Kumpulkan 3.000 Aduan Soal Pinjaman Daring, LBH Jakarta Lapor ke Polisi
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — LBH Jakarta melaporkan dugaan tindak pidana yang terjadi saat penagihan utang pinjaman daring ke kantor Kepolisian Daerah Metro Jaya, Sabtu (23/3/2019). Dugaan tindak pidana itu diperoleh dari 3.000 aduan konsumen yang dikumpulkan sejak Mei 2018 hingga akhir Februari 2019.
Pada Sabtu pukul 10.00, 20 korban pinjaman daring berkumpul di depan Gedung Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) kompleks kantor Polda Metro Jaya. Dengan ditemani kuasa hukum dari LBH Jakarta, mereka hendak melaporkan dugaan tindak pidana penagihan utang pinjaman daring ke kepolisian.
Pengacara Publik LBH Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait menjelaskan, ada lima jenis dugaan tindak pidana yang dialami korban.
”Lima dugaan tindak pidana itu adalah ancaman dari pihak penagih utang, fitnah, penipuan, pencurian data pribadi, dan pelecehan seksual,” ujar Jeanny.
Dugaan tindak pidana itu diperoleh dari sekitar 3.000 aduan korban kepada LBH Jakarta sejak Mei 2018 hingga Februari 2019. Aduan itu berasal dari para korban di 34 provinsi di seluruh Indonesia.
Fio (28), salah satu korban, mengungkapkan, dirinya pernah mengalami pelecehan seksual dari pihak penagih utang. Penagih utang itu, lanjut Fio, pernah meminta dirinya berfoto tanpa busana di pinggir rel kereta api agar utangnya dianggap lunas.
Jeanny menjelaskan, para korban adalah peminjam dari aplikasi dan situs teknologi finansial antarpihak yang gagal melunasi utangnya karena bunga yang tinggi serta tenor yang terlalu singkat. Bunga pinjaman bisa mencapai 40-50 persen per bulan dengan tenor 14-30 hari.
”Memang betul bahwa kegagalan membayar utang itu adalah urusan perdata antara pemberi dan peminjam. Namun, saat penagihan utangnya, terjadi dugaan pelanggaran pidana. Ini yang kami minta polisi untuk mengusutnya,” ujar Jeanny.
Perlindungan konsumen
Dihubungi terpisah, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi mengatakan, keputusan LBH Jakarta untuk memproses aduan warga ke polisi perlu dihormati secara hukum. Sebab, bagi OJK, perlindungan dan transparansi menjadi hal yang diprioritaskan bagi konsumen.
”Sebagai negara hukum, semua pihak wajib menghormati tata cara penyelesaian setiap permasalahan hukum. Hal itu juga berlaku dalam penggunaan layanan jasa keuangan berbasis teknologi,” kata Hendrikus.
OJK sebelumnya memberi dukungan penuh bagi Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) agar berperan aktif memahami kebutuhan industri tekfin pinjam-meminjam. OJK mendukung segala kerja sama yang dapat membangun ekosistem ekonomi digital agar semakin sehat.
Sebagai negara hukum, semua pihak wajib menghormati tata cara penyelesaian setiap permasalahan hukum. Hal itu juga berlaku dalam penggunaan layanan jasa keuangan berbasis teknologi.
Ketua Harian AFPI Kuseryansyah mengatakan, asosiasi telah membuat dan menjalankan kode etik operasional yang dijalankan oleh seluruh perusahaan tekfin. Kode etik ini turut mengatur sejauh mana perusahaan dapat mengakses data dari pelanggan.
”Batasan akses itu sudah ada. Misalnya, saat ini perusahaan tekfin hanya dibolehkan mengakses kamera, mikrofon, dan data lokasi dari pelanggan,” kata Kuseryansyah.
Sementara itu, kasus aduan pelanggan dari LBH Jakarta sampai saat ini belum dapat direspons asosiasi. Hal ini karena pihaknya belum mendapat data aduan secara rinci dari LBH Jakarta.
Selama aduan tersebut belum diketahui secara rinci, AFPI tidak bisa melakukan tindak teguran secara sembarangan kepada tekfin tertentu. Namun, ia menjamin bahwa tekfin yang terdaftar di AFPI akan terus dipantau dari sisi penyelenggaraan pinjaman.
”Intinya, kami ingin terus tumbuh dan menjaga keberlangsungan usaha di bisnis tekfin pinjaman. Dengan keinginan ini, tingkat kepuasan layanan juga terus kami dorong,” pungkas Kuseryansyah. (ADITYA DIVERANTA)