Debat Calon Wakil Presiden Tidak Menyinggung Soal Nalar dan Karakter
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Debat calon wakil presiden belum mengungkit isu peningkatan sumber daya manusia, terutama di bidang pendidikan, baru menggerus permukaan. Tidak ada yang membahas permasalahan mendasar pada isu pendidikan nasional. Berbagai rencana kebijakan yang dilontarkan masih sebatas isu populis demi kepentingan elektoral.
Debat Calon Wakil Presiden antara Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno berlangsung pada hari Minggu (17/3/2019) malam di Jakarta. Kedua cawapres ketika mengutarakan visi dan misi terkesan sangat berorientasi pada hal-hal yang materialistis dan jangka pendek. Dunia usaha dan dunia industri (DUDI) merupakan satu aspek yang paling sering disebut oleh kedua belah pihak. Mereka menyiratkan permasalahan pembangunan sumber daya manusia bisa terselesaikan apabila semakin banyak orang yang terserap ke dalam bursa tenaga kerja.
Debat dimulai dengan topik mengenai strategi peningkatan riset. Baik Ma’ruf maupun Sandiaga sama-sama mengatakan pentingnya riset bagi pembangunan bangsa. Sandiaga mengutarakan akan menguatkan konsolisasi antara DUDI, perguruan tinggi, lembaga riset, dan pemerintah agar riset bisa diterapkan dan diadaptasi oleh pasar. Sementara, Ma’ruf mengemukakan hendak membuat Badan Riset Nasional, mengembangkan Dana Abadi penelitian, dan sinergi dengan DUDI.
Masalah pengangguran menjadi bahasan juga dengan solusi revitalisasi vokasi. Kedua belah pihak setuju bahwa butuh lebih banyak kemitraan dengan DUDI terkait jenis pembelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan vokasi seperti SMK, politeknik, balai latihan kerja (BLK), dan kursus-kursus. Pemaksimalan pemagangan di dunia industri juga menjadi perhatian keduanya.
Jualan
Direktur Sanggar Anak Akar Susilo Adinegoro mengatakan, sejak debat calon presiden hingga antarcalon wakil presiden hanya bersifat jualan untuk kepentingan elektoral. Tidak ada yang membahas falsafah pembangunan bangsa yang di dalamnya pemberdayaan sumber daya manusia menjadi kunci.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Guru Besar Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Fasli Jalal. “Tidak mungkin mengembangkan riset dan inovasi tanpa ada kemampuan berpikir canggih. Masalahnya, kemampuan berpikir canggih yang semestinya dipupuk di pendidikan dasar dan menengah tidak terjadi,” tuturnya.
Ia menjelaskan, tujuan utama pendidikan ialah membangun manusia yang insani. Artinya ialah memastikan setiap individu memiliki kemampuan nalar, karakter, dan kreativitas. Keputusan tentang memilih bidang untuk ditekuni dalam menjalani kehidupan dan pekerjaan merupakan hak setiap individu sebagai upaya mengejawantahkan keinsanian ini.
Masalah dalam sistem pendidikan Indonesia ialah belum ada proses pemikiran analitis, empatis, dan sintesis yang terjadi. Beban pelajaran terlalu berat dengan begitu banyak tuntutan administratif sehingga guru tidak mungkin menerapkan pembelajaran yang mendalam, apalagi bisa menggali keunikan potensi setiap siswa. Akibatnya, metode pembelajaran yang terjadi adalah hafalan.
“Tanpa ada nalar dan karakter, tidak akan ada inovasi. Artinya, baik riset maupun pembangunan sumber daya manusia yang mumpuni tidak akan tercapai,” jelasnya.
Tanpa ada nalar dan karakter, tidak akan ada inovasi. Artinya, baik riset maupun pembangunan sumber daya manusia yang mumpuni tidak akan tercapai.
Ia mengkritisi kedua cawapres yang memiliki pandangan pendek hanya menurunkan angka pengangguran. Pendidikan sejatinya tidak mengajarkan keterampilan yang akan ketinggalan zaman seiring perubahan teknologi maupun tren. Pendidikan adalah untuk mengembangkan karakter pembelajar seumur hidup, yaitu individu yang memahami dan peduli pentingnya meningkatkan kompetensi.
Terkait dengan rencana penghapusan Ujian Nasional (UN) yang dikemukakan Sandiaga, beserta mengurangi mata pelajaran dengan alasan tidak relevan, Fasli menjelaskan permasalahan bukan di jenis mata pelajaran, melainkan cara pembahasan yang tidak kontekstual dan mengembangkan kemampuan berpikir canggih. Adapun soal UN, untuk pendidikan akan selalu diperlukan evaluasi. Penekanannya adalah evaluasi tersebut tidak untuk menentukan kelulusan seseorang, melainkan pembenahan sistem secara holistik.
Tenaga kerja
Sementara Susilo Adinegoro mengkritisi pandangan ketenagakerjaan yang sempit oleh kedua cawapres. Ketenagakerjaan dilihat hanya dari penyerapannya di industri dan vokasi seolah diperlakukan untuk misi ini. “Kita harus tegas dengan jenis tenaga kerja yang akan diolah. Bukan sekadar mengisi industri ataupun berwiraswasta, tetapi harus memiliki etos kerja baik, kepedulian sosial, kewirausahaan sosial dan finansial, kemampuan mengelola diri, dan mengelola industri,” ujarnya.
Ia memaparkan tujuan vokasi ialah menciptakan individu yang mampu bekerja dengan bermartabat dan mengembangkan lapangan pekerjaan yang bermartabat. Para individu yang bekerja dengan martabat ini memiliki kesadaran membangun bangsa, alam, dan global. Vokasi tidak sebatas untuk membuat statistik tampak baik dengan menurunkan angka pengangguran ataupun menciptakan lapangan kerja.
Untuk mencapai pendidikan vokasi taraf itu dibutuhkan falsafah pendidikan yang kuat yaitu membangun manusia. “Sayang sekali, tampaknya falsafah pendidikan yang dianut masih digerakkan oleh kepentingan ekonomi. Padahal, membangun bangsa adalah dari kebudayaan yang berakar pada pendidikan berwawasan kebangsaan,” katanya.