JAKARTA, KOMPAS—Perguruan tinggi digarapkan agar selalu siaga dan tanggap bencana. Pendidikan dan pelatihan mitigasi kebencanaan tidak hanya dilakukan kepada sivitas akademika, melainkan juga masyarat di sekitar kampus.
"Bagian dari tri dharma perguruan tinggi adalah mengembangkan kesadaran masyarakat dan mendorong kebijakan pemerintah agar memerhatikan isu mitigasi bencana," kata Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ismunandar dalam sosialisasi Hari Kesiapsiagaan Bencana kepada perwakilan dari perguruan-perguruan tinggi se-Indonesia di Jakarta, Kamis (19/4/2019). Hari Kesiapsiagaan Bencana jatuh pada tanggal 26 April.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah memetakan kerentanan bencana di setiap wilayah Indonesia. Perguruan tinggi (PT) dianjurkan menggunakan peta tersebut untuk mengembangkan pendidikan dan pelatihan kebencanaan sesuai dengan risiko yang dihadapi tiap-tiap wilayah.
"Harus ada advokasi rutin di kampus, termasuk secara berkala melakukan pelatihan evakuasi," ujar Ismunandar.
Harus ada advokasi rutin di kampus, termasuk secara berkala melakukan pelatihan evakuasi.
Unit-unit kegiatan mahasiswa juga dikembangkan agar mencakup isu kebencanaan. Materi mengenai mitigasi dan tanggap bencana hendaknya juga disosialisasikan melalui media daring, misalnya situs resmi PT dan situs-situs komunitas di dalam PT. Selain itu, juga dikembangkan Kuliah Kerja Nyata tematik yang fokus melakukan pemberdayaan masyarakat untuk mitigasi bencana.
Bagian dari sosialisasi tersebut adalah melakukan diskusi kelompok antarperwakilan PT untuk menyusun strategi pendidikan mitigasi bencana. Disepakati bahwa ketidaktahuan dan ketidakpedulian masyarakat terhadap bencana merupakan tantangan utama. Salah satu dampaknya adalah minimnya anggaran untuk sistem peringatan dini serta pemakluman terhadap pencurian dan perusakan alat-alat deteksi bencana.
Ismunandar menjelaskan, sejauh ini baru ada tiga PT yang memiliki program studi spesifik mengenai kebencanaan. Ketiganya adalah Magister Ilmu Kebencanaan di Universitas Syiah Kuala (Aceh), Magister Manajemen Bencana Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), dan Magister Manajemen Risiko Bencana Universitas Bung Hatta (Sumatera Barat).
Kepala Unit Pelaksana Teknis Keamanan, Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung Yofi Wibisono Budhi yang hadir sebagai pemateri mengungkapkan, mayoritas penyebab jatuhnya korban di waktu bencana di mampus maupun lembaga profesional lainnya adalah akibat prosedur yang tidak tertib.
Pembenahan pertama yang harus dilakukan ialah memastikan infrastruktur kampus tahan bencana. Ketersediaan tangga darurat, pintu darurat, alat pemadam kebakaran, dan titik kumpul harus disosialisasikan dan dijaga agar tidak rusak. Kampus juga harus memgembangkan diri sebagai posko pengungsian untuk umum sehingga mereka tidak bisa mengelak untuk tidak melakukan mitigasi.
"Membangun mental ini butuh perjuangan karena bahkan di lokasi yang membutuhkan perlindungan, seperti laboratorium, masih ada pekerja, dosen, dan mahasiswa tidak memakai alat pengaman. Penyadaran harus diawali pada keseharian," ujarnya.
Yogi mengingatkan, laboratorium harus memenuhi standar keamanan. Jangan sampai ketika terjadi bencana zat-zat kimia berbahaya, virus, dan bakteri yang tengah diteliti malah tersebar luas karena tidak bisa dikontaminasi.
Sementara Kepala Subdirektorat Pengabdian kepada Masyarakat UGM Nanung Agus Fitriyono mengatakan, pendidikan mitigasi bencana untuk internal kampus dikelola oleh Fakultas Geografi. Adapun pada sektor pendidikan masyarakat, UGM mengembangkan pemberdayaan masyarakat mengenai mitigasi dalam keseharian.
"Salah satu wilayah binaan UGM adalah Badran di Kotamadya Yogyakarta yang merupaka pemukiman padat rawan kebakaran," tuturnya. Di sana rutin diadakan pendampingan mengenai pengelolaan dan penyusunan wilayah kampung antikebakaran.