Penembakan di dua masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3/2019) siang ini mengejutkan semua pihak. Bukan hanya tak berperikemanusiaan, tapi kekerasan serupa belum pernah terjadi di sana. Ancaman terorisme di Selandia Baru juga relatif rendah. Kehidupan yang beragam dan saling menghargai jauh lebih kuat di negeri belahan selatan ini.
Penembakan ini terjadi di Masjid Al Noor di pusat Kota Christchurch dan insiden kedua di sekitar Masjid Linwood. Korban meninggal, berdasar informasi dari pemberitaan media Selandia Baru, diperkirakan sudah mencapai 40 orang. Masih banyak korban luka lainnya.
Polisi Selandia Baru pun sudah menahan empat tersangka yang terdiri atas tiga lelaki dan seorang perempuan. Kendati demikian, kejadian ini sungguh mengguncang. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Arden menyebut hari ini sebagai hari paling kelam di Selandia Baru.
Salah seorang atlet bintang rugby Selandia Baru Sonny Bill Williams pun tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Sebagai salah seorang Muslim di Negeri Kiwi, dia pun sampai tak bisa berkata-kata. “Just sending out my ‘doas’ to the families of the close to 30 people dead.. Insyaallah you are all in paradise,” tuturnya melalui akun twitter @SonnyBWilliams.
Bagi warga negara Indonesia yang pernah tinggal dan belajar di berbagai wilayah Selandia Baru, kejadian ini sama mengguncangkannya. Sebab, masyarakat Selandia Baru sesungguhnya sangat beragam, baik latar kebangsaannya maupun agamanya. Keberagaman ini pun berlangsung relatif tanpa masalah berarti.
Kompas yang pernah menjalani studi di Auckland, beberapa tahun lalu, merasakan betul keberagaman masyarakat di negeri ini. Tak hanya warga asal China, Jepang, Korea, India, Arab, Srilanka, Turki, tetapi juga masih banyak warga Inggris, Indonesia, maupun Filipina, Laos, Myanmar, Kamboja, Vietnam, serta dari negara-negara Afrika dan Pasifik yang tinggal bersama.
Keramahan dan sikap ringan tangan seakan mendarah daging. Pelajar yang sedang berjalan kaki menuju sekolah misalnya, akan segera membantu warga difabel pengguna kursi roda yang kebetulan menghadapi kesulitan di jalan. Spontan. Tanpa melihat warna kulit.
Kata ‘permisi’ dan ‘terima kasih’ juga betebaran di kehidupan sehari-hari. Teman-teman yang menunaikan shalat jumat maupun merayakan Idul Fitri ataupun Idul Adha pun mudah menjalankan ibadahnya.
Angka kriminalitas juga relatif rendah di negeri ini, apalagi terorisme. Mahasiswa yang mengenakan tas ransel dengan retsluiting terbuka umumnya tak kehilangan apa-apa di jalanan.
Valentine, salah seorang WNI yang pernah bekerja di Auckland maupun di Christchurch, mengatakan warga Christchurch pun sama beragam seperti di Auckland. Bahkan, sebagai kota yang lebih kecil dari Auckland, keramahan masyarakat lokal malah lebih terasa di Christchurch.
Reaksi para alumni berbagai kampus di Selandia Baru pun serupa. “It’s heart breaking. I couldn’t believe it happens in NZ.” “Sedih banget.”
Namun, insiden telah terjadi. Banyak nyawa melayang. Luka tertoreh.
Aparat penegak hukum Selandia Baru pun tampak bekerja semaksimal mungkin mengamankan warganya. Para siswa di semua sekolah dipastikan aman. Warga pun untuk sementara diharap tidak ke masjid, masyarakat umum pun diminta tetap tinggal di rumah sampai kondisi benar-benar aman.
Sebab, seperti kata PM Jacinda Arden, mungkin banyak korban dalam kejadian ini adalah imigran, tetapi Selandia Baru adalah rumah mereka. Mereka adalah kita. Tapi, tak ada tempat untuk kekerasan.