Pertumbuhan Serikat Pekerja di Asia Tenggara Masih Memprihatinkan
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan serikat pekerja di industri media kawasan Asia Tenggara masih memprihatinkan. Di sejumlah negara, ancaman dan intimidasi terhadap aktivitas serikat pekerja media masih terus-menerus terjadi.
Kasus yang masih hangat terjadi di Sri Lanka, Senin (18/3/2019), sebanyak 15 karyawan stasiun televisi swasta Sri Lanka Swarnavahini dipecat ketika hendak membentuk serikat pekerja. Ironisnya, itu adalah serikat pekerja pertama yang akan berdiri di perusahaan media swasta di Sri Lanka.
Sebanyak 270 karyawan Swarnavahini sudah bersiap-siap membentuk serikat pekerja sebagai upaya perbaikan kondisi perusahaan. Selama 12 bulan terakhir, gaji mereka tidak naik dan pembayarannya tidak tepat waktu.
Sebagai puncaknya, 15 pekerja media yang menginisiasi pembentukan serikat pekerja itu akhirnya dipecat oleh manajemen perusahaan. Kasus serupa juga terjadi di Timor Leste. Pemimpin Redaksi Grupo Media Nacional (GMN) Fransisco Belo Da Costa dipecat karena upayanya meningkatkan kesejahteraan staf di perusahaannya melalui aktivitasnya di Dewan Pers dan Timor Leste Press Union. GMN merupakan media cetak dan penyiaran di Timor Leste.
“Kondisinya masih memprihatinkan. Pekerja media di Asia Tenggara yang ingin mendirikan serikat pekerja masih mengalami sejumlah intimidasi, bahkan pemecatan. Jika dibanding negara-negara lainnya di Asia Tenggara, situasi serikat pekerja media di Indonesia relatif lebih maju,” kata Koordinator International Federation Journalists (IFJ) Asia Tenggara Ratna Arianti, Rabu (20/3/2019), di Jakarta.
Kondisinya masih memprihatinkan. Pekerja media di Asia Tenggara yang ingin mendirikan serikat pekerja masih mengalami sejumlah intimidasi, bahkan pemecatan.
Mulai tumbuh
Di kawasan Asia Tenggara, pertumbuhan serikat pekerja di Indonesia relatif baik dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dari sisi jumlah, serikat pekerja media di Indonesia memang tidak banyak tapi tumbuh, terutama di media-media besar.
Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) mencatat ada 25 serikat pekerja media yang berdiri di beberapa perusahaan media. Tahun ini, tambah lagi satu serikat pekerja perusahaan media daring di Jakarta.
“Jumlah ini memang masih sangat sedikit jika dilihat dari jumlah perusahaan media yang ada di Indonesia,” kata Ketua FSPMI Sasmito.
Keberadaan serikat pekerja media sangat dibutuhkan mengingat begitu banyak kasus ketenagakerjaan terjadi di sejumlah perusahaan media. Tanpa ada serikat pekerja, maka pekerja media kesulitan mendapatkan pendampingan advokasi.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers tahun 2018 mencatat, paling tidak ada delapan perusahaan media yang melakukan pelanggaran jaminan sosial terhadap 15 pekerja media mereka. Pola-pola pelanggarannya hampir sama, yaitu mereka memberikan jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, tetapi tidak memberikan jaminan BPJS Ketenagakerjaan.
Lembaga Bantuan Hukum Pers tahun 2018 mencatat, paling tidak ada delapan perusahaan media yang melakukan pelanggaran jaminan sosial terhadap 15 pekerja media mereka.
”Perusahaan-perusahaan media yang melakukan pelanggaran baru memberikan jaminan BPJS Ketenagakerjaan setelah karyawan mereka mengadukan kasusnya kepada kami dan kami melakukan advokasi,” Nawawi Bahrudin, salah satu pengacara LBH Pers.
Tantangan perusahaan-perusahaan media semakin berat di tengah perubahan pesat industri media di era digital. Apabila para pekerja media tidak memperkuat diri dengan bergabung dalam serikat-serikat pekerja, mereka akan sulit memperjuangkan diri jika sewaktu-waktu mengalami ancaman pemutusan hubungan kerja, pengurangan hak-hak karyawan, dan sengketa ketenagakerjaan lainnya.
Sejak dua tahun terakhir, berdiri empat serikat pekerja media, yaitu Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jawa Tengah, SPLM Sulawesi Utara, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi), SPLM Jakarta, dan Serikat Pekerja Tirto.id.
Lahirnya beberapa serikat pekerja ini tergolong unik karena beberapa di antaranya tak muncul dari sebuah perusahaan tertentu, tetapi merupakan gabungan individu dari sejumlah perusahaan media dan industri kreatif. Ini terjadi karena begitu sulitnya serikat pekerja tumbuh di perusahaan-perusahaan media di Indonesia.