Seorang lelaki dan seorang perempuan itu berusia kurang dari 30 tahun. Pasangan suami-istri ini serius mendengarkan penjelasan staf pemasaran Pakuwon Group Expo, pameran produk properti di Pakuwon Mall, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (16/3/2019). Tangan mereka memegang brosur penjualan apartemen dan rumah yang sedang diminati.
”Kami baru menikah dan ingin beli properti,” ujar sang pria yang menolak ditulis namanya. Sosok gagah, berambut pendek, berkulit putih, berpakaian casual itu datang bersama istri atas permintaan orangtua guna mencari rumah atau apartemen tipe mewah sebagai hadiah pernikahan. Tampaknya mereka lebih tertarik dengan rumah dua lantai dengan garasi minimal untuk dua mobil.
Di Surabaya, ada kalangan tertentu yang biasanya membelikan properti sebagai hadiah bagi anak-anak mereka yang baru menikah. Bahkan, apartemen atau rumah yang diberikan tergolong mewah untuk ukuran keluarga baru. Hadiah itu bisa untuk ditempati, tetapi bisa juga menjadi investasi di masa depan.
Surabaya kerap dijadikan palagan pertarungan para gergasi properti nasional. Keberadaan Ciputra, Mayapada, Intiland, Lippo, dan Pakuwon menjadi bukti sengitnya perebutan kue properti di ”Kota Pahlawan” ini. Ciputra dan Pakuwon bermain di semua lini: perumahan, apartemen, perkantoran, dan pusat belanja. Sementara Mayapada, Intiland, dan Lippo menghadirkan gedung-gedung tinggi untuk apartemen, perkantoran, atau mal.
Pada 2005, di Surabaya, masih bisa didapat rumah baru pada tanah seluas 72 meter persegi hingga 84 meter persegi bernilai maksimal Rp 250 juta. Namun, lewat sedasawarsa kemudian, rumah baru pada tanah seluas 60 meter persegi tembus Rp 1 miliar yang jika ada, jumlah terbatas dan cepat habis dibeli ibarat penganan goreng.
Harga apartemen tipe studio (29 meter persegi) sudah di atas Rp 600 juta per unit. Harga tanah sudah bikin sakit kepala. Di Gubeng, misalnya, seluas 1.000 meter persegi lahan bekas bongkaran rumah ditawarkan senilai Rp 60 miliar atau Rp 60 juta per meter persegi.
Menyingkir ke tepi, ternyata ”dikuasai” para raksasa. Di bagian barat ada Ciputra. Di sektor timur ada Pakuwon. Kompleks mereka megah, mewah, dan wah. Memang di sekitar perumahan mewah, laksana jamur, ada kompleks-kompleks hunian berskala kecil, tetapi harganya telah berkisar Rp 600 juta-Rp 1 miliar, sungguh menciutkan nyali mereka yang berpenghasilan terbatas.
Sebagian kaum ekonomi pas-pasan terpaksa menyingkir ke Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan akhir-akhir ini hingga di Bangkalan, di mana harga properti masih terjangkau isi kocek.
Melihat dan menunggu
Commercial Director Pakuwon Group Sutandi Purnomosidi mengatakan, triwulan pertama merupakan waktu tepat untuk membeli produk hunian. Alasannya, suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) masih rendah atau malah ada yang berani menawarkan satu digit. Selain itu, loan to value (LTV) dan berbagai bonus dari pengembang dan perbankan.
Secara umum, dunia properti itu wait and see (melihat dan menunggu).
Harga properti di atas Rp 10 miliar, konsumen menimbang dengan saksama. Pengembang juga melihat dan menunggu respons. Jika ada ceruk pasar, pembangunan segera diwujudkan. Namun, untuk properti bernilai di bawah Rp 5 miliar, pasar bergairah meski konsumennya terbatas dari kelompok berpunya. Produk bernilai kurang dari Rp 1 miliar biasanya ludes sebelum pameran berakhir yang biasanya apartemen tipe studio.
General Manager Finance Pakuwon Group Fenny Loisa menambahkan, untuk tahun lalu, kontribusi terbesar penjualan properti kelompok dari Surabaya ini disumbang oleh apartemen (65 persen). Berikutnya adalah rumah (28 persen). Sisanya yang 7 persen dari penjualan unit perkantoran. Tahun lalu, gergasi properti ini membukukan catatan penjualan Rp 2,2 triliun. Target yang sama atau setidaknya sedikit lebih tinggi coba diwujudkan di Tahun Babi Tanah ini.
Karena tahun ini bertepatan dengan momen kontestasi politik, sampai dengan triwulan kedua atau semester satu, penjualan properti boleh jadi tertahan. Konsumen mungkin masih perlu melihat situasi perekonomian, terutama setelah Pemilihan Umum 2019 terlaksana. Jika perekonomian bergeming alias stabil, konsumsi hunian diyakini akan bergairah.
Associated Director PT Ciputra Surya Tbk Andy Soegiardjo mengatakan, pembeli properti di Surabaya meminati produl di kisaran harga Rp 1,5 miliar-Rp 3 miliar. Konsumen mayoritas membeli properti untuk ditinggali. Bukan sekadar investasi kecuali yang sudah punya beberapa properti lainnya.
Karena banyak end user dan pembelian memanfaatkan skema KPR, kami menggaet konsumen dengan promosi bunga murah atau subsidi sampai 3,5 persen per tahun.
Tahun ini, Ciputra menargetkan mampu mendapatkan Rp 650 miliar dari CitraLand Surabaya, Rp 250 miliar dari CitraGarden dan CitraHarmoni Sidoarjo, dan Rp 105 miliar dari The Taman Dayu Pasuruan. Kelompok Ciputra sebagai pemegang land bangking terbesar di Jatim masih optimistis tahun ini penjualan hunian mereka tetap bagus.
Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata dalam resepsi perayaan hari ulang tahun ke-47 REI, Minggu (24/3/2019), di Surabaya, mengatakan, perumahan merupakan kebutuhan primer masyarakat. REI juga terlibat dalam program pemerintah membangun rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Wakil Ketua Umum REI Adri Istambul menambahkan, pasar rumah tapak saat ini didominasi pasangan baru atau karyawan dengan masa kerja kurang dari tiga tahun. Dengan harga rumah yang tinggi, termasuk di Surabaya, kaum milenial yang lahir setelah 1990 mungkin lebih cocok memilih hunian vertikal. Masih ada apartemen dengan harga Rp 15 juta per meter persegi meski lokasi tidak di jantung kota.
Selain itu, sejumlah pengembang di Surabaya menemukan trik khusus untuk membangun rumah tapak dengan harga terjangkau. Misalnya, memasarkan rumah 30 meter persegi pada tanah berstatus petok D di Kenjeran. Pembelian bukan menggunakan skema KPR, melainkan mencicil ke pengembang dengan menggandeng koperasi. Harga rumah sekitar Rp 250 juta dan dipandang terjangkau untuk konsumen berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan.