Ujian Dominasi Partai Golkar
Sejak reformasi, belum ada partai politik lain selain Golkar yang bisa terus-menerus bertahan di puncak klasemen perolehan suara. Namun, rekor beruntun itu akan diuji pada kontestasi Pemilihan Umum 2019. Efek ekor jas yang kurang maksimal, pusaran kasus korupsi yang membelit para elitenya, serta dinamika internal partai menjadi ujian terhadap dominasi Golkar di panggung politik nasional.
Selasa sore yang teduh, 17 Mei 2016, mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto melepas lelah di salah satu ruangan di Villa Mansion The Mulia Hotel and Resort Nusa Dua, Bali. Hari itu, Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar baru berakhir, yang hasilnya memberi mandat kepada Novanto menjadi ketua umum partai, menggantikan Aburizal Bakrie.
Novanto saat itu tengah melayani permintaan wawancara dengan sejumlah wartawan. Dalam perbincangan, mengemuka topik tentang figur yang akan diusung Golkar pada Pemilu 2019. Saat itu belum ada satu partai pun yang menentukan arah dukungan, termasuk PDI-P sebagai partai asal Presiden Joko Widodo. Wacana kembali maju pada pilpres saat itu, bahkan belum dilontarkan Jokowi.
Namun, Novanto dengan yakin mengatakan, Golkar akan mendukung Jokowi pada Pemilu 2019. ”Kami akan dukung kalau orangnya Pak Jokowi, kami pikir masih dia yang terbaik,” ujar Novanto.
Hanya beberapa hari setelah itu, Golkar resmi mendeklarasikan dukungan kepada Jokowi dalam rapat pimpinan nasional. Sejumlah pihak menganggap keputusan itu terlalu dini. Namun, langkah ”curi start” itu dipandang Golkar sebagai strategi menyongsong pemilu serentak. Sosok Jokowi diharapkan bisa membawa efek ekor jas (coattail effect) bagi Golkar saat pemilihan legislatif.
Kini, pemungutan suara Pemilu 2019 tinggal 18 hari. Berbagai hasil survei menunjukkan, strategi yang disiapkan Golkar itu ternyata belum berbalas. Efek elektoral dari Jokowi belum banyak berimbas ke Golkar, dan lebih banyak diserap PDI-P sebagai partai asal Jokowi. Hasil survei Litbang Kompas, 22 Februari-5 Maret 2019, dengan margin of error +/- 2,2 persen, elektabilitas Golkar ada di angka 9,4 persen.
Elektabilitas Golkar memang menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan survei terakhir pada Oktober 2018, di angka 6,2 persen. Namun, dalam berbagai hasil survei akhir-akhir ini, Golkar yang pada Pemilu 2014 ada di urutan kedua mulai bergeser ke urutan ketiga, di bawah PDI-P dan Gerindra. Kedua partai itu dinilai mendapat efek ekor jas dari pencalonan Jokowi dan Prabowo Subianto.
Sejak reformasi, Golkar tidak pernah bergeser dari posisi pertama atau kedua. Pada Pemilu 1999, Golkar ada di posisi kedua setelah PDI-P. Pemilu 2004, Golkar menduduki urutan pertama, disusul PDI-P. Golkar kembali ke posisi kedua setelah Demokrat pada Pemilu 2009. Terakhir, Pemilu 2014, Golkar tetap di urutan kedua setelah PDI-P.
Capaian itu adalah rekor tersendiri sebab tidak ada partai lain yang bisa mempertahankan posisi di dua urutan teratas selama empat pemilu berturut-turut pascareformasi.
Lintas periode, Golkar pun terus membuktikan dominasinya di peta perpolitikan nasional. Berbagai pengambilan keputusan penting di Parlemen kerap bergantung pada kelihaian elite-elite Golkar dalam berpolitik. Golkar, yang tidak pernah jauh dari lingkaran kekuasaan, juga memiliki banyak elite berpengaruh di lingkaran inti pemerintah.
Lintas periode, Golkar pun terus membuktikan dominasinya di peta perpolitikan nasional. Berbagai pengambilan keputusan penting di Parlemen kerap bergantung pada kelihaian elite-elite Golkar dalam berpolitik. Golkar, yang tidak pernah jauh dari lingkaran kekuasaan, juga memiliki banyak elite berpengaruh di lingkaran inti pemerintah.
Pada Pemilu 2019 ini, daya tahan dan dominasi Golkar sebagai partai senior diuji. Golkar harus bersaing dengan Gerindra, partai yang relatif baru, yang mendapat efek ekor jas dari pencalonan Prabowo. Selisih elektabilitas keduanya pun masih cukup terpaut jika mengacu pada hasil survei Litbang Kompas terakhir, yakni sebesar 8 persen.
Empat tahun terakhir ini, Partai Golkar menghadapi situasi yang pelik akibat berbagai masalah internal, dari dualisme kepemimpinan di tubuh partai pasca-Pemilu 2014 hingga kasus korupsi KTP elektronik yang menjerat Setya Novanto.
Berbagai dinamika itu berimbas pada pergantian ketua umum hingga lima kali dalam kurun waktu 3,5 tahun. Elektabilitas Partai Golkar pun sempat mengalami penurunan tajam. Tokoh senior Golkar yang juga Wakil Presiden Jusuf Kalla sampai berguyon, partainya dapat meraih rekor dunia karena itu.
Daya tahan
Meski jalan ke depan tidak mudah, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, saat diwawancarai pada Rabu (27/3/2019), mengatakan, Golkar memiliki daya tahan yang tinggi. Golkar, ujarnya, sudah melewati berbagai ”badai” sejak reformasi hingga hari ini. Namun, partai itu selalu bisa menegaskan dominasi dan kiprahnya.
Ketika Soeharto mengakhiri rezim 32 tahunnya dan melepas jabatan presiden, 21 Mei 1998, banyak yang mengira, itu pula akhir Golkar. Namun, Golkar tetap berjaya di urutan kedua pada Pemilu 1999, pemilu pertama pascareformasi yang diikuti 48 partai politik.
Tidak lama kemudian, pada 2002, dua tahun menjelang pemilu, Ketua Umum Partai Golkar saat itu, Akbar Tandjung, tersandung kasus korupsi. Nasib elektabilitas Golkar pada pemilu pun sempat diragukan. Namun, lagi-lagi, Golkar lolos dari badai. Pada Pemilu 2004, Golkar menjadi partai pemenang.
”Tidak banyak partai tengah yang bisa mempunyai kekuatan dan daya tahan seperti Golkar. Akar partai Golkar ini sudah terlalu dalam menancap. Saya yakin, Golkar akan tetap ada di puncak klasemen,” ujar Airlangga.
Pada Pemilu 2019, Golkar mematok target 110 kursi DPR RI, naik dari kondisi sekarang 91 kursi DPR RI. Airlangga optimistis, target itu bisa dicapai. Elektabilitas Golkar saat ini terus menunjukkan tren naik meski sempat turun cukup drastis pada pertengahan 2017.
Ia meyakini, Golkar akan tetap unggul dengan keunggulan pengalaman yang matang, jaringan kuat, dan figur calon anggota legislatif yang militan berkampanye dan lihai berpolitik.
Golkar juga terus menggaungkan citra sebagai partai modern yang maju serta bersih. Citra bersih ini ditampilkan untuk ”membersihkan” persona partai dari elite-elitenya yang terjerat kasus korupsi.
”Pemilu ini bukan bertolak dari titik survei, melainkan di kotak suara. Kami akan memberi kejutan, tinggal ditunggu saja tanggal mainnya,” kata Airlangga.
Pengalaman Golkar sebagai partai senior yang sudah dikenal banyak orang serta budaya demokratis di tubuh partai itu membuat Golkar selalu bisa mengejar dinamika perkembangan zaman. Tetesan efek ekor jas yang tidak maksimal, menurut dia, tidak jadi soal.
”Karena, memang sudah pasti asosiasi publik terkait capres itu pasti ke partai asalnya. Tetapi, partai yang punya jaringan kuat dan jam terbang tinggi ini hanya segelintir. Dan di sebagian daerah, jika dilihat, Golkar masih cukup unggul, jadi efek ekor jas ini sebenarnya tidak terlalu kentara,” kata Airlangga.
Akankah Golkar membuktikan daya tahannya atau mengakhiri rekor dan membuat sejarah baru? Jawaban untuk itu akan menunggu dalam waktu 18 hari lagi.