JAKARTA, KOMPAS — Teror bertubi-tubi ke Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK sejak lembaga itu berdiri tahun 2002 disinyalir merupakan bagian dari serangan balik koruptor. Kini, dengan KPK terus bekerja memberantas korupsi, serangan berpotensi kembali terulang. Oleh karena itu, perlindungan KPK penting untuk menjadi perhatian negara, kepolisian, dan KPK sendiri.
Persis dua tahun lalu atau 11 April 2017, penyidik KPK, Novel Baswedan, diserang dengan air keras oleh orang tak dikenal. Kemudian, teror terakhir terjadi awal 2019 saat kediaman Ketua KPK Agus Rahardjo dikirim bom pipa palsu, serta kediaman komisioner KPK, Laode M Syarif, diserang dengan bom molotov.
Wadah pegawai KPK bahkan menyebut, sejak KPK berdiri, ada setidaknya 10 rangkaian teror yang tak hanya menyerang pimpinan dan pegawai KPK. Mulai dari aksi penculikan, perampasan perlengkapan penyidikan, ancaman bom, hingga percobaan pembunuhan. Hampir semuanya disebut, selalu berkait erat dengan perkara yang sedang ditangani korban teror.
Novel Baswedan dalam wawancara dengan Kompas, Rabu (10/4/2019), bahkan menyebut, pascakejadian yang menimpa dirinya, dia masih kerap diancam untuk dibunuh. Ancaman disampaikan melalui surat kaleng. Surat kaleng ini tak hanya sekali, tetapi berulang kali. ”Ya, saya diancam sampai mau dibunuh beberapa kali lewat surat kaleng,” katanya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mempertanyakan perlindungan hukum bagi KPK. Sebagai lembaga negara, perlindungan yang lebih ketat seharusnya tersedia.
”Apakah di internal KPK ada SOP internal terkait dengan perlindungan hukum? Pasti ada? Tetapi, bagaimana mekanismenya, ini perlu dipertanyakan. KPK sudah kebobolan berkali-kali. Perlawanan balik oleh para koruptor nyata adanya,” kata Wana, di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
KPK memiliki wewenang untuk membuat mitigasi pengamanan, bekerja sama dengan unsur kepolisian. Ketika teror berulang kali dihadapi oleh pimpinan ataupun pegawai KPK, seharusnya KPK melakukan evaluasi berkesinambungan untuk memperketat pengamanan. Tidak hanya itu, perekrutan personel keamanan juga menjadi hal krusial.
”Ketika KPK membutuhkan tambahan personel keamanan, pimpinan harus melakukan mekanisme perekrutan yang jelas dan melalui mekanisme yang sudah ada. Harapannya, agar orang-orang yang direkrut KPK untuk melakukan pengamanan tidak berpotensi untuk melakukan mala-administrasi, seperti membocorkan informasi sehingga pengamanan longgar,” ujarnya.
Selain internal KPK, menjadi tugas kepolisian untuk melindungi KPK. Ketika teror berulang kali dihadapi oleh pimpinan ataupun pegawai KPK, seharusnya kepolisian inisiatif memperketat pengamanan.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril, menambahkan, Presiden juga seharusnya memberi perhatian atas teror yang terus terjadi kepada KPK. Kepolisian berada di bawah komando Presiden. Dengan demikian, Presiden seharusnya mengeluarkan instruksi yang tegas dan terang kepada kepolisian untuk menjaga KPK.
”Apalagi janji pertama Jokowi-Jusuf Kalla dalam Nawacita adalah menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara,” ujarnya.
Perbaikan pengamanan terhadap pimpinan dan pegawai KPK, juga perhatian dari Presiden, penting karena bukan tidak mungkin serangan balik oleh koruptor kembali terjadi. Terlebih jika melihat KPK tak henti-hentinya menangkap koruptor.
Para koruptor yang ditangkap, seperti diketahui, berlatar belakang sebagai penyelenggara negara dan pengusaha. Dengan demikian, mereka memiliki kekuasaan dan jaringan untuk melawan upaya pemberantasan korupsi oleh KPK.
”Selain serangan fisik, seperti yang beberapa kali dialami oleh penyidik KPK, serangan untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi juga dalam bentuk kriminalisasi pimpinan KPK, penghilangan barang bukti, hingga usaha mempreteli kewenangan KPK melalui upaya revisi undang-undang,” tuturnya.