Pencemaran Udara Turunkan Angka Harapan Hidup 1,2 Tahun
JAKARTA, KOMPAS — Laporan terbaru Air Quality Life Index (AQLI) oleh Energy Policy Institute at the University of Chicago memberi harapan bahwa angka harapan hidup orang Indonesia bisa ditingkatkan melalui perbaikan kualitas udara. Dalam laporan itu disebutkan, pencemaran udara menurunkan rata-rata angka harapan hidup orang Indonesia sekitar 1,2 tahun.
Perbaikan kualitas udara tersebut bisa dicapai dengan melakukan berbagai perbaikan regulasi pengelolaan kualitas udara ataupun penegakan hukum. Hal ini bisa menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan untuk menakar antara manfaat dan dampak pada lingkungan serta manusia ataupun pertumbuhan ekonomi.
Laporan yang disusun Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) itu berjudul Indonesia’s Worsening Air Quality and its Impact on Life Expectancy (update March 2019). Para peneliti membandingkan kualitas udara daerah-daerah di Indonesia dengan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait polusi partikulat halus (PM2,5).
”Indonesia sudah mengambil langkah penting untuk mengurangi polusi. Saat telah bergerak maju, perhitungkan semua biaya dan manfaat kebijakan sebelum menetapkan dan memastikan semua batasannya terpantau dan ditegakkan dengan hati-hati dalam menempuh jalan panjang menuju peningkatan kualitas udara,” kata Michael Greenstone, Milton Friedman Professor in Economics dari Universitas Chicago, merespons wawancara Kompas melalui surat elektronik, Sabtu (30/3/2019).
Friedman menciptakan AQLI bersama rekan-rekannya di EPIC sejak November 2018. Indeks ini dibangun bukan saja untuk menunjukkan kerusakan yang disebabkan oleh polusi, melainkan juga menginformasikan keuntungan yang diperoleh dari kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Hal ini bisa menjawab tantangan negara-negara yang menghadapi pertumbuhan ekonomi sekaligus dihadapkan pada perlindungan lingkungan dan kesehatan publik.
AQLI menunjukkan bahwa polusi partikulat di Indonesia mulai muncul menjadi masalah sejak 1998. Mulai tahun tersebut hingga 2016, konsentrasi polusi partikulat meningkat 171 persen, membuat negara Indonesia menjadi salah satu dari dua puluh negara berpolusi tertinggi di dunia. Peningkatan yang tajam terjadi beberapa tahun terakhir, dengan peningkatan polusi lebih dari dua kali lipat hanya dari tahun 2013 ke 2016.
Dalam laporan itu disebutkan, salah satu rekomendasi adalah memperketat regulasi pembatasan polusi udara pada cerobong asap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara. Pembakaran batubara tersebut mengemisikan karbon hitam (bentuk dari partikulat halus), sulfur dioksida (SO2), dan nitrogen oksida (NO2) yang akan bereaksi dengan material di atmosfer menjadi partikulat halus.
Dalam laporan itu disebutkan, salah satu rekomendasi adalah memperketat regulasi pembatasan polusi udara pada cerobong asap PLTU berbahan bakar batubara.
Meskipun pembangkit listrik dari batubara meningkat lebih dari dua kali lipat sejak 2010 untuk memenuhi permintaan energi yang meningkat, peraturan tentang emisi pabrik batubara masih kurang ketat dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Sebagai contoh, batas konsentrasi PM, SO2, dan NOx dalam emisi pabrik batubara Indonesia 3 hingga 7,5 kali lebih tinggi (lebih longgar) dibandingkan dengan aturan di China dan 2-4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan pembangkit listrik di India yang dibangun pada 2013-2016.
Tahun 2016, sekitar 80 persen penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 250 juta tinggal di wilayah dengan rata-rata tingkat polusi partikulat tahunan melampaui pedoman WHO. Di Jakarta, kawasan yang ditinggali lebih dari 10 juta orang, rata-rata penduduk akan hidup 2,3 tahun lebih cepat (singkat) jika tingkat polusi yang tinggi ini terus berlanjut dibandingkan jika pedoman WHO dapat dipenuhi. Di Sumatera Selatan, penduduk kota Palembang rata-rata kehilangan 4,8 tahun harapan hidup dan penduduk di Kabupaten Ogan Komering Ilir kehilangan 5,6 tahun harapan hidupnya.
Di Jakarta, kawasan yang ditinggali lebih dari 10 juta orang, rata-rata penduduk akan hidup 2,3 tahun lebih cepat (singkat) jika tingkat polusi yang tinggi ini terus berlanjut.
”Kebijakan Indonesia yang kuat untuk mengurangi polusi udara partikulat dapat membuat orang bisa hidup lebih lama dan memiliki kehidupan yang lebih sehat,” katanya.
Dalam laporannya, AQLI juga menyinggung langkah-langkah positif Indonesia dalam menekan kejadian kebakaran hutan dan lahan pasca-2015. Hal itu, di antaranya, memperpanjang moratorium izin hutan serta pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG).
Namun, di sisi lain, upaya Indonesia untuk meningkatkan standar baku mutu emisi pada PLTU berbahan bakar batubara belum selesai. Kebijakan untuk merevisi aturan yang telah berusia lebih dari 10 tahun tersebut mendapatkan respons pro dan kontra. Disebut lagi dalam laporan, apabila revisi tersebut dilakukan, standar baku mutu emisi di Indonesia tak akan lebih ketat dibandingkan China dan India.
AQLI berdasarkan pada studi perbandingan di mana Greenstone dan rekan penulisnya melakukan penelitian di China berdasarkan Huai River Winter Heating Policy. Eksperimen tersebut memungkinkan mereka untuk mengisolasi dampak polusi udara dari faktor lain yang memengaruhi kesehatan, dan melakukan hal tersebut pada konsentrasi yang sangat tinggi yang terjadi di China, India, Thailand, Indonesia, dan negara-negara lain saat ini.
Tahap penyusunan
Dikonfirmasi terkait laporan ini, Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dasrul Chaniago mengatakan, tidak ada kota megapolitan dan metropolitan di dunia yang memiliki angka PM2,5 seperti standar WHO (tahunan 10 mikrogram per meter kubik dan harian 25 mikrogram per meter kubik). Ia mengatakan, regulasi PM2,5 di Indonesia dalam pengukuran indeks standar pencemaran udara (ISPU) masih dalam tahap penyusunan.
Namun, Indonesia telah memiliki baku mutu PM2,5, yaitu 15 mikorgram per meter kubik (tahunan) dan 65 mikrogram per meter kubik (harian). Alasan baku mutu tidak ditingkatkan pada standar WHO, menurut dia, karena standar WHO tersebut ibaratnya visi misi dalam Pembukaan UUD yang menjadi high call atau angka ideal untuk dicapai.
Indonesia telah memiliki baku mutu PM2,5, yaitu 15 mikorgram per meter kubik (tahunan) dan 65 mikorgram per meter kubik (harian).
Terkait angka harapan hidup, Dasrul mengatakan bahwa faktor lain, seperti pemenuhan gizi, juga berpengaruh. Karena itu, ia heran di Sumatera Selatan malah angka kehilangan harapan hidup mencapai lima tahun. Diduga hal ini bersumber dari asap kebakaran hutan dan lahan. Dasrul mengatakan, ”Tidak tiap hari ada kebakaran dan kabut asap, kan, di Sumatera.”
Friedman mengakui, Jakarta tak sendirian dalam pertarungannya melawan polusi udara. Di pusat kota di seluruh dunia, aktivitas komersial dan konsumsi energi tingkat tinggi menyebabkan peningkatan emisi polusi. Karena itu, pembuat kebijakan nasional dan lokal menghadapi tantangan berat untuk menyeimbangkan kebutuhan energi yang terjangkau dan andal dengan kebutuhan untuk meminimalkan biaya kesehatan akibat polusi.
Ia menekankan agar pengambil kebijakan dengan hati-hati menimbang biaya dan manfaat dalam menerapkan kebijakan yang efektif dari sisi keterjangkauan harga dan kebersihan udara. Disebutkan, kota terpadat di dunia, Tokyo, memiliki tingkat polusi partikulat 13 mikrogram per meter kubik yang hanya sedikit melebihi tingkat aman WHO 10 mikrogram per meter kubik.
Perhitungannya, partikulat memotong polusi hanya 3 bulan dari kehidupan rata-rata penduduk Tokyo, berbeda dengan 2,3 tahun di Jakarta. Warga Manila, Karachi, dan Bogota, semuanya kehilangan harapan hidup kurang dari 6 bulan pada tingkat polusi udara saat ini.