Dunia tengah resah. Perang dagang Amerika Serikat-China yang tak kunjung usai menyumbat aliran perdagangan dunia. Hambatan-hambatan perdagangan dari sejumlah negara semakin memberi tekanan terhadap percaturan perdagangan global.
Awal April 2019, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperkirakan perdagangan dunia pada tahun ini melambat menjadi 2,6 persen. Tahun lalu perdagangan dunia hanya tumbuh 3 persen, lebih rendah dari perkiraan awal yang sebesar 3,9 persen.
WTO menyebut, pertumbuhan perdagangan tahun ini terendah dalam tiga tahun terakhir. Pada 2016, perdagangan dunia tumbuh 1,6 persen kemudian pada 2017 pertumbuhan itu meningkat tajam menjadi 4,7 persen.
WTO juga memperkirakan pertumbuhan volume ekspor dan impor negara-negara Asia melambat pada tahun ini. Volume ekspor diperkirakan tumbuh 3,7 persen dan impor 4,6 persen. Tahun lalu, volume ekspor dan impor negara-negara di Asia masing-masing tumbuh 3,8 persen dan 5 persen.
Tak mengherankan jika Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo gelisah dengan kondisi perdagangan global itu. ”Dengan meningkatnya ketegangan perdagangan, tidak ada yang harus terkejut dengan pandangan ini. Perdagangan tidak dapat memainkan peran penuhnya untuk mendorong pertumbuhan ketika kita melihat tingkat ketidakpastian yang begitu tinggi,” katanya.
Perdagangan tidak dapat memainkan peran penuhnya untuk mendorong pertumbuhan ketika kita melihat tingkat ketidakpastian yang begitu tinggi.
Di tengah ketidakpastian perdagangan global, negara-negara anggota ASEAN tertatih-tatih meningkatkan ekspor. Pasar utama mereka, AS dan China, tengah dirundung perang dagang. Di sisi lain, hambatan perdagangan, terutama dari Uni Eropa dan India, semakin mempersempit pasar ekspor mereka.
Pada tahun ini, ekspor Malaysia diperkirakan melambat menjadi 3,6 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,7 persen. Ekspor Thailand juga diperkirakan turun menjadi 4,7 persen pada triwulan I-2019 dari periode yang sama tahun lalu yang tumbuh 22 persen.
Vietnam yang pertumbuhan ekspornya selama beberapa tahun terakhir ini positif juga mengalami tekanan. Pada triwulan I-2019, ekspor Vietnam tumbuh 4,2 persen, turun drastis dari triwulan I-2018 yang tumbuh 22 persen.
Indonesia juga mengalami hal serupa. Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor pada triwulan I-2019 turun 8,49 persen menjadi 40,51 miliar dollar AS dari periode sama 2018. Khusus ekspor nonmigas juga turun 7,83 persen menjadi 37,37 miliar dollar AS.
Salah satu penyebab utama penurunan ekspor nonmigas itu adalah turunnya kontribusi industri pengolahan. Pada Januari-Maret 2019, kontribusi industri pengolahan itu terhadap ekspor turun 6,61 persen dari periode sama 2018.
Di tengah kondisi tersebut, Indonesia tetap optimistis memacu pasar ekspor. Pada tahun ini, Kementerian Perdagangan menargetkan ekspor nonmigas tumbuh 8 persen menjadi 175,8 miliar dollar AS. Target tersebut meningkat dari rencana target awal tahun yang sebesar 7,5 persen atau senilai 175 miliar dollar AS.
Pada 2018, Kemendag menargetkan ekspor nonmigas tumbuh 11 persen. Namun, realisasinya hanya tumbuh 6,7 persen atau senilai 162,8 miliar dollar AS.
Optimisme Indonesia meningkatkan ekspor itu tidak terlepas dari upaya-upaya memperluas pasar ekspor nontradisional. Di sisi lain, negosiasi perdagangan terhadap negara-negara yang menghambat perdagangan juga terus dilakukan.
Misalnya dengan Uni Eropa yang mengeluarkan minyak kelapa sawit dari daftar energi terbarukan. Begitu juga dengan India yang menaikkan bea masuk minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya.
Meningkatnya target ekspor pada tahun ini juga tidak terlepas dari permintaan Atase Perdagangan dan Indonesia Trade Promotion Center yang ditempatkan di sejumlah negara. Di tengah ketidakpastian perdagangan global, mereka berupaya menggalang permintaan ekspor dari pelaku usaha di masing-masing negara.
Perang lobi antarnegara akan mewarnai perang dagang dan proteksionisme perdagangan global. Indonesia harus benar-benar siap.
Dari kalangan pelaku industri, mereka berupaya meningkatkan ekspor nonmigas. Dalam jangka pendek dan menengah, Indonesia memiliki peluang meningkatkan ekspor otomotif, alas kaki, makanan dan minuman, serta tekstil.
Kendati begitu, upaya-upaya itu tidak akan terealisasi dengan mudah. Negara-negara lain juga melakukan hal serupa. Apalagi Malaysia, Thailand, dan Vietnam yang memiliki industri yang kurang lebih sama dengan Indonesia.
Negara-negara tersebut bahkan telah lebih dahulu memiliki perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan negara-negara lain. Pemerintah Thailand bahkan menyatakan akan mengoptimalkan FTA dengan sejumlah negara itu.
Perang lobi antarnegara akan mewarnai perang dagang dan proteksionisme perdagangan global. Indonesia harus benar-benar siap.