Film-film yang dibintangi Benyamin Sueb memiliki daya tarik tersendiri dan digandrungi oleh penonton-penonton fanatik. Kekuatan itu muncul karena di layar lebar Benyamin mampu merepresentasikan dirinya sebagai orang biasa. Dalam dirinya, masyarakat kaum bawah bisa melihat dan menertawakan diri sendiri.
Jika ditilik ke belakang, banyak film-film Benyamin yang menggambarkan keinginan orang udik atau kampung yang terpinggirkan untuk berjuang menghadapi modernitas. Film Benyamin Biang Kerok (1972), misalnya, mengisahkan bagaimana Pengki (Benyamin S), seorang sopir yang berlagak menjadi seorang majikan dengan mobil tuannya merayu gadis-gadis, juga film Benyamin Brengsek (1973) yang menceritakan perjuangan Benyamin merantau ke Jakarta mencari peruntungan dengan menjadi tukang parkir, tukang cukur, pengamen, penjaga kebun binatang, pengayuh becak, bintang film, hingga petinju.
Film-film yang dibintangi Benyamin S pada era 1970-an nyaris sebagian besar berkisah tentang perjuangan seorang masyarakat kelas bawah hidup di tengah impitan dan tantangan Ibu Kota. ”Benyamin adalah representasi orang biasa. Dalam dirinya, orang melihat dan menertawakan diri sendiri. Ia berjuang dari zero to hero. Kadang-kadang kita ingin seperti itu, tetapi sulit dilakukan di dunia nyata,” kata dosen film Universitas Bina Nusantara, Ekky Imanjaya, dalam diskusi film di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (23/3/2019). Selain Ekky, pembicara lainnya adalah Direktur Utama Produksi Film Nasional Abdu Aziz. Diskusi ini dimoderatori BI Purwantari, peneliti Litbang Kompas.
Benyamin adalah representasi orang biasa. Dalam dirinya, orang melihat dan menertawakan diri sendiri. Ia berjuang dari zero to hero.
Banyak isu sosial yang diangkat dalam film-film Benyamin S. Film-film tersebut mewakili suara masyarakat kampung atau udik pada era 1970-an. Tepat pada masa itu, ada semacam kegagapan orang-orang Indonesia dalam memandang modernitas, dan di situlah Benyamin S mewakili semua kegelisahan yang ada.
Keberpihakan Benyamin S terhadap masyarakat kaum bawah tampak kuat dalam karakter budaya Betawi yang dibawakannya. Di sanalah ciri-ciri khas Betawi tampak, mulai dari sikapnya yang egaliter dan tidak ada batas.
Keberpihakan Benyamin S terhadap masyarakat kaum bawah tampak kuat dalam karakter budaya Betawi yang dibawakannya.
”Benyamin sangat kuat mewakili Betawi, ia ikon Betawi. Begitu orang menyebut Betawi, otomatis langsung menunjuk ke Benyamin S, seperti halnya pada film horor, ya Suzanna,” ujar Ekky.
Dalam film-filmnya, Benyamin S mampu menunjukkan diri sebagai putra daerah Betawi yang terpinggirkan. Seperti yang terjadi hingga kini, masyarakat asli Betawi kurang mendapatkan ”kue” pembangunan, dan Benyamin mewakili seluruh masyarakat Betawi yang rata-rata mengalami kenyataan seperti itu.
Kekuatan sosok Benyamin S menjadikan dirinya sebagai ikon pujaan. Tak heran, setelah era Bing Slamet, muncul aktor film yang namanya dimanfaatkan menjadi judul-judul film, yaitu Benyamin S. Banyak sekali film-film Benyamin yang diberi judul dengan nama dirinya, mulai dari Benyamin Biang Kerok (1972), Jimat Benyamin (1973), Benyamin Brengsek (1973), Benyamin Si Abunawas (1974), Benyamin Koboi Ngungsi (1975), dan sebagainya.
Gugatan Benyamin S
Abduh menambahkan, semua film Benyamin S berbicara tentang isu-isu ketertinggalan. Di dalamnya ada reaksi perlawanan terhadap situasi sosial.
”Ternyata apa yang sudah dirintis Benyamin S tidak berlanjut. Seniman-seniman Betawi selanjutnya hanya mengambil sisi-sisi (Benyamin S) yang lebih komersial, mulai dari banyolannya, ketololannya, ke-bloonan-nya, dan sebagainya. Seniman-seniman Betawi berikutnya terjebak pada stereotype-stereotype itu,” paparnya.
Ternyata apa yang sudah dirintis Benyamin S tidak berlanjut. Seniman-seniman Betawi selanjutnya hanya mengambil sisi-sisi (Benyamin S) yang lebih komersial, mulai dari banyolannya, ketololannya, ke-bloonan-nya, dan sebagainya.
Apa yang sudah dimulai oleh Benyamin S, kata Abduh, sebenarnya masih sangat relevan dan kontekstual sekali dengan situasi saat ini. Dari bagaimana dia bersikap dan berakting, Abduh menangkap bagaimana Benyamin S menertawakan sekaligus mempertanyakan untuk siapa sebenarnya modernisasi itu. Sikap-sikap Benyamin S seperti inilah yang membuat banyak orang merasa terwakili oleh penampilan-penampilannya.
”Sosoknya sudah begitu utuh sebagai representasi publik. Kalau dibilang dia merendahkan diri, tidak, karena ini pilihan strategis dari kegeniusannya. Dia lulusan Taman Siswa sehingga memiliki dasar keindonesiaan dan akar tradisi yang kuat,” katanya.
Dengan modal dasar yang kuat, Benyamin S mampu mengoptimalkan semua bakatnya. Ia sukses pada segala sisi, mulai dari menjadi aktor, komedian, penyanyi, sutradara, hingga penulis lagu.
Diskusi film mengupas sosok Benyamin S ini merupakan bagian dari acara putar film Benyamin S dan Pameran Poster Film Indonesia 1970-1990-an yang digelar Bentara Budaya Jakarta pada 22-24 Maret 2019. Pada Minggu (24/3/2019) pukul 13.30-15.30 di Bentara Budaya Jakarta kembali diputar film Benyamin S berjudul Tarzan Kota (1974) yang kemudian disusul dengan pemutaran film Si Doel Anak Modern (1976) pukul 15.30-17.30.