Urusan memilih partai politik seakan kalah pamor dengan memilih pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Kurang dari satu bulan menjelang pemungutan suara Pemilu 2019, porsi pemilih mengambang relatif tidak bergerak dalam memilih parpol. Parpol yang diasosiasikan dengan sosok calon presiden lebih diuntungkan dalam pemilu serentak kali ini.
Perhatian publik yang besar terhadap pemilihan presiden (pilpres) sedikit ”mengabaikan” pertarungan antarparpol dan calon anggota legislatif (caleg). Tahapan kampanye pemilihan anggota legislatif (pileg) yang sudah menjelang babak akhir pun belum membuat publik antusias mengikuti pertarungan memperebutkan kursi legislatif itu. Tidak heran jika kemudian sampai hari ini tidak sedikit pemilih masih bingung, bahkan tidak mengetahui caleg yang akan dipilih, baik di tingkat daerah maupun tingkat pusat.
Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah parpol, terutama dalam menggenjot dukungan pemilih di tengah perhatian mereka pada urusan pilpres. Berdasarkan hasil survei Kompas pada Maret ini, tidak ada pergerakan mencolok dari pemilih terkait kontestasi di pileg, bahkan jumlah pemilih yang gamang dan bimbang menentukan pilihan partai (undecided voters) cenderung tidak bergerak dari survei Oktober 2018.
Namun, jika dibandingkan antara survei Oktober 2018 dan Maret 2019, ada sedikit perubahan dari distribusi suara antarparpol, terutama di PDI-P dan Partai Golkar. Kebetulan kedua parpol ini sama-sama berada di kubu pendukung pasangan Joko Widodo–Ma’ruf Amin. Di survei Maret ini, tingkat keterpilihan PDI-P ada di angka 26,9 persen, turun 3,0 persen dibandingkan dengan survei Oktober 2018 yang mencapai 29,9 persen. Meskipun demikian, elektabilitas PDI-P masih yang tertinggi ketimbang parpol lain. Jika dalam satu bulan ke depan potensi elektabilitas ini tidak ada perubahan, boleh jadi PDI-P akan mencatatkan diri sebagai parpol pertama yang bisa memenangi pemilu untuk kedua kali berturut-turut sejak era reformasi ini.
Peluang PDI-P akan tetap dibayangi oleh parpol lain, terutama Partai Gerindra dan Golkar, dua parpol yang selama ini bersaing ketat di bawah PDI-P. Dari dua survei Kompas, elektabilitas Gerindra relatif tetap di angka 16-17 persen. Sementara elektabilitas Golkar di survei Maret ini adalah 9,4 persen atau meningkat 3,2 persen ketimbang survei Oktober 2018.
Ambang batas
Jika mendasarkan pada elektabilitas parpol pada survei periodik Kompas pada Maret ini, ada tiga kategori parpol terkait peluang lolos ambang batas parlemen Pemilu 2019 yang besarnya 4 persen. Pertama adalah parpol yang elektabilitasnya langsung di atas ambang batas parlemen. Masuk kategori itu adalah PDI-P (26,9 persen), Gerindra (17,0 persen), Golkar (9,4 persen), dan PKB (6,8 persen). Kedua, adalah parpol yang elektabilitasnya memenuhi minimal ambang batas parlemen, termasuk di antaranya dengan mempertimbangkan tingkat sampling error +/- 2,2 persen di survei ini. Masuk dalam kategori kedua ini di antaranya Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan Nasdem.
Sementara kategori ketiga adalah parpol yang tingkat elektabilitasnya di bawah angka minimal ambang batas parlemen. Meski mempertimbangkan tingkat sampling error +/- 2,2 persen pun, parpol ini masih sulit memenuhi angka minimal ambang batas parlemen. Di kategori ini ada Hanura, PBB, PKPI, dan empat partai politik pendatang baru, yakni Perindo, PSI, Berkarya, dan Garuda.
Ketiga kategori di atas akan diuji kebenarannya saat pemungutan suara 17 April nanti. Sisa waktu kurang dari satu bulan ini tetap membuka peluang bagi semua parpol untuk mengubah elektabilitasnya.
Semakin mantap
Jika secara umum keterpilihan parpol cenderung tidak bergerak tajam dari survei sebelumnya, hal berbeda ditunjukkan pada ”kualitas” pilihannya. Gejala ini tampak di dua parpol yang selama ini diasosiasikan sebagai pengusung utama calon presiden, yaitu PDI-P dan Gerindra. Sebanyak 76,5 persen pemilih PDI-P sudah mantap dengan pilihannya dan tidak akan mengubah pilihan saat pemungutan suara 17 April nanti. Angka ini naik hampir 30 persen ketimbang survei sebelumnya.
Hal serupa di pemilih Gerindra, di mana 80,8 persen pemilihnya sudah mantap dengan pilihannya. Angka ini juga mengalami kenaikan yang sama dengan PDI-P ketimbang survei Oktober lalu.
Selain menunjukkan gejala semakin mantapnya pemilih, PDI-P dan Gerindra juga diuntungkan dengan efek ekor jas dari sosok kedua capres yang selama ini melekat dengan parpol itu, yaitu Joko Widodo untuk PDI-P serta Prabowo Subianto untuk Gerindra.
Pemilih loyal PDI-P dan Gerindra juga pendukung capres yang diusung kedua parpol itu. Sebanyak 95,0 persen pemilih PDI-P akan mencoblos Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada pemilu mendatang. Hal yang sama terjadi pada pemilih Gerindra, di mana 92,4 persen pemilih partai ini mengaku sudah mantap akan memilih pasangan Prabowo Subianto- Sandiaga Uno.
Hal ini menjadi sinyal, PDI-P dan Gerindra jadi parpol yang diuntungkan oleh Pemilu 2019 yang digelar serentak antara pileg dan pilpres. Parpol yang tidak seberuntung PDI-P dan Gerindra harus berpikir keras untuk mendapatkan insentif elektoral di pileg saat mendukung pasangan calon di pilpres.
Kondisi ini membuat sejumlah parpol yang tak seberuntung PDI-P dan Gerindra memilih ”jalan tengah” untuk menyiasati kondisi mereka. Salah satunya dengan memberikan ruang bagi calegnya untuk tidak berkampanye mendukung pasangan calon yang diusung parpolnya di pilpres ketika di wilayah dapil tempat si caleg berkompetisi menjadi basis dari capres dan cawapres yang tidak diusung parpolnya.
Akhirnya, segala upaya yang dilakukan parpol adalah untuk meyakinkan dan memantapkan pemilihnya agar tidak berpindah pilihan. Untuk itu, merawat pemilih loyal akan lebih berharga di tengah persaingan pemilu yang semakin ketat dan perhatian parpol yang terpecah antara persaingan di pilpres dan pileg.