Yang Muda Mengolah Keanekaragaman Hayati
Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati. Namun, kekayaan tersebut belum optimal dimanfaatkan. Sejumlah wirausaha muda menyadari hal itu dan mencoba mengolahnya untuk kepentingan masyarakat.
Kang Narman dengan bangga memamerkan tas koja kecil dari kulit kayu sukun, hasil kerajinan warga suku Baduy, Banten.
Narman adalah pemuda suku Baduy. Untuk mengenal suku Baduy, masyarakat biasanya harus mendatangi langsung desa tempat mereka tinggal. Kali ini, Narman justru keluar dan mengenalkan suku Baduy ke dunia luar.
”Saya menjual tas dan kain tenun buatan perajin Baduy. Semuanya buatan tangan dengan bahan baku berasal dari alam desa setempat,” katanya seusai acara Kickoff Satu Indonesia Awards 2019, di Jakarta, Senin (11/3/2019).
Dengan nama Baduy Craft, Narman telah memasarkan produk-produk kerajinan dari Baduy di sejumlah platform e-dagang, media sosial, dan dengan mengikuti pameran-pameran sejak tiga tahun lalu.
Sekalipun tak didukung kepala adat, Narman tetap gigih dengan usahanya karena usaha itu diyakini bisa meningkatkan kesejahteraan orang Baduy.
Hal itu terbukti. Produk-produk kerajinan Baduy dibuat oleh 20 hingga 25 orang Baduy. Mereka membuat kerajinan di sela-sela waktu bertani. Dari membuat produk-produk itu, mereka bisa menerima tambahan penghasilan sekitar Rp 700.000 per bulan.
Seperti Narman, pemudi bernama Meybi Agnesya berusaha memberdayakan masyarakat Kupang Barat, Nusa Tenggara Timur, melalui labelnya, Timor Moringa. Timor Moringa mengembangkan produk turunan dari pohon kelor yang bergizi tinggi, berupa cokelat dan teh kelor.
Meybi bekerja sama dengan lima petani lokal untuk memasok stok daun kelor. Sekali panen, satu petani dapat menghasilkan 10-50 kilogram (kg) daun kelor. Satu kilogram dihargai Rp 5.000 per kg.
Petani dapat memanen hingga tiga kali dalam seminggu. Dengan demikian, rata-rata petani dapat memperoleh penghasilan tambahan minimal Rp 600.000 per bulan. ”Mereka dapat memanen daun kelor sambil menanam tanaman lain, seperti bawang, jagung, dan cendana,” kata Meybi dalam kesempatan yang berbeda.
Contoh lainnya adalah Firman Setyaji, pendiri label Bengok Craft, asal Desa Kesongo, Jawa Tengah. Bersama 15-20 penduduk setempat, Firman membuat usaha kerajinan tangan dari tanaman eceng gondok.
Menurut Firman, eceng gondok dihargai Rp 5.000 per kg ketika tidak diolah. Namun, harga dapat naik empat kali lipat menjadi Rp 20.000 per kg setelah diolah.
Dari tangan Firman dan para perajin lokal, Bengok Craft membuat berbagai kerajinan, seperti gantungan kunci, sandal, dan keranjang. ”Penduduk yang membuat kerajinan adalah petani. Mereka akan mulai membuat kerajinan tangan sore setelah pulang dari sawah,” ujarnya.
Keanekaragaman hayati
Narman, Meybi, dan Firman hanyalah segelintir dari wirausaha muda yang menyadari potensi keanekaragaman hayati yang dimiliki Tanah Air. Mereka menyadari potensi produk dan pasar yang belum digali. Dengan menggalinya, mereka paham akan berimbas besar untuk masyarakat.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia masih minim. Sementara negara ini kaya dengan potensi alam, budaya, dan letak geografis yang tiada duanya.
Hal ini terjadi karena pelaku usaha industri besar belum menyadari potensi yang ada sebagai akibat dari riset dan penelitian yang terbatas. Padahal, ketika dimanfaatkan, sumber daya alam akan menghasilkan komoditas bernilai tinggi yang tidak dapat ditiru oleh negara lain.
Saat ini, lanjutnya, baru pelaku usaha muda yang memulai bisnis dengan memanfaatkan potensi keanekaragaman hayati.
”Mereka ini harus menjaga kualitas produksi agar dapat menjaga kepercayaan pelanggan,” ucap Sarwono.