Warna putih diperebutkan sebagai simbol politik sebelum pemungutan suara Rabu (17/4/2019) lalu. Kedua pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden sama-sama ingin mengkapitalisasi warna ini sebagai sebuah gerakan politik. Teknisnya adalah "memutihkan" tempat pemungutan suara atau TPS. Ternyata kapitalisasi ini tidak berjalan efektif, tak ada kelompok yang dominan datang memutihkan TPS.
Oleh
Andy Riza Hidayat
·6 menit baca
Warna putih diperebutkan sebagai simbol politik sebelum pemungutan suara Pemilu 2019 pada Rabu (17/4/2019) lalu. Pendukung kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden sama-sama ingin mengkapitalisasi warna ini sebagai sebuah gerakan politik. Teknisnya adalah "memutihkan" tempat pemungutan suara atau TPS. Ternyata kapitalisasi ini tidak berjalan efektif, tak ada kelompok yang dominan datang memutihkan TPS.
Kedua pihak, dalam jumlah yang beragam sama-sama datang dengan baju putih. Sementara sebagian besar pemilih tidak mengenakan baju putih sebagaimana seruan sebelum pencoblosan. Hanya sebagian kecil pemilih yang mengenakan atribut putih seperti yang diamati penulis di Kota Depok, Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Sakralisasi simbol putih ke TPS pun bisa dikatakan tidak sesuai harapan.
Sebagian pihak menyebut, hasil hitung cepat sementara pun tidak banyak dipengaruhi gerakan baju putih. Hasil hitung cepat Litbang Kompas, pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma\'ruf Amin meraih 54,43 persen suara. Perolehan ini lebih banyak dibanding suara pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang meraih suara 45,57 persen.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, berpendapat, perolehan suara itu lebih banyak disandarkan pada alasan-alasan rasional. “Gerakan untuk memutihkan TPS tidak efektif. Tidak menjadi simbol salah satu pasangan calon dan meniadakan pasangan calon lain,” kata Hamdi Muluk kepada Kompas, Kamis (18/4/2019), sehari setelah pemungutan suara.
Kapitalisasi warna
Menurut Hamdi, kubu 02 sebenarnya yang paling berpeluang mengkapitalisasi gerakan baju putih. Mereka memiliki pengalaman bisa “memutihkan” Jakarta pada gerakan 411 (4 November 2016), 212 (2 Desember 2016), reuni 212 (2 Desember 2018). Wajar jika Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam Al Khaththath, Jumat (1/3/2019), di Jakarta, menyerukan agar pada hari pencoblosan massa pendukung pasangan calon 02 mengenakan baju putih ke TPS. Hal ini sejalan dengan yang dilakukan Prabowo dan Sandi saat sama-sama mengenakan baju putih, Rabu (17/4/2019).
Dengan menggelorakan lagi gerakan putih-putih secara intensif, peluang itu ada. Namun, kenyataannya tidak terjadi. Upaya untuk sakralisasi baju putih menjadi gerakan memutihkan TPS terhalang oleh sejumlah hal. Pertama, alumni 212 tidak semuanya bergabung dengan kubu 02. Sebagian juga bergabung dengan kubu 01 yaitu Jokowi-Amin.
Faktor penghalang lain adalah ada gerakan serupa dari kubu 01. Pendukung 01 terang-terangan menggelorakan agar memutihkan TPS pada 17 April. Seruan ini semakin nyaring dan memuncak pada saat mereka memutihkan Gelora Bung Karno lewat acara Konser Putih Bersatu, 13 April 2019, empat hari menjelang pemungutan suara. Jokowi-Amin dan orang-orang yang memberi pengaruh (influencer) di kubu 01 juga mengenakan baju putih saat hari pencoblosan. Baju putih tidak lagi menjadi penanda satu kubu semata.
Sebelum pemungutan suara, Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Amin Raja Juli Antoni menyerukan kepada pendukung bergerak ke TPS sambil mengenakan baju putih. Dia berharap gerakan ini menjadi semacam kartu truf pasangan Jokowi-Amin di menit-menit sebelum pencoblosan. Targetnya, gerakan ini mampu menumbuhkan kepercayaan diri para pemilih yang masih ragu. ”Kami berharap ada efek elektoral di detik-detik terakhir,” ujar Antoni, Selasa (26/3/2019).
Menanggapi seruan ini, Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon mengatakan, baju putih dalam kondisi tertentu lebih dulu dilakukan oleh Prabowo-Sandiaga. "Saya kira kalau putih, kami dari dulu yang menyerukan putihkan Jakarta, putihkan Solo," kata Fadli, Kamis (28/3/2019) seperti dikutip kompas.com.
Fadli merujuk pada massa pendukung kubu 02 yang banyak dari simpatisan aksi 411, 212, dan reuni 212. Fadli mengingatkan bahwa Jokowi pada saat Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2012 malah mengenakan baju kotak-kotak. Baju itulah, menurut Fadli menjadi simbol penampilan Jokowi. Sementara pengamatan Kompas, Jokowi justru lebih sering mengenakan baju putih setelah menjabat Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 hingga kemudian terpilih sebagai Presiden ke-7 RI tahun 2014.
Jengah
Jangan lupa, putih juga menjadi representasi mereka yang tidak menggunakan hak suaranya. Belum ada simbol lain yang dapat mewakili sikap mereka selain menyematkan kata putih. “Putih yang kami pilih, tidak sama dengan putih pilihan pendukung pasangan calon 01 atau 02. Kami jengah dengan sistem pemilu, situasi politik yang sedang berkembang saat ini,” kata IDN, pekerja swasta di Jakarta kepada Kompas.
IDN tidak bersedia nama terangnya dicantumkan di ulasan ini karena masalah etika di kantornya. Namun, dia bersedia menjelaskan sikap politiknya seraya wanti-wanti agar identitasnya disamarkan. Menurut IDN, kata putih pada golput tidak bisa diwakilkan oleh seseorang atau kelompok tertentu. Bisa jadi, seseorang golput karena faktor teknis. Persoalan ini, menurut IDN, bisa serius setelah melihat sejumlah persoalan di berbagai tempat.
Merujuk artikel Ariel Heryanto di Majalah Tempo edisi 19 Februari 2019 berjudul Setengah Abad Golput, gerakan ini lahir menjelang Pemilu 1971.
Golput tidak mendorong orang pasif dan menjauh dari pemilu. Ia justru meminta masyarakat aktif datang ke tempat pemungutan suara, lalu mencoblos bagian kertas suara yang putih, bukan gambar salah satu kontestan.
Namun sesuai hitung cepat Litbang Kompas hingga 19 April 2019, tingkat partisipasi pemilih untuk Pemilihan Presiden mencapai 81,79 persen. Sedangkan partisipasi pemilih untuk Pemilihan Legislatif sebesar 77,70 persen.
Bukan tanpa alasan
Perebutan simbol ini bukan tanpa alasan. Shashank Bengali, koresponden Los Angeles Times, menangkap ada perebutan masa Islam. Pandangan ini ditulis dalam artikelnya berjudul “Indonesia’s election focuses on: Who will be more Islamic ? pada 15 April 2019. Dua kandidat, baik kubu 01 maupun 02, sama-sama ingin mendulang suara dari massa umat Islam.
Jika putih mewakili identitas politik umat Islam, maka perebutan simbol itu dapat dipahami. Warna ini begitu penting bagi kedua kubu pada pemilu kali ini. Namun, di luar persoalan politik, warna putih memiliki makna tersendiri.
Pengajar Institut Teknologi Bandung (ITB), Sulasmi Darmaprawira, menilai pilihan seseorang terhadap warna bukan sekadar mengikuti selera. Namun pilihan seseorang pada warna didasarkan pada kesadaran akan kegunaannya. Hal ini tertuang dalam bukunya berjudul Warna, Teori dan Kreatifivitas Penggunanya yang diterbitkan ITB tahun 2002.
Sulasmi mengutip Marian L David dalam buku Design in Dress, warna dinilai memiliki asosiasi dengan pribadi seseorang. Putih, misalnya, diasosiasikan dekat dengan kepribadian yang menyenangkan, penuh harapan, lugu, bersih, spiritual, pemaaf, cinta, dan terang. Wajar jika kemudian putih bagi sebagian politisi dianggap merepresentasikan sifat-sifat baik tersebut.
Penilaian serupa disampaikan M Yamin dalam bukunya 6000 Tahun Sang Merah Putih (Siguntang, tanpa tahun) menyebut putih sebagai perlambang kesucian. Putih dianggap selaras berdampingan dengan warna merah yang dianggap sebagai lambang keberanian. Itulah pesan bendera Indonesia merah dan putih.
Karena sifatnya yang mulia, putih pun menjadi rebutan di pemilu 2019 kali ini. Hingga kemudian sakralisasi warna putih gagal terjadi. Entah setelah pemilu.