Negara Produsen CPO Tempuh Dialog Lewat Misi Bersama
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Untuk menyikapi dokumen Renewable Energy Directive II dari Uni Eropa yang dianggap menyudutkan minyak kelapa sawit mentah, Council of Palm Oil Producing Countries atau CPOPC memutuskan misi bersama ke Eropa. Pengaduan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pun akan menjadi langkah pamungkas.
Strategi-strategi itu dibahas dalam Pertemuan Tingkat Menteri (Ministerial Meeting) ke-6 CPOPC di Jakarta, Kamis (28/2/2019). Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok, Direktur Unit Perencanaan Pedesaan Pertanian Kementerian Pertanian Kolombia Felipe Fonseca Fino, dan Direktur Eksekutif CPOPC Mahendra Siregar hadir dalam pertemuan itu.
Dokumen Renewable Energy Directive (RED) II Uni Eropa dinilai memperlakukan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) secara tidak adil di antara minyak nabati lainnya. "Kami, para menteri, sepakat melakukan joint mission (misi bersama) ke Eropa untuk menyuarakan isu ini kepada otoritas terkait," ucap Darmin dalam konferensi pers setelah pertemuan CPOPC.
Berdasarkan tinjauan CPOPC, Darmin menuturkan, dokumen RED II memiliki kepentingan politis untuk melindungi negara produsen minyak nabati rapeseed anggota Uni Eropa. Akibatnya, konten dari RED II dianggap cenderung menghambat ekspor CPO dan produk turunannya ke Eropa.
Dalam data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang dihimpun dari Independent Research and Advisory Indonesia, CPO merupakan minyak nabati paling efisien secara penggunaan lahan jika dibandingkan komoditas lainnya. Perkebunan kelapa sawit mampu menghasilkan 4 ton CPO per hektar per tahun, lebih tinggi daripada bunga Matahari 0,6 ton per hektar per tahun, rapeseed 0,7 ton per hektar per tahun, dan kedelai 0,4 ton per hektar per tahun.
Diskriminasi
Apabila disengketakan dalam WTO yang memiliki aturan jelas, Darmin berpendapat, CPO berpotensi unggul jika produktivitas lahannya dibandingkan dengan sumber-sumber minyak nabati lainnya. Imbasnya, dokumen RED II Uni Eropa akan dinilai mendiskriminasi minyak kelapa sawit dalam perdagangan internasional.
Oleh sebab itu, pengaduan CPOPC ke WTO menjadi langkah pamungkas. "Kami akan membawa isu ini ke WTO jika dokumen RED II telah menjadi rencana aksi yang diterapkan di negara-negara Uni Eropa," ucap Darmin.
Secara paralel, Darmin mengatakan, CPOPC akan menyuarakan pertentangannya terhadap RED II melaui ASEAN. Di sisi lain, CPOPC juga tetap membuka dialog dengan Uni Eropa untuk memposisikan minyak kelapa sawit dalam kerangka Tujuan Pengembangan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG\'s) 2030 yang merupakan agenda bersama Persatuan Bangsa-Bangsa.
Misi bersama yang diputuskan CPOPC menimbulkan optimisme dalam memperjuangkan minyak kelapa sawit di pasar Eropa. "Posisi tawar kami semakin lebih kuat," ujar Mahendra.
Teresa menuturkan, langkah-langkah misi bersama CPOPC bergantung pada hasil uji publik dokumen RED II yang berlangsung sampai 8 Maret 2019. Uji publik ini merupakan kesempatan untuk menyampaikan keberatan dan sorotan-sorotan CPOPC terhadap RED II Uni Eropa.
Darmin menambahkan, pihaknya telah mengirimkan secara dalam jaringan (daring) ulasan terhadap RED II dalam masa uji publik ini. Jika ulasan dari CPOPC tidak dipertimbangkan, misi bersama segera dilaksanakan.