Tak seperti bedah-bedah buku pada umumnya, peluncuran buku karya Garin Nugroho (58), Selasa (19/3/2019) malam, di Bentara Budaya Jakarta terasa sangat meriah dan menghibur. Garin dengan kemampuan narasinya yang renyah berkolaborasi dengan para musisi dan dosen-dosen kawakan, mulai dari Tommy F Awuy, Irwansyah Harahap, Faizal Lubis, Joko Gombloh, Mia Ismi, Cornelia Agatha, dan sebagainya. Sembari melantunkan Dongeng-Lagu Nuswantara, Garin mengajak tamu undangan berbincang-bincang ringan tentang negeri melodrama.
Mia Ismi, sang violist, membuka acara dengan gesekan biolanya yang kemudian disambut dengan kata pengantar dari Garin. “Acara ini tidak membawa bendera salah satu pasangan calon (presiden) pun. Hari ini kita menyanyikan lagu-lagu melodrama dengan bebas. Dalam kebebasan tidak ada yang salah, santai saja. Kalau salah diperbaiki dalam kebersamaan,” ucapnya disambut gelak tawa audiens.
Lagu melodrama pertama dilantunkanlah nyanyian melayu “Bunga Seroja”karya Said Effendi yang kemudian disusul dengan lagu kedua ciptaan Said Effendi pula berjudul “Fatwa Pujangga”. Tommy yang berduet dengan Ismi menyanyikan lagu ini dengan vibrasi penuh emosi.
Garin dengan piawai merajut satu lagu ke lagu berikutnya menggunakan narasi yang diambil dari butir-butir bukunya. Buku Negara Melodrama adalah kumpulan esai-esai populernya yang pernah dipublikasikan di kolom Udar Rasa, harian Kompas.
Berangkat dari buku ini, gagasan Dongeng-Lagu Nuswantara bergulir dan mewujud menjadi sebentuk pementasan kolaborasi yang merefleksikan situasi sosial, budaya dan politik negeri ini. Perpaduan antara dongeng atau refleksi ringan tentang kondisi bangsa dengan pertunjukan lagu-lagu nusantara menjadikan acara ini mudah dicerna sekaligus sangat menghibur segala kalangan.
Gagasan Dongeng-Lagu Nuswantara bergulir dan mewujud menjadi sebentuk pementasan kolaborasi yang merefleksikan situasi sosial, budaya dan politik negeri ini.
Masyarakat fiksi
“Pada tahun 1950-1960-an kita memiliki lagu-lagu melayu melodrama melayu yang kemudian disusul dengan lagu dangdut pada era 1980-an. Berikutnya, kita memasuki era bioskop, sebuah dunia melodrama yang lebih besar yang hanya menawarkan hitam dan putih serta cerita-cerita fiksi. Film menciptakan masyarakat fiksi yang tidak mempedulikan fakta dan data. Dari dulu, masyarakat kita memang seperti itu sehingga tidak heran jika sekarang banyak merebak berita-berita hoaks,” ujar Garin.
Menurut Garin, kita sekarang tumbuh dalam budaya fiksi. Karena itu tak heran jika banyak orang Indonesia suka menonton sinema yang penuh dengan rekaan, mereka suka pergi ke bioskop. Dari sinilah, Garin mengajak audiens untuk bersama-sama menyanyikan lagu “Malam Minggu” karya Bing Slamet.
Memasuki era budaya pop, konstelasi musik nasional semakin berkembang lebih kaya. Di dalam negeri bermunculan grup-grup band ternama salah satunya Koes Plus. Lagu “Bis Sekolah” Koes Plus akhirnya dinyanyikan bersama-sama dengan alunan musik yang rancak.
Dongeng-Lagu Nuswantara bergulir secara kronologis. Memasuki era pasca 1970-an, Eros Djarot menciptakan lagu “Badai Pasti Berlalu” pada 1977 menandai film legendaris karya Teguh Karya “Badai Pasti Berlalu” yang kemudian pada dipopulerkan kembali oleh Chrisye pada 1999 dan Ari Lasso pada 2007.
Dalam Dongeng-Lagu Nuswantara tersebut, Garin dan rekan-rekannya mencoba menyuguhkan paradoks demokrasi Indonesia. Sebuah paradoks demokrasi yang bertumbuh dalam budaya tontonan lewat opera sabun di televisi, menjadikan lahirnya masyarakat melodrama yang sudah tumbuh sejak awal Indonesia mengonsumsi media informasi komunikasi awal pada abad ke-20.
Dalam Dongeng-Lagu Nuswantara tersebut, Garin dan rekan-rekannya mencoba menyuguhkan paradoks demokrasi Indonesia.
Masyarakat kita tidak tumbuh dalam kultur data dan fakta, namun kultur bercerita penuh konflik, vulgar, dan hitam putih. Menurut Garin, kultur melodrama ini bertumbuh dari generasi televisi dan terus berkembang dalam pegas teknokapitalis digital yang dipegang di tangan setiap warga berupa telepon pintar.