Situasi yang dikhawatirkan sebelumnya kini benar-benar terjadi. Harga gabah terus turun seiring meluasnya area panen padi musim tanam rendeng 2018/2019. Guyuran hujan dan genangan di area persawahan sejumlah wilayah melengkapi derita petani. Harga gabah terjerembab jauh di bawah ongkos produksi. Petani merugi.
Harga rata-rata gabah kering panen (GKP) di tingkat petani, mengutip laporan yang disampaikan Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) akhir pekan lalu, sudah mencapai Rp 3.300-4.000 per kilogram (kg) di Aceh, Rp 3.500-Rp 3.700 per kg di Nusa Tenggara Barat, sementara di Jember, Jawa Timur, jauh lebih rendah, yakni Rp 2.700-Rp 2.900 per kg.
Data lain yang dirangkum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) dari 46 kabupaten sentra produksi padi di 12 provinsi menunjukkan, harga rata-rata GKP pada Maret 2019 mencapai Rp 3.982 per kg. Angka itu turun dibandingkan rata-rata pada Februari 2019 yang Rp 4.521 per kg atau Januari 2019 yang masih Rp 5.191 per kg.
Sejumlah pihak telah berulang menyampaikan perlunya menaikkan harga pembelian pemerintah atau HPP.
Padahal, sejumlah penelitian tentang ongkos produksi menunjukkan, biaya produksi padi umumnya telah lebih dari Rp 4.100 per kg. Menurut penelitian AB2TI, ongkos produksi padi pada September 2016 telah mencapai Rp 4.199 per kg GKP, sementara pada Januari 2018 naik lagi jadi Rp 4.286 per kg GKP.
Kalangan petani, akademisi, dan pengamat pertanian telah berulang menyampaikan perlunya menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP), angka patokan yang menjadi acuan untuk mengamankan harga di tingkat petani. Sebab, HPP yang berlaku saat ini sudah tertinggal, yakni mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 yang ditetapkan Maret 2015.
Ongkos produksi cenderung terus naik, sementara angka HPP bergeming empat tahun terakhir. Pemerintah memang beberapa kali melenturkan harga pembelian agar Perum Bulog leluasa menyerap gabah/beras petani. Namun, fleksibilitas itu tidak cukup signifikan mendongkrak penyerapan.
Pada panen kali ini, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menetapkan fleksibilitas penyerapan gabah/beras hingga 10 persen di atas HPP. Harapannya, penyerapan lebih optimal dan berdampak bagi stabilitas harga di tingkat produsen.
Akan tetapi, bagaimana realisasinya? Sampai Sabtu (23/3/2019), menurut Badan Ketahanan Pangan, realisasi penyerapan oleh Bulog baru mencapai 40.955 ton setara beras. Padahal, Bulog diharapkan dapat menyerap setidaknya 1,4 juta ton dari panen musim tanam rendeng. Artinya, realisasi penyerapan baru sekitar 3 persen dari target.
Benarkah harga gabah masih di atas HPP? Jika merunut pemberitaan media dan laporan dari beberapa daerah, tak sedikit petani yang terpaksa menjual gabahnya di bawah ongkos produksi yang sekitar Rp 4.200 per kg GKP, bahkan di bawah HPP yang masih Rp 3.700 per kg GKP. Lalu, soal kualitas gabah jadi "kambing hitam", wajar harga anjlok karena mutunya rendah.
Setelah hampir empat bulan bersusah payah mengeluarkan modal, merawat tanaman, dan mengupayakan panen dan pascapanen sebaik-baiknya, layakkah petani diganjar dengan harga murah? Dengan HPP yang lebih rendah dari ongkos produksi? Bukankah kepada mereka masa depan pangan kita bergantung?
Harga anjlok saat panen raya masih saja dianggap lumrah. Padahal, situasi itu sebenarnya menunjukkan kegagalan fungsi stabilisasi harga. Padahal, Undang-undang 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah memberi amanat secara eksplisit, pemerintah wajib menstabilkan pasokan dan harga pangan pokok di tingkat produsen untuk melindungi pendapatan dan daya beli petani.