Kehendak positif publik untuk mengawal pemilu agar berjalan jujur dan adil tak selamanya mudah. Bahkan saat mereka baru mulai bergerak, fitnah dan kabar bohong sudah menghadang.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Panitia Pemungutan Suara mencatat hasil pencoblosan surat suara saat simulasi Pemilu 2019 di Jakarta, Sabtu (6/4/2019). Gerakan Kawal Pemilu mencoba mengawal proses penghitungan suara dengan menabulasikan perolehan suara yang tercatat di dokumen C1 plano.
Partisipasi masyarakat untuk mengawal Pemilu 2019 bermunculan. Hal itu merupakan satu hal yang positif karena demokrasi yang berkualitas memang menuntut tanggung jawab bersama. Namun, kehendak positif publik untuk mengawal pemilu agar berjalan jujur dan adil itu tak selamanya mudah. Bahkan saat mereka baru mulai bergerak, fitnah dan kabar bohong sudah menghadang.
Salah satunya menimpa gerakan Kawal Pemilu Jaga Suara 2019. Baru saja gerakan yang diinisiasi sejumlah kelompok masyarakat sipil ini mengumumkan akan memantau penghitungan hasil pemilu, dan untuk kepentingan itu mereka berencana merekrut sukarelawan, kabar tak sedap langsung menerpa.
Di sejumlah platform media massa, Kawal Pemilu disebut lahir untuk memenangkan salah satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden. Gerakan itu dituding akan memanipulasi formulir C1 yang memuat hasil penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS)—yang dikirimkan oleh petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah, dan lalu memasukkan gambar hasil manipulasi ke server KPU.
Dengan demikian, publik nantinya akan disajikan hasil penghitungan suara di TPS yang telah dimanipulasi.
Si ”penyerang” menuding, praktik serupa telah dilakukan Kawal Pemilu di Pemilu Presiden 2014.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Penggagas situs kawalpemilu.org, Ainun Nadjib, menjelaskan mengenai sistem dan cara kerja situs tersebut dalam tabulasi suara Pemilu Presiden 2014 di Kantor Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Selasa (5/8/2014). Ainun menjelaskan, pembuatan situs itu untuk menghindari perpecahan bangsa yang disebabkan perbedaan dukungan terhadap capres-cawapres.
”Hoaks itu. Saya kadang sampai terkagum-kagum dengan kreativitas para hoaxer ini,” ujar penggagas kawalpemilu.org, Ainun Najib, saat dihubungi dari Singapura, Selasa (9/4/2019) malam.
”Mungkin hoaxer itu bisa jadi sutradara film dengan skenario itu,” kata Ainun saat conference call bersama penggagas kawalpemilu.org lainnya.
Selain Ainun, hadir pula Elina Ciptadi, bertempat tinggal di Singapura, serta Ruli Achdiat yang bekerja dan berdomisili di London, Inggris.
Ainun yang sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan teknologi di Singapura itu mengungkapkan, fitnah dan kabar bohong yang menerpa Kawal Pemilu saat ini, pernah terjadi menjelang Pemilu Presiden 2014.
Di 2014, Kawal Pemilu memang sudah muncul. Saat itu, mereka hanya membaca hasil scan formulir C1 yang diunggah oleh KPU kemudian menabulasikannya. Tidak mungkin bagi Kawal Pemilu bisa mengambil data C1 yang diunggah oleh KPU. Apalagi sampai memanipulasi data tersebut.
Selain itu, penghitungan suara yang sah menurut undang-undang adalah penghitungan suara secara manual, bukan berdasarkan C1 yang diunggah oleh KPU. Maka, kalaupun C1 yang diunggah ke situs KPU dimanipulasi, suara di dalamnya tidak akan ikut dihitung saat penghitungan suara.
Kemudian jika disebut Kawal Pemilu akan mengulang praktik curang di 2014, pandangan itu jelas keliru. Pasalnya, sistem di Pilpres 2019 sudah diubah.
Di 2019, mereka mencoba mengumpulkan hasil pemungutan suara langsung dari sumbernya, yaitu di TPS. Makanya, mereka mengajak masyarakat terlibat menjadi sukarelawan Kawal Pemilu dengan mengunggah foto hasil penghitungan suara di TPS-TPS ke situs kawalpemilu.org.
”Kami akan mengawal pemilu dengan foto C1 plano yang masih asli ini. Jadi, bisa saling mengawal, apakah C1 yang diunggah KPU itu sesuai dengan C1 plano yang asli,” kata Ainun.
Biaya sendiri
Ainun menegaskan, pembiayaan Kawal Pemilu merupakan swadaya dari dirinya sendiri. Pada 2014, biaya yang dikeluarkan hanya sebesar 54 dollar Singapura untuk menyewa server. Kali ini, diperkirakan lebih besar karena harus menerima kiriman foto dari publik.
Saat ini, Kawalpemilu.org belum berbiaya karena masih dalam kuota gratis layanan Google Cloud. Akan tetapi, nanti, ketika foto sudah mulai diunggah sukarelawan, tentu server akan mulai terisi dan biaya akan mulai dihitung.
”Kalau kartu kredit saya enggak kuat, kami berencana crowdsourcing lewat situs kitabisa.com,” kata Ainun.
”Hitungan kami, akan butuh cloud 5 terabyte. Biayanya mungkin seperti harga dua kali hard disk konvensional kapasitas serupa,” kata Ruli.
Cakram hard disk konvensional berkapasitas 5 terabita saat ini dijual dengan harga sekitar Rp 3 juta.
Selain fitnah dan kabar bohong yang menerpa Kawal Pemilu, beredar juga pesan yang meminta KPU agar tidak mengunggah formulir C1 ke situs resmi KPU.
”Padahal inisiatif open-data KPU untuk mengunggah C1 pada 2014 itu trendsetter di dunia. Sebab, dengan sistem itu bisa mendorong penguatan peran masyarakat sipil dalam demokrasi,” kata Elina.
Di Pemilu Presiden 2014 telah terbukti. Masyarakat ikut memantau hasil pemungutan suara dengan mengacu pada C1 yang diunggah oleh KPU, dan memang sejumlah kejanggalan ditemukan sehingga bisa dikoreksi.
Formulir C1, untuk diketahui, memuat hasil penghitungan suara di TPS yang disalin petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dari C1 plano. Sementara C1 plano adalah kertas penghitungan suara berukuran besar tempat petugas KPPS mencatat langsung hasil raihan suara setiap peserta pemilu saat proses penghitungan suara.
Ketika petugas mencatatkan hasil suara di C1 plano ke C1 itulah kerap ditemukan perbedaan angka. Ini bisa terjadi karena petugas tidak teliti saat menyalinnya ke C1. Namun, bisa juga bentuk kecurangan.
Harian Kompas edisi 13 Juli 2014 atau yang terbit empat hari pasca-pemungutan suara Pilpres 2014 menunjukkan pentingnya C1 diunggah ke situs resmi KPU.
Sejumlah kejanggalan dan kesalahan ditemukan di formulir C1 di banyak TPS. Dari temuan itu, hasil pemungutan suara di tempat-tempat tersebut dikoreksi saat proses rekapitulasi suara di jenjang berikutnya.
ARSIP KOMPAS
Berita ”Kejanggalan Ditemukan di Formulir C1”, yang diterbitkan pada 13 Juli 2014.
Mekanisme kontrol
Anggota KPU, Ilham Saputra, pun menyayangkan adanya tuduhan tersebut. Pasalnya, apa yang dilakukan oleh Kawal Pemilu dapat menjadi data pembanding dari C1 yang diunggah KPU di daerah melalui aplikasi Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU.
Terlebih mereka mengupayakan pengumpulan data C1 plano, dokumen penghitungan suara yang paling otentik.
”Jadi, sebetulnya (unggahan C1 plano) Kawalpemilu.org itu membantu kita semua membandingkan data,” kata Ilham.
Jadi kalau ada yang mengatakan partisipasi masyarakat ini dirancang untuk curang, sebaiknya bikin bentuk partisipasi serupa. Artinya akan banyak partisipasi masyarakat dan nanti tinggal saling disandingkan saja.
Komisioner Bawaslu Bidang Pengawasan dan Sosialisasi Mochammad Afifuddin turut angkat suara. Menurut dia, upaya Kawal Pemilu untuk mengunggah dan menabulasikan C1 plano adalah bentuk mekanisme kontrol yang baik. Oleh karena itu, perlu didukung, bukan lantas menyudutkannya.
”C1 plano adalah dasaran dari semua sengketa hasil. Kalau ada pihak yang mempersoalkan jumlah surat suara atau hasil rekapitulasi di kecamatan, C1- plano akan menjadi rujukannya,” kata Afifudin.
Menurut Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi, legitimasi pemilu merupakan salah satu tolok ukurnya dilihat dari seberapa besar partisipasi masyarakatnya, di antaranya dalam mengawasi pemilu.
Pengawasan dari masyarakat juga bentuk kontrol yang penting terhadap proses rekapitulasi suara berjenjang di Pemilu 2019. Dengan demikian, publik dapat melihat seberapa baik proses rekapitulasi di setiap jenjang.
”Ini adalah kontrol publik apabila dalam proses rekapitulasi ada yang tidak benar. Jadi kalau ada yang mengatakan partisipasi masyarakat ini dirancang untuk curang, sebaiknya bikin bentuk partisipasi serupa. Artinya akan banyak partisipasi masyarakat dan nanti tinggal saling disandingkan saja,” kata Veri.