Berebut Kursi ”Senator” DKI Jakarta
Terus menurunnya ketertarikan orang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah tidak memengaruhi ambisi petahana untuk kembali mengejar kursi ”senator” tersebut. Begitu pula sejumlah figur publik. Fenomena ini setidaknya terlihat di daerah pemilihan DKI Jakarta.
Sambil terus dipapah oleh asistennya, anggota Dewan Perwakilan Daerah dari DKI Jakarta, Sabam Sirait, meninggalkan ruang Sidang Paripurna DPD di Kompleks Parlemen, Jakarta, pertengahan Maret lalu. Saat itu, sidang yang salah satunya membahas hasil penyerapan aspirasi dari daerah belum tuntas.
Sabam mengatakan tidak kuat jika terlalu berlama-lama berada di ruangan ber-AC.
”Di dalam (ruang rapat) terlalu dingin,” ujarnya sambil mencoba duduk di sebuah kursi yang tak jauh dari ruang sidang.
Sabam bisa dibilang sebagai salah satu anggota DPD periode 2014-2019 yang usianya sudah lanjut. Pada 13 Oktober 2019, dia akan berusia 83 tahun.
Kehadiran Sabam di DPD sebenarnya baru mulai tahun 2018. Saat itu, dia menggantikan AM Fatwa yang meninggal pada 18 Januari 2018. Sabam yang raihan suaranya di Pemilu 2014 berada di urutan kelima terbanyak di antara calon-calon anggota DPD DKI Jakarta lainnya otomatis naik menggantikan AM Fatwa.
”Saya dulu juga tak pernah menyangka menggantikan posisi Pak Fatwa. Saya berhitung, masih mampu enggak, ya, saya dengan umur dan kesehatan saya yang seperti ini,” kata Sabam yang sebenarnya menderita penyakit penyempitan pembuluh darah.
Namun, akhirnya dia menerima jabatan menjadi anggota DPD. Bahkan, tak berhenti di sana, pada Pemilu 2019, Sabam memutuskan untuk maju kembali menjadi calon anggota DPD DKI Jakarta. Ini, menurut dia, akan menjadi ”pertarungan” terakhirnya di dunia politik.
”Saya kira, sudahlah, kalaupun maju (mencalonkan diri sebagai anggota DPD), inilah yang terakhir. Pada akhirnya memang harus ada teman lain yang maju. Enggak apa-apa juga kalau saya kalah,” ujar Sabam.
Sabam Sirait sudah lama malang melintang di dunia politik. Di awal Orde Baru, dia sudah menjabat anggota DPR Gotong Royong (1967-1973). Selanjutnya, selama dua periode, dia menjadi anggota DPR dari Fraksi PDI (1973-1982). Dia juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung selama dua periode (1983-1992). Setelah itu, dia masuk lagi ke DPR dari PDI (1992-1997).
Di era Reformasi, dia kembali terpilih menjabat anggota DPR dari PDI-P. Dua periode dia menjabat anggota DPR, mulai dari 1999 hingga 2009. Baru pada Pemilu 2014, Sabam memutuskan maju menjadi calon anggota DPD.
Diuntungkan
Selain Sabam, tiga petahana lain maju kembali di Pemilu 2019. Mereka adalah Fahira Idris, Abdul Azis Khafia, dan Dailami Firdaus.
Fahira di Pemilu 2014 berhasil meraih suara terbanyak di antara calon-calon anggota DPD DKI Jakarta lainnya dengan total 511.323 suara. Kemudian, AM Fatwa di urutan kedua, sedangkan Dailami Firdaus di urutan ketiga dengan raihan 416.929 suara dan Abdul Azis Khafia di urutan ke-4 dengan raihan suara sebanyak 368.397 suara.
Fahira merasa ada janji-janji kampanyenya di Pemilu 2014 yang diperkirakan belum akan tuntas hingga akhir masa jabatan sebagai anggota DPD, akhir September 2019. Inilah yang mendorongnya kembali maju di Pemilu 2019.
Dia pun yakin akan bisa terpilih kembali pada 2019. Sebab, selama menjabat, dia rajin merawat relasi dengan konstituennya. Selain itu, berbekal peta dukungan pada Pemilu 2014, dia sudah tahu harus menyasar daerah-daerah mana di DKI Jakarta agar dirinya bisa kembali terpilih.
”Jadi, kampanyenya bisa lebih efektif dan efisien,” ujar Fahira.
Wajah baru
Meski demikian, bukan berarti petahana lebih ringan jalannya. Di Pemilu 2019, mereka akan menghadapi 22 calon lain.
Beberapa di antaranya pernah maju pada Pemilu 2014. Salah satunya Ardi Putra Baramuli, cucu mantan Ketua Dewan Pertimbangan Agung era presiden ke-3 BJ Habibie, AA Baramuli. Sudah pernah maju di pemilu, tentu sudah memiliki bekal pengalaman. Mereka juga pasti tak ingin kembali kalah di pemilu ini.
Baca juga: Dapil DKI Jakarta 1, ”Wajah Lama” Masih Bertahan?
Belum lagi munculnya wajah-wajah baru yang memiliki kapasitas dan modal popularitas sebagai figur publik. Sebut saja misalnya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie. Setelah tak lagi menjabat hakim MK, dia terpilih menjabat Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu periode 2012-2017. Kemudian, menjelang Pemilu 2019, dia memutuskan untuk mencoba maju menjadi salah satu calon anggota DPD DKI Jakarta.
Semangat perubahan
Jimly mengatakan, niatnya maju tidak muncul begitu saja. Niatnya itu muncul karena khawatir melihat perkembangan DPD.
DPD disebutnya salah jalan karena belakangan semakin banyak anggota DPD berasal dari partai politik. Padahal, DPD seharusnya murni utusan daerah, bukan bagian dari partai politik. Dengan demikian, keberadaan DPD bisa menjadi penyeimbang dari DPR yang terdiri atas orang-orang partai politik.
Baca juga: Persaingan Sengit di Dapil Jakarta II, Dapil Terkaya
Selain itu, Jimly berniat untuk memperkuat hubungan DPD dan DPR. DPD dan DPR seharusnya bermitra, khususnya dalam menjalankan fungsi legislasi.
”Selama ini, yang terlihat saling berebut peran legislasi sehingga hubungan DPR dan DPD itu tidak baik, tidak bermitra, secara psikologis bermusuhan. Maka, orang partai tak begitu suka dengan DPD,” katanya.
Jimly yakin dapat memperbaiki DPD jika kelak terpilih. Bahkan, dia berniat untuk tidak hanya mengejar jabatan anggota DPD, tetapi ketua DPD.
”Saya datang ke DPD karena saya murni berniat memperbaiki DPD. Saya menawarkan diri memperbaikinya meski saya tahu (mencapai) itu bukan jalan yang mudah,” katanya.
Baca juga: Calon Legislatif Kian Intensifkan Kampanye Tatap Muka
Jalan terjal pertama yang harus dilaluinya, terpilih di Pemilu 2019. Dia mengaku tidak memiliki banyak uang untuk berkampanye layaknya petahana atau calon anggota legislatif lainnya.
”Saya menghindar dari kegiatan berkampanye begitu karena saya memang tidak punya duit. Saya hanya mengandalkan sukarelawan,” kata Jimly.
Selain itu, dia mencoba memenuhi undangan di kampus-kampus, tetapi bukan untuk kampanye. Sebagai mantan hakim MK, dia punya ilmu dan pengalaman untuk dibagi kepada mahasiswa. Dengan cukup melakukan itu, dia berharap bisa meningkatkan elektabilitasnya di kalangan pemilih, khususnya pemilih milenial.
”Menurut aturan, kan, dilarang berkampanye di lembaga pendidikan, tetapi kalau saya diundang ceramah, itu, kan, tidak kampanye. Jadi, saya tidak terkena larangan untuk bicara di kampus,” tuturnya.
Setidaknya dari sekitar 300 perguruan tinggi di DKI Jakarta, Jimly mengatakan sudah diundang di sekitar 30 perguruan tinggi. ”Jadi, saya intensifkan saja kalau diundang sana-sini. Saya hanya menyebar ilmu saja,” katanya.
Selain nama Jimly, ada pula figur publik lain, yaitu Sylviana Murni. Mantan Deputi Gubernur DKI Jakarta itu kian tenar namanya saat maju di Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta. Dia yang maju sebagai calon wakil gubernur berpasangan dengan calon gubernur Agus Harimurti Yudhoyono, putra dari presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.
Baca juga: Dapil DKI Jakarta 3, Wajah Baru Menggoyang Petahana
Kemudian, ada pula mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta Sumarno. Dia dua periode menjadi komisioner KPU DKI Jakarta atau sejak 2008 sebelum memutuskan mundur dari KPU, April 2018, untuk maju di Pemilu 2019.
Kini, waktu ke pemilu, 17 April 2019, hanya tersisa sekitar satu bulan lagi. Masing-masing tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa terpilih.
Namun, perjuangan tak hanya berhenti saat sudah terpilih. Mereka diharapkan bisa menunjukkan kinerja yang baik sebagai seorang ”senator” dan mengubah DPD ke arah yang lebih baik, bukan seperti DPD lima tahun terakhir yang sarat konflik dan minim kinerja. Perubahan itu penting untuk mematahkan kian kuatnya pandangan yang menganggap DPD tidak perlu ada.