Eni Nuraini Mencetak Pelari Handal Kelas Internasional
Eni Nuraini (72) adalah sosok di belakang layar lahirnya pelari andal. Pelari didikannya mampu mengharumkan Indonesia di pentas dunia, seperti Suryo Agung Wibowo, pelari 100 meter tercepat Asia Tenggara dengan waktu 10.17 detik pada SEA Games 2009 Laos, hingga Lalu Muhammad Zohri, juara Kejuaraan Dunia Atletik U-20 2018 di Finlandia. Berkat kontribusi besarnya, Eni dinobatkan sebagai ”Pelatih Atletik Terbaik Asia 2019” oleh Asosiasi Atletik Asia yang akan diberikan di Doha, Qatar pada 20 April.
Eni tampaknya disuratkan untuk menjadi pelatih atletik. Jalan hidup menuntut perempuan kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 29 November 1947 itu menjadi pembimbing atlet di cabang atletik. Meski lahir dari keluarga yang gemar olahraga, Eni sebelumnya tidak pernah mengenal dunia atletik.
Sejak kecil, Eni diarahkan orangtuanya untuk belajar berenang. Anak kedua dari tujuh bersaudara itu lalu mejadi perenang andal dengan meraih lima emas pada PON V di Bandung tahun 1961. Eni pun pernah berpartisipasi dan berprestasi di level Asia, antara lain meraih satu perak dan satu perunggu pada Asian Games 1962 Jakarta dan satu medali perunggu pada Asian Games 1966 Bangkok, Thailand.
Dari dunia olahraga itu, Eni pun berkenalan dengan atlet lari Jawa Barat Sumartoyo Martodiharjo, yang kemudian menjadi suaminya. KEduanya dikaruniai tiga anak, yakni Indriani Setiawati (lahir 1970), Indro Pratomo (1971), dan Indira Sundari Diah Prawesti (1975).
Sebagai mantan atlet lari, suami Eni menuntun anak-anaknya untuk mengenal dunia atletik sejak kecil. Adapun Eni justru ingin anaknya lebih menekuni dunia akuatik. ”Sayangnya, waktu dibawa untuk latihan renang, anak-anak tidak mau. Mereka bilang maunya ikut latihan lari,” ujar Eni ketika ditemui di Jakarta, Jumat (12/4/2019).
Anak pertama dan kedua Eni mulai berlatih lari di klub atletik Fajar Mas Murni (FMM) di Stadion Madya Senayan, Jakarta pada 1985. Ketika itu Eni selalu menemani anak-anaknya berlatih. Lama-lama, Eni dikenal oleh kalangan pelatih klub FMM.
Suatu ketika, para pelatih menyarankan Eni untuk ikut penataran/kursus menjadi pelatih atletik. Dengan demikian, sambil menemani Eni juga bisa melatih langsung anak-anaknya. Apalagi, klub juga masih kekurangan tenaga pelatih. ”Tanpa pikir panjang, saya ikuti saran tersebut. Selain positif, saya juga tidak memiliki banyak kesibukan lain,” katanya.
Sejak itu, Eni benar-benar terjun dan tenggelam dalam lingkungan atletik. Dia terus mengembangkan diri hingga mengantongi lisensi kepelatihan Asosiasi Internasional Federasi Atletik (IAAF) level 2 sejak 1990. Ketika itu, lisensi kepelatihan IAAF level 2 adalah lisensi tertinggi di dunia kepelatihan atletik sebelum formatnya berubah menjadi empat level saat ini.
Eni juga mengembangkan pengetahuannya hingga mendapatkan lisensi wasit atletik utama PB PASI sejak 1995. ”Menjadi pelatih, tidak cukup hanya paham teori teknis untuk mengembangkan atlet. Pelatih juga harus paham peraturan dalam perlombaan agar atlet bisa diarahkan sesuai peraturan yang ada. Itulah kenapa saya ikut pula penataran/kursus menjadi pelatih atletik,” tuturnya.
Di luar itu, Eni juga rutin mengikuti pelatihan singkat mengenai ilmu-ilmu baru dunia kepelatihan atletik dari para pelatih dunia, seperti pelatih asal Amerika Serikat Harry Marra. ”Sekarang, saya juga rajin baca-baca ilmu kepelatihan dari internet, terutama cara memulihkan cedera atlet,” imbuhnya.
Atlet adalah anak
Eni melatih klub FMM sejak 1985 hingga 2004, saat dia dipanggil melatih Pemusatan Pelatihan (Pelatda) DKI Jakarta. Melatih klub dan pelatda sungguh berbeda. Saat di klub, Eni hanya melatih anak-anak level SD dan SMP. Di pelatda, Eni harus membimbing para atlet yang sudah dewasa.
Situasi itu menjadi tantangan untuk Eni yang belum pernah menangani atlet-atlet berusia di atas usia SMP. Namun, Eni berprinsip dirinya harus menjadi ibu bagi para atlet. Dengan begitu ia yakin para atlet akan menghormati dan mendengarkan semua nasihatnya.
Tak hanya melatih, Eni turut memperhatikan kehidupan di dalam dan luar lapangan para atlet. Ia tak segan mendengarkan keluh-kesah para atlet, termasuk masalah di luar dunia atletik. Sekali waktu, ia juga mengajak anak asuhnya untuk makan bersama. Ia pun tak sungkan membuatkan susu untuk para atlet sesudah berlatih.
Pola melatih seperti itu membuat para atlet mencapai prestasi. Eni pun semakin dikenal sebagai pelatih berkualitas. Pada 2006, ia direkrut menjadi asisten pelatih pemusatan pelatihan nasional (pelatnas) PB PASI. Tak butuh waktu lama, setahun kemudian ia sudah menjadi pelatih utama di pelatnas.
Kebiasaan Eni dalam melatih pun tidak berubah. Ia tetap menempatkan dirinya sebagai orang tua dan para atlet sebagai anak-anaknya. Dengan begitu, ia cepat menemukan kedekatan dengan atlet sehingga lebih mudah dalam memberikan masukan/arahan.
”Saya kan lama melatih anak-anak kecil di klub. Di sana, saya tidak bisa bersikap keras pada anak-anak. Kalau dikerasi, mereka pasti takut dan tidak mau berlatih lagi. Jadi, polanya harus sabar. Kami harus menjadi orang tua mereka. Kebiasaan itu mungkin terbawa sampai sekarang,” ujarnya.
Kendati baru bergabung di pelatnas sejak Januari 2019, atlet lari asal Pulau Belitung, Provinsi Bangka-Belitung Muhammad Ardiansyah turut merasakan sifat keibuan Eni dalam melatih. Pengalaman paling berkesannya adalah ketika Eni membuatkan susu untuk para atlet sesudah latihan.
Walau tidak berada di mess, Eni pun selalu mengontrol kondisi para atlet di dalam mess. ”Saya merasa benar-benar diperhatikan. Waktu di daerah, saya tidak pernah merasakan perhatian seperti ini. Saya jadi merasa bertanggungjawab untuk membalas perhatian itu dengan latihan yang disiplin dan sungguh-sungguh,” kata Ardiansyah.
Keras dalam instruksi
Selayaknya ibu, selain mengasihi, Eni pun terkadang keras terhadap para atletnya. Namun, sikap tegas itu muncul tatkala ia memberikan instruksi kepada atlet yang masih mengulangi kesalahan, terutama dalam mempraktikan teknik berlari.
Beberapa kali Kompas menyaksikan langsung cara Eni melatih di pelatnas. Ia selalu berada di pinggir lapangan saat melatih. Gayanya cenderung tenang ketika memperhatikan para atlet berlatih. Sesekali, ia turut merekam hasil latihan tersebut guna menjadi bahan evaluasi dirinya dan para atlet.
Kala ada atlet yang melakukan kesalahan, Eni akan menghampiri dan menjelaskan letak kesalahan atlet bersangkutan. Tak segan, ia meminta atlet itu mengulangi gerakan dengan teknik yang lebih baik sesuai arahanya.
Tak sedikit atlet yang mengeluh ketika Eni bersikap seperti itu. Tapi, Eni tak peduli dan meminta atlet terkait untuk tetap melaksanakan arahannya. Pada akhirnya, atlet itu tidak berani membantah dan tetap melaksanakan arahan tersebut.
Dari situ, benar-benar terlihat bahwa Eni adalah sosok ibu yang berwibawa. Walau sempat mengeluh, anak-anak didiknya pasti akan tetap menuruti perintahnya. Sesudah itu, mereka pun akan cair lagi layaknya hubungan ibu dan anak. ”Sesekali, kami harus tegas dengan atlet. Kalau terus dimanja, nanti mereka tidak latihan dengan benar,” tuturnya.
Salah satu atlet yang sering merasakan kerasnya didikan Eni adalah pelari andalan Indonesia Lalu Muhammad Zohri. ”Ibu itu sebenarnya pendiam. Tapi, dia bisa jadi sangat cerewet kalau ada atlet yang melakukan kesalahan, terutama yang masih mengulangi kesalahan dalam teknik berlari. Tapi, tidak masalah. Itu demi kebaikan kami juga,” ujar Zohri.
Cara melatih Eni terbukti telah membuahkan hasil manis untuk dunia atlet nasional, terutama di nomor lari jarak pendek. Setidaknya, Eni berkontribusi besar mengembangkan kemampuan pelari legendaris Indonesia Suryo Agung dari 2006-2009. Puncaknya, Suryo meraih emas lari 100 meter dan mencatat rekor sebagai pelari tercepat Asia Tenggara dengan waktu 10,17 detik di SEA Games 2009.
Eni juga mengantarkan Lalu Muhammad Zohri menjadi juara lari 100 meter dengan waktu 10,18 detik di Kejuaraan Dunia Atletik U-20 2018 pada Juli tahun lalu. Itu adalah prestasi pertama atlet Indonesia di kejuaraan tersebut. Adapun Eni baru menangani latihan Zohri pada Desember 2017.
Eni juga yang mengarsiteki tim estafet 4x100 meter putra sehingga meraih medali perak pada Asian Games 2018 Jakarta-Palembang. Itu adalah prestasi kedua tim estafet Indonesia setelah terakhir meraih perak di Asian Games 1966.
Capaian Eni diakui oleh Asosiasi Atletik Asia (AAA). Eni dianggap sebagai pelatih lokal yang sukses membina atlet di negaranya menjadi atlet berprestasi tingkat dunia. Atas dasar itu, AAA menobatkannya sebagai ”Pelatih Atletik Terbaik Asia 2019”. Eni pun tercatat sebagai pelatih atletik pertama Indonesia yang meraih penghargaan itu. Prestasi itu melengkapi penghargaan ”Pelatih Terbaik Nasional” dari Kemenpora yang diraihnya pada 2009.
”Selagi masih dipercaya dan diberi kesehatan yang baik, saya akan terus melatih. Apalagi saya masih punya cita-cita yang belum tercapai, yakni membawa atlet saya menjadi juara di Olimpiade,” ungkap Eni dengan menggebu-gebu.
Eni Nuraini
Lahir: Ciamis, Jawa Barat, 29 November 1947
Karier:
- Renang selama 1959-1975
Karier pelatih:
- Pelatih renang di Klub Tirta Merta, Bandung, Jawa Barat selama 1975-1979
- Pelatih atletik di Klub Fajar Mas Murni, Jakarta selama 1985-2004
- Pelatih atletik Pelatda DKI Jakarta selama 2004-sekarang
- Pelatih atletik SKO Ragunan selama 2004-2005
- Pelatih atletik Pelatnas PB PASI selama 2006-sekarang
Prestasi:
- Lima emas di PON V Jawa Barat pada 1961
- Perak estafet 4x100 meter gaya bebas di Asian Games 1962 Jakarta
- Perunggu estafet 4x100 meter gaya ganti di Asian Games 1962
- Perunggu estafet 4x100 meter gaya ganti di Asian Games 1966 Bangkok
- Pelatih Terbaik Nasional dari Kemenpora pada 2009
- Pelatih Atletik Terbaik Asia dari Asosiasi Atletik Asia pada 2019