Keterbelahan pilihan akibat adanya dua pasangan calon presiden-calon wakil presiden pada Pemilu 2019 juga berdampak pada preferensi pemilih terhadap partai politik. Muncul resistansi terhadap parpol, yang mau tidak mau menambah beban kerja mereka pada pemilihan umum serentak.
Kondisi ini terutama dirasakan partai-partai politik yang tidak mendapatkan insentif elektoral secara langsung dari dukungan mereka terhadap pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Partai-partai tersebut dilanda kegamangan untuk membagi konsentrasi dan tentu juga logistik; antara memusatkan sumber daya yang ada untuk memenangkan partai di pemilihan anggota legislatif dan upaya memenangkan capres dan cawapres yang didukungnya.
Hal ini berbeda dari partai-partai yang mendapatkan sumbangan elektoral secara langsung dari pemilihan presiden. Hasil survei Kompas merekam bagaimana sosok Joko Widodo selalu diasosiasikan sebagai representasi PDI-P. Hal yang sama juga terjadi pada sosok Prabowo Subianto yang selama ini menjadi ”personifikasi” dari Partai Gerindra. Ada hubungan yang asosiatif antara calon presiden dan tingkat keterpilihan partai dari dua partai ini. Hasil survei Kompas menunjukkan, elektabilitas kedua partai itu berbanding lurus dengan elektabilitas kedua sosok calon presiden yang diusung. Inilah efek ekor jas yang tidak dialami partai politik lain di luar PDI-P dan Gerindra.
Selain itu, partai politik juga dihadapkan pada tantangan penolakan atau resistansi dari pemilih. Pertanyaan soal resistansi dalam survei Kompas ini tidak semata-mata karena mereka sudah memiliki pilihan lain, tetapi sekaligus untuk menguji persepsi mereka terhadap partai politik. Hasilnya, partai-partai politik yang mendukung pasangan calon presiden tertentu cenderung menghadapi resistansi dari pemilih yang mendukung pasangan calon presiden yang berbeda.
Gejala ini terutama terekam di partai-partai politik pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Sebagian besar pemilih yang resistan terhadap partai-partai pengusung Prabowo-Sandi adalah pemilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Sebanyak 5,9 persen responden survei mengaku tidak akan memilih Gerindra. Dari kelompok pemilih yang resistan terhadap Gerindra ini, sebagian besar (77,8 persen) adalah responden pemilih Jokowi-Amin.
Gejala yang sama dialami PKS. Resistansi terhadap partai ini mencapai 3,2 persen. Sebagian besar responden (77,8 persen) yang menolak memilih PKS adalah pemilih Jokowi-Amin. Selain Gerindra dan PKS, sikap serupa ditujukan kepada Demokrat, PAN, dan Partai Berkarya. Ketiga partai lain pendukung Prabowo-Sandi ini mendapatkan resistansi lebih besar dari pemilih Jokowi-Amin.
Sementara itu, responden ”memperlakukan” tidak sama terhadap partai pendukung Jokowi-Amin. Kelompok pemilih Jokowi-Amin hanya cenderung positif kepada PDI-P. Dari 13 persen responden yang menolak memilih PDI-P, hanya 24,7 persen yang berasal dari pemilih Jokowi-Amin. Sisanya, 72,6 persen adalah pemilih Prabowo-Sandi dan 2,7 persen menyatakan belum menentukan pilihan. Tentu ini wajar karena PDI-P dianggap sebagai pengusung utama Jokowi-Amin.
Hal berbeda justru dirasakan beberapa partai pendukung Jokowi-Amin yang lain, seperti Golkar, PKB, PPP, dan Hanura. Keempat partai pendukung ini mengalami resistansi lebih banyak justru dari pemilih calon presiden petahana ini. PKB, misalnya, dari 1,5 persen kelompok responden yang menyatakan tidak akan memilih PKB, sebanyak 73,3 persen di antaranya pemilih Jokowi-Amin.
Partai baru
Sementara itu, ada pola yang menarik yang dijumpai pada partai-partai pendatang baru pada Pemilu 2019. Partai baru ini memiliki pola yang hampir sama terkait resistansi. Hal yang membedakan adalah tingkat penolakannya. Di survei, penolakan pemilih untuk mencoblos partai-partai baru angkanya lebih tinggi dibandingkan elektabilitas yang diraih partai-partai baru ini. Lihat saja, baik Partai Berkarya, Garuda, Perindo, maupun PSI, tingkat resistansi responden justru lebih besar dari tingkat keterpilihan mereka.
Resistansi terbesar di kelompok partai baru dialami Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Di survei ini, angka keterpilihan partai yang identik dengan anak-anak muda milenial ini mencapai 0,9 persen. Namun, tingkat resistansinya berada di angka 5,6 persen.
Jika ditengok rekam jejak pada pemilu-pemilu sebelumnya, keberadaan partai-partai baru tidaklah mudah. Jika partai-partai lama berjuang untuk meraih elektabilitas dan mengurangi resistansi pada dirinya, partai baru lebih dari itu. Mereka ditantang untuk melewati fase pengenalan atau popularitas, lalu akseptabilitas, sebelum kemudian bertarung untuk mendapatkan elektabilitas.
Tentu, pada fase kampanye inilah resistansi terhadap partai, apalagi dikaitkan dengan pemilu yang digelar serentak, akan membayangi peluang mereka meraih elektabilitas.