Langkah Dimulai dengan Memperkuat Daya Tahan
JAKARTA, KOMPAS — Perlu daya tahan kuat untuk menghadapi perekonomian global yang pertumbuhannya diperkirakan melambat tahun ini. Penguatan daya tahan bisa diawali dengan menuntaskan persoalan yang membelit Indonesia.
Indonesia saat ini berhadapan setidaknya dengan persoalan transaksi berjalan yang defisit dan ekspor yang masih bergantung pada komoditas. Daya tarik terhadap investasi juga mesti ditumbuhkan.
Presiden-wakil presiden hasil Pemilihan Umum 2019 ditantang menyelesaikan persoalan ini.
Berdasarkan rilis pada April 2019, pertumbuhan ekonomi global tahun ini diperkirakan 3,3 persen menurut Dana Moneter Internasional (IMF). Adapun perkiraan Bank Dunia 2,9 persen. Angka ini merupakan koreksi atas proyeksi yang dirilis pada Januari 2019, yakni 3,5 persen oleh IMF dan 3 persen oleh Bank Dunia.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang direvisi lebih rendah dari perkiraan semula ini bisa berdampak terhadap perdagangan global.
Kepala ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro menyampaikan, Indonesia mesti fokus meningkatkan daya saing untuk menjaring investasi.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi pada 2018 mencapai Rp 721,3 triliun. Jumlah itu sekitar 94,3 persen dari target investasi 2018, yakni Rp 765 triliun.
Indeks Daya Saing 2018 yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebutkan, Indonesia ada di posisi 45 dari 140 negara.
Menurut Andry, Indonesia juga harus mendorong industri manufaktur dan sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan industri.
”Pertumbuhan ekonomi dunia memang akan melambat dan ini sudah diprediksi sejak tahun lalu. Pemerintah memang mesti menyiapkan langkah strategis, antara lain dengan mengkoordinasikan kebijakan investasi pusat dan daerah,” ujar Andry.
Menurut Andry, pemerintah sudah melaksanakan sejumlah inisiatif yang baik. Namun, investor masih mengeluhkan hal yang sama, yakni kurangnya koordinasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah.
”Meningkatkan daya saing saat ini menjadi jauh lebih penting agar Indonesia bisa lebih stabil di tengah volatilitas perekonomian global," katanya.
Meningkatkan daya saing saat ini menjadi jauh lebih penting.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, berpendapat, perbaikan kemudahan berusaha melalui penyederhanaan birokrasi dan kosistensi kebijakan harus menjadi prioritas presiden-wakil presiden hasil Pemilu 2019. Sebab, tekanan global semakin sulit dikendalikan dan diprediksi, sehingga perbaikan internal menjadi satu-satunya kunci untuk menghadapi situasi terkini.
"Kita tidak bisa bergantung pada permintaan dan penawaran global. Investasi harus ditarik. Kuncinya birokrasi dan konsisten kebijakan," ujarnya.
Berdasarkan data Kemudahan Berbisnis 2019 yang diterbitkan Bank Dunia, Indonesia ada di peringkat 73 dari 190 negara, dengan nilai 67,96.
David menambahkan, industri manufaktur tak bisa sepenuhnya diandalkan sebagai penopang ekonomi. Tren di beberapa negara mulai beralih ke industri jasa karena banyak jenis pekerjaan di industri manufaktur yang hilang akibat otomatisasi.
Oleh karena itu, ekonomi kreatif penting dikembangkan, salah satunya melalui investasi sumber daya manusia.
Stabilitas
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Febrio Nathan Kacaribu, menilai, kemudahan investasi merupakan hal krusial yang perlu ditingkatkan pemerintahan baru hasil Pemilu 2019. Hal ini untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi RI.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap bergantung pada investasi. Untuk menjaga stabilitas ekonomi, pertumbuhan realisasi investasi setiap tahun harus di atas 7 persen,” ujarnya.
Febrio menambahkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi global memang turun, namun proyeksi pertumbuhan negara-negara di kawasan ASEAN tetap di kisaran 5 persen. Proyeksi ini membuat aliran modal asing deras masuk ke negara ASEAN, termasuk Indonesia.
Pada 2018, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,17 persen. Tahun ini, ditargetkan tumbuh 5,3 persen.
Jika arus masuk modal terus berlanjut, lanjut Febrio, cadangan devisa Indonesia bisa berada di kisaran 130 miliar dollar AS pada Juli-Agustus 2019. Kondisi ini membuka peluang untuk mulai menurunkan suku bunga acuan Bank Indonesia, dalam rangka mendorong konsumsi domestik.
Pada akhir Maret 2019, suku bunga acuan BI sebesar 6 persen. Adapun cadangan devisa per akhir Maret 2019 sebesar 124,539 miliar dollar AS.
Sementara, Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk Dian Ayu Yustina menyarankan pergeseran orientasi pertumbuhan ekonomi nasional dari berbasis komoditas menjadi berbasis manufaktur sebaiknya menjadi agenda prioritas dalam 5 tahun mendatang. Pengembangan sektor manufaktur dapat memberi nilai tambah dalam negeri serta berpotensi mengganti barang atau bahan impor.
Dalam menggenjot aktivitas sektor manufaktur, lanjut Dian, kementerian/lembaga pemerintah yang membidangi perdagangan dan industri harus berkoordinasi dan bersinergi. Langkah itu untuk menarik investasi berorientasi ekspor dan membuka pasar ekspor di negara-negara nontradisional.
Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus diambil adalah memetakan sektor manufaktur secara lebih terinci. "Pemerintahan yang akan menjabat pada tahun ini harus mengakselerasi integrasi antara infrastruktur yang sudah dibangun dengan kawasan industri. Perencanaan yang baik dan matang akan menjadi daya tarik bagi investor karena memberikan sinyal kepastian," tuturnya.
langkah pertama yang harus diambil adalah memetakan sektor manufaktur secara lebih terinci.
Domestik
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, strategi memperkuat ekonomi domestik harus diprioritaskan mengingat situasi perekonomian global penuh ketidakpastian. Ukuran ekonomi domestik yang cukup besar membuat Indonesia lebih berdaya tahan dari tekanan global.
"Ukuran ekonomi domestik kita jauh lebih besar dari Singapura sehingga semestinya tidak bergantung dengan global," kata Faisal.
Penguatan ekonomi domestik bisa ditempuh dengan meningkatkan daya saing investasi, terutama sektor manufaktur. Insentif yang diberikan bukan hanya dari aspek fiskal, tetapi dari bauran kebijakan yang saling terintegrasi.
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih memaparkan, surplus neraca perdagangan pada Maret 2019 sebesar 540,2 juta dollar ASS harus dijaga. Caranya, dengan memaksimalkan penggunaan bahan baku dan bahan penolong industri dari lokal.
Selain itu, untuk menjaga neraca perdagangan tetap surplus, pemerintah jangan hanya terpaku pada kebijakan menekan impor. Di sisi lain, kebijakan ekspor membutuhkan terobosan agar bisa tumbuh secara berkelanjutan.
Dalam konteks penanaman modal asing (PMA), menurut Lana, selama ini pemerintah hanya fokus terhadap upaya memudahkan dan membuat nyaman investor di Indonesia. Padahal, hal paling penting dari PMA adalah transfer ilmu dan teknologi.
“Pemerintah butuh cetak biru yang memaksa pemodal asing transfer pengetahuan. Sebagai tuan rumah, kita harus ikut bermain di halaman milik kita sendiri,” ujarnya. (DIM/JUD/KRN/IDR)