Jelang Pilpres, Peredaran Hoaks Politik Naik Tajam
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Peredaran hoaks menjelang Pilpres 2019 semakin masif. Platform media sosial yang digunakan sebagai penyebar hoaks didominasi Facebook, diikuti WhatsApp dan Twitter.
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2019 tanggal 17 April 2019, eskalasi peredaran hoaks atau berita bohong naik signifikan. Sepanjang Januari 2019, jumlah hoaks yang beredar naik 20 persen dibanding bulan sebelumnya, dan khusus hoaks politik peningkatannya sangat pesat, yaitu mencapai 60 persen dibanding bulan sebelumnya.
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, jumlah hoaks yang berhasil didata dan diverifikasi selama Januari 2019 mencapai 109 buah di mana 58 di antaranya adalah hoaks seputar politik. Adapun, sepanjang tahun 2018, hoaks yang berhasil dijaring Mafindo mencapai 997 hoaks dan 488 di antaranya bertema tentang politik terutama terkait pemilihan presiden dan wakil presiden 2019.
Melihat tren angka ini, peredaran hoaks-hoaks politik ternyata memang semakin masif menjelang Pemilu 2019. Dari 488 hoaks bertema politik sepanjang 2018, sebanyak 259 di antaranya dibagikan ke warganet antara Juli hingga Desember 2018.
“Tren peredaran hoaks akan cenderung terus naik dengan target sasaran yaitu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 dan 02, serta menyerang legitimasi penyelenggaraan pemilu, mulai dari isu netralitas Komisi Pemilihan Umum dan Kepolisian RI. Bahkan, ada pula masyarakat yang membuat tagar besar ajakan untuk mengundang pemantau independen pemilu dari luar negeri. Ini salah satu bentuk ketidakpercayaan dari publik karena munculnya peredaran hoaks menjelang Pemilu 2019,” kata Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho, Jumat (22/3/2019), di Jakarta.
Tren kenaikan jumlah penyebaran hoaks ini memprihatinkan karena ruang publik khususnya di media sosial dan grup-grup percakapan lebih banyak diisi dengan perdebatan kosong dengan topik hoaks daripada adu argumen tentang program atau pun topik lain yang lebih substansial. Lebih parah lagi, masyarakat tersegregrasi pada kelompok-kelompok tertentu yang masing-masing telah membentengi diri dan sulit menerima kritik atau masukan dari kelompok atau kubu lain.
Masyarakat tersegregrasi pada kelompok-kelompok tertentu yang masing-masing telah membentengi diri dan sulit menerima kritik atau masukan dari kelompok atau kubu lain.
Menurut catatan Mafindo, platform media sosial yang digunakan sebagai penyebar hoaks sejak Juli 2018 sampai dengan Januari 2019 didominasi oleh Facebook diikuti WhatsApp dan Twitter. Sepanjang Juli-Desember 2018, penyebaran hoaks lewat Facebook mencapai 47,43 persen Twitter 8,90 persen, dan WhatsApp 10,87 persen.
Hanya 10 persen terklarifikasi
Proses peredaran hoaks berlangsung sangat cepat dan masif. Sayangnya, klarifikasi berita yang bisa disebarkan untuk menangkalnya masih sangat rendah.
Sebagai gambaran, dari sekitar 10.000 hoaks yang beredar, hanya sekitar 10 persen atau 1.000 di antaranya yang klarifikasinya bisa disebarkan. Penanganan hoaks berbasis cek fakta masih memiliki tantangan karena tingginya polarisasi di masyarakat.
“Meskipun cek fakta sudah dilakukan, ternyata itu tidak cukup. Kita harus mulai melibatkan tokoh-tokoh publik untuk ikut bersuara memerangi hoaks. Salah satu klarifikasi hoaks yang susah dilakukan adalah menembus benteng-benteng echo chamber, kecuali jika ada tokoh-tokoh publik di situ yang bisa dipercaya,” tambah Septiaji.
Demokrasi di Indonesia tidak bisa dibangun di atas perselisihan akibat kebohongan. Karena itu, masyarakat harus berhati-hati sekali agar nantinya tidak semakin terpecah-belah.
Santi Indra Astuti, Ketua Komite Litbang Mafindo menambahkan, masyarakat harus memahami bahwa hoaks sangat berbahaya bagi masa depan bangsa. Selain itu, masyarakat juga harus memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih mana berita yang benar dan yang keliru.
Masyarakat harus memahami bahwa hoaks sangat berbahaya bagi masa depan bangsa.
“Kegiatan pembelajaran melek digital harus dilakukan dengan melibatkan multisektor sebagai bagian untuk meningkatkan ketahanan informasi bangsa. Ini tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah saja, namun menjadi panggilan bagi siapa saja yang tidak ingin negeri ini larut dalam bencana informasi akibat hoaks,” kata dia.
Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, A Setyo Wibowo mengatakan, di era keterbelahan publik akibat kontestasi politik saat ini, opini yang berseliweran di media sosial dan media arus utama seringkali terlampau bersemangat tanpa memedulikan data. Bahkan, sebagian di antaranya justru menciptakan data rekaan.
”Pasca-kebenaran (Post Truth) dan fakta alternatif menjadi mantra untuk menghipnotis publik sehingga masyarakat tidak tahu lagi mana data dan mana hoaks,” ujarnya.
Dalam rangka menjernihkan informasi yang berseliweran di dunia maya dan ruang-ruang publik, Mafindo bersama beberapa media daring yang tergabung di Aliansi Jurnalis Independen dan Asosiasi Media Siber Indonesia, serta didukung Google Initiative, Internews, serta FirstDraft membuat website khusus untuk mengecek kebenaran berita bernama Cekfakta.com. Kolaborasi ini dalam rangka melawan berita bohong atau hoaks yang beredar melalui kerja-kerja jurnalistik.