UFC, Adesanya, Poirier, dan Pilpres RI
Kalau saja di akhir masa Pemilihan Presiden RI 2019 para pendukung calon presiden nomor 01 Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dengan capres nomor 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dapat meniru apa yang terjadi usai pertarungan di ajang UFC itu, alangkah indahnya negeri ini.
Luar biasa. Kata itu pantas disematkan pada dua laga pertandingan utama Ultimate Fighting Championship episode 236 yang berlangsung di Atlanta, Amerika Serikat, Sabtu (13/4/2019) atau Minggu (14/4/2019) waktu Indonesia. Penggemar olahraga seni bela diri campuran di seluruh dunia pasti menikmati suguhan menarik duel Israel Adesanya versus Kelvin Gastelum di kelas menengah serta Max Holloway vs Dustin Poirier jilid II di kelas ringan.
Adesanya merupakan petarung baru yang naik daun. Sejak bergabung dengan Ultimate Fighting Championship (UFC) pada Desember 2017—memulai debut pada 11 Februari 2018 melawan Rob Wilkinson, disusul Marvin Vettori, Brad Tavares, dan Derek Brunson dengan kemenangan—beberapa media olahraga tarung terkenal menasbihkan Adesanya sebagai Pendatang Baru Terbaik UFC 2018.
Ditambah kemenangan meyakinkan atas mantan juara dunia Anderson Silva pada 10 Februari 2019, jalan Adesanya menuju puncak karir sudah terbuka lebar. Wajar bila ia diberi kesempatan menghadapi petarung hebat asal Amerika, Kelvin Gastelum, untuk memperebutkan gelar juara interim kelas menengah.
Pertandingan Adesanya dan Gastelum banyak ditunggu penggemar mixed martial arts (MMA). Dua petarung ini memiliki gaya (bertinju) yang hampir sama. Saat bertanding dengan adu tinju, keduanya memiliki gerakan meliuk seperti penari. Mereka dikenal pintar mengelakkan pukulan lawan dan sabar menunggu kesempatan.
Pada saat yang tepat, secepat kilat mereka akan melancarkan pukulan yang tidak disangka-sangka lawan. Meminjam ungkapan maestro tinju Muhammad Ali, mereka memiliki ilmu melayang seperti kupu-kupu, tetapi cepat menukik dan menyengat seperti lebah.
Untuk pertarungan atas gaya tinju dan kick boxing, Adesanya sedikit unggul atas Gastelum. Namun, untuk pertandingan bawah, Gastelum yang memiliki dasar olahraga gulat jauh lebih mumpuni. Gastelum selalu ingin bertarung bawah, tetapi Adesanya sangat lihai berkelit dan jarang dapat dijatuhkan lawannya untuk bertarung di lantai oktagon (ring UFC).
Pasar taruhan Las Vegas menempatkan Adesanya unggul tipis atas Gastelum. Artinya, pakar-pakar taruhan olahraga tarung memprediksi pertandingan keduanya sangat ketat. Hasil pertarungan memang persis seperti prediksi.
Pada ronde awal, Gastelum lebih unggul atas Adesanya. Sengatan tiba-tiba Gastelum di tengah ronde pertama mampu menerobos pertahanan Adesanya. Angka 10-9 diberikan wasit kepada Gastelum di ronde itu.
Namun, empat ronde berikutnya, Adesanya bangkit memanfaatkan keunggulan jangkauan tangan lebih panjang dan tinggi badan untuk mengentak Gastelum yang memiliki tinggi badan 175 cm. Meski demikian, cara itu tidaklah mudah. Berkali-kali Gastelum dapat mencuri pukulan ke arah kepala lelaki setinggi 194 cm itu. Dalam pertarungan-pertarungan sebelumnya, sangat jarang Adesanya mendapat lebam di wajah dan berdarah seperti ketika melawan Gastelum.
Meski demikian, secara keseluruhan Adesanya lebih banyak memasukkan pukulan jab dan hook keras dan bersih ke kepala Gastelum. Pada ronde terakhir (kelima), hanya nyali besar dan perasaan tidak ingin dipermalukanlah yang membuat Gastelum mampu bertahan hingga bel dibunyikan. Namun, untuk menjaga gengsi itu, Gastelum menjadi babak belur dan tidak berdaya. Tiga juri memberikan total angka sama 50-46 untuk kemenangan mutlak Adesanya. Adesanya pun menjelma menjadi bintang baru.
Setelah tarung habis-habisan dan berdarah-darah, seperti pertarungan Adesanya melawan Gastelum serta Holloway melawan Poirier, para petarung saling bersalaman dan berangkulan.
Meski nama depannya Israel, Adesanya sama sekali tidak terkait dengan negara Israel. Ia lahir di Nigeria, Afrika, 22 Juli 1989. Pada umur 11 tahun, ia dibawa orangtuanya pindah ke Selandia Baru demi kehidupan yang lebih baik. Ia menyenangi olahraga bela diri sejak kecil. Olahraga pertamanya adalah taekwondo, kemudian Adesanya menggeluti tinju dan kickboxing.
Kariernya di olahraga tarung cukup bagus. Awalnya, ia bertanding di cabang kickboxing dan kemudian secara bersamaan di seni bela diri campuran. Ia cukup dikenal di King in the Ring, salah satu organisasi tarung kickboxing. Ia kemudian mencoba peruntungan di gelanggang Glory, organisasi tarung kickboxing paling terkenal sejagad, sebelum bergabung ke UFC.
Hanya saja, kariernya di Glory tidak terlalu baik. Ia tidak mampu melawan tiga petarung elite kelas menengah Glory yang kerap menjadi juara dunia bergantian, yaitu Simon Marcus (Kanada), Jason Wilnis (Belanda), dan Alex Pereira (Brasil). Karena itu pula, pada akhir 2017 ia beralih ke UFC. Di sana, kariernya melesat dengan menjadi juara interim kelas menengah hanya dalam tempo 15 bulan!
Ke depan, bintang Adesanya akan dipertaruhkan pada pertarungan melawan mantan juara kelas menengah UFC, Robert Whittaker. Gelar Whittaker dicopot karena gagal bertanding melawan Gastelum akibat hernia pada Februari 2019.
Holloway vs Poirier jilid II
Di pertandingan lain UFC 236 antara Max Holloway dan Dustin Poirier jilid II juga sangat seru. Jujur, sangat sulit menilai dan membandingkannya dengan pertarungan antara Adesanya vs Gastelum.
Yang pasti kedua laga berdarah-darah itu memiliki nilai sangat tinggi bagi penggemar MMA. Dua laga itu pantas menjadi tarung terbaik kuartal pertama 2019, dan tidak menutup kemungkinan menjadi pertandingan terbaik pada 2019. Versi UFC, tanding Max Holloway vs Dustin Poirier lebih dipilih sebagai pertandingan terbaik pada malam itu.
Max Holloway merupakan juara kelas bulu UFC sejak 2016. Gelar pertama diperolehnya di pertandingan kelas bulu interim pada 10 Desember 2016 setelah mengalahkan Anthony Pettis dengan TKO di ronde ketiga. Ia kemudian menjadi juara penuh setelah mengalahkan Jose Aldo pada 3 Juni 2017. Ia kembali menang atas Aldo pada tarung ulang enam bulan kemudian.
Pada 8 Desember 2018, Holloway kembali mempertahankan gelar juara kelas bulu saat melawan Brian Ortega. Di laga itu, Brian benar-benar menjadi bulan-bulanan Holloway. Wajah Brian babak belur, lebam, dan berdarah-darah sehingga dokter ring menghentikan pertandingan pada ronde ke-4.
Meski menjadi juara dunia, Hollloway memiliki catatan suram pada saat awal bertanding di UFC, 4 Februari 2012. Ketika itu, Holloway secara mendadak diminta menjadi petarung pengganti Ricardo Lamas yang tidak dapat bertanding karena cedera ketika hendak melawan Poirier. Debut Holloway di UFC itu menjadi malam horor. Ia takluk dari Poirier dengan teknik kuncian pada ronde pertama dalam waktu 3,5 menit.
Kekalahan perdana itu tidak membuat Holloway patah arang. Ia berlatih dan terus mengasah kemampuan sehingga bangkit dan berkembang. Setelah bertanding 16 kali dengan catatan 13-3 (menang 13 kali dan kalah 3 kali), ia bisa mendaki ke puncak prestasi di kelas bulu.
Namun, masih ada ganjalan Holloway tentang memori kelam kekalahan atas Poirier. Kesempatan membalas dendam akhirnya terbuka saat gelar juara kelas menengah interim disediakan. Niatannya, kalau menang melawan Poirier, berarti dendam lama terbalas.
Namun, yang lebih penting, kemenangan itu membuka kesempatan untuk bertemu ”singa kelas ringan”, Khabib Nurmagomedov asal Rusia.
Di jalur lain, karier Poirier sebenarnya tidak terlalu jelek, tetapi juga tidak terlalu bagus setelah mengalahkan Holloway. Empat dari lima pertandingan terakhirnya sejak 11 Februari 2017 dihiasi kemenangan dan satu pertandingan lainnya dinyatakan no contest (tidak dihitung). Namun, sepanjang kariernya selama delapan tahun di UFC, ia belum pernah merasakan gelar juara dunia.
Kisah pertemuan Holloway vs Poirier jilid II itu akhirnya digelar UFC untuk memperebutkan juara kelas ringan sementara. Ternyata, niatan Holloway membalas dendam terhadap Poirier gagal total. Holloway justru mengalami luka-luka yang hampir sama seperti yang dialami Brian Ortega dalam pertandingan sebelumnya.
Setelah kemenangan itu, Poirier digadang-gadang akan dipertemukan dengan Khabib Nurmagomedov. Dalam pesan di media sosial, kubu Khabib sudah menyampaikan pesan kepada Poirier dengan kalimat, ”sampai jumpa di bulan September”. Besar kemungkinan tarung Khabib vs Poirier akan dilaksanakan pada September tahun ini.
Pilpres 2019
Lalu, apa hubungan tarung UFC dengan Pemilihan Presiden RI sesuai judul di atas? Sebenarnya tidak ada kaitannya. Namun, publik segala usia dan latar belakang apa saja bisa belajar bahwa setelah tarung habis-habisan dan berdarah-darah, seperti pertarungan Adesanya melawan Gastelum serta Holloway melawan Poirier, para petarung saling bersalaman dan berangkulan.
Bahkan, Holloway yang dua kali kalah dari Poirier lebih dahulu menyalami dan memeluk Poirier. Bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali. Mereka terlihat saling berbincang hangat di atas oktagon dan kemudian saling memeluk. Tidak ada dendam. Padahal, beberapa menit sebelumnya seluruh tenaga dan keahlian mereka curahkan untuk saling memukul dan menghabisi lawan. Begitu bel akhir dibunyikan dan juara diumumkan, seluruh urusan tarung selesai.
Kalau saja di akhir masa Pemilihan Presiden RI 2019 dapat meniru apa yang terjadi seusai tarung di ajang UFC itu, alangkah indahnya negeri ini. Sportivitas dalam olahraga tak lekang oleh waktu. Persiapan panjang melelahkan dan menguras segala daya diakhiri secara dewasa. Berangkulan, seakan-akan apa yang baru saja terjadi dan menyakitkan bukanlah masalah besar. Padahal, lebam dan ruam takkan hilang seusai berangkulan.
Itulah sportivitas dalam dunia olahraga. Menang dan kalah dalam kompetisi adalah keniscayaan. Kedewasaan sikap menerima kenyataan hasil kompetisi dalam gelanggang tarung patut ditiru di kancah perpolitikan. Selamat menggunakan hak pilih, esok hari.