauh-jauh hari, masyarakat bisa lupa.
Itu pun tidak semua wilayah dijangkau. Hanya wilayah yang merupakan basisnya atau wilayah yang banyak calon pemilihnya.
Baca juga : "Mesin" Caleg untuk Caleg (5)
Anggota Badan Komunikasi Partai Gerindra Andre Rosiade dan Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni secara terpisah, juga mengatakan besarnya ongkos yang dibutuhkan, menyulitkan caleg bergerak.
"Biaya transportasi ke dapil saja sangat besar. Menguras logistik dan tenaga. Sangat melelahkan," ujar Andre yang juga maju menjadi caleg di Pemilu 2019.
Raja menambahkan, caleg harus pintar-pintar mengatur strategi di tengah masa kampanye yang berlangsung hampir tujuh bulan. Modal yang ada harus pintar-pintar dibagi. Kebanyakan mengintensifkan kampanye di tiga bulan menjelang hari pemungutan suara pemilu, 17 April 2019.
Merugikan publik
Realita caleg belum intens berkampanye turun ke masyarakat itu, menurut Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) Alwan Ola, tidak hanya karena caleg harus menyesuaikan dengan modal yang dimiliki.
Di luar itu, ada pula orang-orang yang didaftarkan menjadi caleg oleh partai politik semata untuk memenuhi kuota caleg partai. Dengan demikian, hingga akhir masa kampanye, bisa dipastikan mereka tidak akan turun kampanye.
Baca juga : Perang Melawan Politik Uang (6)
Terlepas dari hal itu, frekuensi kampanye caleg yang masih minim sangat merugikan publik.
Menurut Koordinator JPPR Sunanto, sangat penting bagi caleg untuk bertatap muka secara langsung dengan publik. Dengan demikian, publik bisa betul-betul mengenal caleg-nya, dan apa yang mereka perjuangkan. Tak hanya itu, perjumpaan juga jadi momen caleg menyerap masukan masyarakat, sehingga jika kelak terpilih, mereka bisa memperjuangkannya.
Dua bulan masa kampanye tersisa, caleg pun didorong untuk betul-betul memanfaatkannya, turun berinteraksi dengan masyarakat. Jika tidak, apa yang kerap terjadi di pemilu-pemilu sebelumnya, berpotensi besar terulang di 2019.
Baca juga : Gerilya Pengawas Pemilu (7-habis)
Publik akan memilih seperti memilih kucing dalam karung atau dalam konteks pemilu, bisa disebut seperti memilih wakil dalam karung. Padahal eksistensi wakil rakyat turut berperan penting dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. (WISNU WARDHANA DHANY/FAJAR RAMADHAN/ERIKA KURNIA)