Zulnasri Pelopor Madu Kelulut Riau
Di saat teman-temannya mencari penghidupan di kota, Zulnasri (31), memilih berkiprah di desanya, di Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Riau. Ia meyakini, dengan kerja keras dan kesungguhan, hutan adat desanya mampu menyediakan peluang ekonomi buat warga sekaligus mempertahankan secuil ekosistem alam yang tersisa demi generasi masa depan.
Zulnasri kecil masih ingat akan hutan desanya yang luas. Hutan itu begitu perkasa. Tidak banyak orang berani masuk hutan karena binatang buas berkeliaran. Auman harimau masih sering terdengar. Hutan itu milik warga yang disebut Hutan Adat Kenagarian Rumbio. Kenagarian Rumbio merupakan kesatuan adat yang mencakup empat desa, yaitu Rumbio, Koto Tibun, Pulau Sarak dan Padang Mutung di Kecamatan Kampar.
Ketika Zulnasri beranjak remaja, secara perlahan, hutan desa semakin menciut. Rerimbunan kayu besar mulai berganti kelapa sawit dan karet. Hutan adat yang awalnya lebih dari 1.000 hektar, hanya tersisa sekitar 500 hektar.
Berkurangnya areal hutan disebabkan sikap ninik mamak (pemuka adat) yang terbelah. Beberapa pemuka adat secara diam-diam menjual tanah hutan kepada pendatang. Sementara tokoh adat lain bersikukuh mempertahankannya.
“Bapak saya salah satu ninik mamak yang bersikukuh mempertahankan hutan. Saya ingat, sewaktu kecil, orang datang ke rumah membawa uang dalam koper, membujuk bapak agar menjual hutan adat. Bapak menolak. Di depan orang itu bapak mengatakan lebih rela anaknya tidur di bawah pohon pisang daripada mendapat uang dari menjual tanah hutan,” kata Zulnasri dalam perbincangan dengan Kompas di Hutan Adat Rumbio (45 kilometer dari Pekanbaru), pekan kedua April 2019.
Meskipun ayahnya meninggal ketika Zulnasri masih di kelas II SD, benih-benih kecintaan terhadap hutan sudah mengalir di darahnya. Hutan desa adalah tempatnya bermain. Ketika kuliah di Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Uversitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim II, Riau, ia bergabung dengan grup pecinta alam.
Diujung kuliahnya tahun 2012, Zulnasri bertemu Datuk Abu Sami, seorang ninik mamak Rumbio yang merasa prihatin dengan hutan desa. Kayu besar di hutan memang terjaga, namun semakin banyak orang menebang anakan kayu untuk kayu bakar dan berbagai keperluan. Menurut Abu Sami, kalau anak kayu terus diambil, lama kelamaan hutan akan rusak karena tidak ada regenerasi pohon. Abu ingin membentuk wadah penjaga hutan.
Merasa satu visi, Zulnasri bergabung dalam organisasi Sentra Penyuluh Kehutanan Pedesaan (SPKP) Rumbio, yang digagas Abu Sami. Seluruh pengurus inti adalah ninik mamak. Adapun Zulnasri dan belasan temannya yang berusia muda, menjadi pelaksana lapangan. Setelah dibentuk, praktis seluruh aktivitas SPKP dilakukan oleh anak-anak muda.
Bapak saya salah satu ninik mamak yang bersikukuh mempertahankan hutan. Saya ingat, sewaktu kecil, orang datang ke rumah membawa uang dalam koper, membujuk bapak agar menjual hutan adat. Bapak menolak.
Awalnya, kawanan Zulnasri tidak tau mau berbuat apa. Akhirnya mereka sepakat mengumpulkan bibit kayu langka dan bernilai ekonomi seperti kulim, tempui (buah khas lokal), aren dan berbagai pohon lain dari hutan untuk dikembangkan.
Bibit yang sudah dibesarkan, dibagikan kepada penduduk. Namun hanya beberapa orang yang menanam. Warga ternyata lebih suka bertanam karet atau kelapa sawit, daripada tumbuhan hutan. Akhirnya ratusan bibit yang tersisa, ditanam kembali di hutan desa.
Setelah proyek pertama kurang berhasil, Zulnasri dan kawan-kawannya mencari usaha untuk membiayai tugas pokok menjaga hutan. Dinas Kehutanan Kampar membantu berternak lebah madu. Namun usaha itu berantakan, karena habitat hutan desa tidak cocok untuk lebah madu. Kegagalan membuat anggota kelompok Zulnasri semakin berkurang.
Beternak kelulut
Di tengah kebingungan, Zulnasri dan anggota yang bertahan seperti Septian, Rahmat, Firman dan Jafri, mulai melirik lebah kelulut (Trigona) yang banyak bersarang di kayu pepohonan tua, mati atau lapuk di desanya. Kelulut merupakan jenis lebah yang lebih besar dari nyamuk, namun lebih kecil dari lalat. Kelulut tidak menyengat namun menghasilkan madu seperti lebah.
Produksi madu kelulut lebih sedikit daripada lebah biasa. Rasanya manis seperti madu, namun sedikit asam. Menurut Zulnasri, asam itu diyakini sebagai antioksidan dan antikanker. Fungsi itulah yang membuat harganya mahal.
Kala itu belum ada referensi tentang beternak kelulut di Riau. Zulnasri belajar secara otodidak. Mereka mencari sarang kelulut di pohon mati. Potongan kayu (log) yang berisi sarang dijaga utuh. Setelah ditempatkan di lokasi yang diinginkan, di atas log diletakkan miniatur rumah papan berbentuk persegi yang dilobangi bagian atasnya agar lebah pekerja dari log dapat masuk ke ruang buatan. Di ruang buatan, kelulut akan membuat sarang madu berbentuk khas yang terbuat dari propolis.
Ternyata usaha kelulut berjalan lancar, namun Zulnasri bingung pemasarannya. Melalui media sosial, ia menemukan jallur penjualan. Ternyata harga madu kelulut jauh lebih mahal dari madu biasa. Harganya mencapai Rp 500.000 per liter.
Tahun 2017, Zulnasri dan kelompoknya sempat memiliki 400 log kelulut yang ditempatkan di dalam hutan desa. Penghasilan dari madu mencapai belasan juta rupiah per bulan. Pasar madunya sampai ke Jakarta, Malaysia dan Singapura.
Sebagian dari keuntungan penjualan madu disisihkan untuk membuat usaha pembibitan buah-buahan, seperti jambu, mangga, manggis, lengkeng dan matoa . Bibit pohon buah dibagikan gratis. Ternyata sambutan masyarakat sangat bagus. Kini pohon yang disebar sudah berbuah. Dari satu pohon jambu citra, warga dapat memperoleh hasil panen sampai Rp 1 juta.
“Seribu bibit sudah kami sebar kepada warga. Sekarang masih ada 600 bibit siap tanam. Semakin banyak warga menanam bibit buah kami. Panen buah menjadi penghasilan tambahan warga, sementara kami mendapat manfaat dari bunga tanaman sebagai pakan kelulut. Perhatian warga ke hutan sebagai sumber ekonomi menjadi semakin kecil,” kata Zulnasri.
Sejak saat itu, Zulnasri kerap memberi pelatihan berternak lebah madu kelulut di Riau. Madu asam itu pun berkembang ke daerah lain. Beberapa kali Zulnasri dipanggil ke luar Riau, seperti Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera Selatan untuk berbagi ilmu.
Seribu bibit sudah kami sebar kepada warga. Sekarang masih ada 600 bibit siap tanam. Semakin banyak warga menanam bibit buah kami. Panen buah menjadi penghasilan tambahan warga, sementara kami mendapat manfaat dari bunga tanaman sebagai pakan kelulut.
Kiprahnya sebagai penyuluh kehutanan swadaya mendapat apresiasi Pemerintah Provinsi Riau. Pada tahun 2017, ia terpilih sebagai Penyuluh Kehutanan Swadaya Terbaik Riau. Pada tahun itu juga ia masuk nominasi sama di tingkat nasional. Kiprahnya tertahan di lima terbaik se-Nusantara.
Junaidi PNS Penyuluh Riau yang mendapat Kalpataru 2018, menyebutkan Zulnasri sebagai pelopor pengembangan lebah madu kelulut di Riau. Keuletannya mengembangkan kelulut dari nol sampai kemudian menyebar ke seluruh Riau, patut diberi apresiasi.
Pada pertengahan 2018, usaha madu kelulut Zulnasri mendapat cobaan berat. Ratusan sarang madu dirusak beruang madu. Hampir 300 log sarang kelulut hancur berantakan tidak tersisa. Beruang menghancurkan sarang, mengambil madu, memakan telur, larva sampai ratu. Tidak ada yang dapat diselamatkan.
“Kami tidak menyalahkan beruang, karena hutan habitat mereka. Sekarang log kelulut baru, kami pindahkan ke pinggiran desa yang dekat pemukiman warga. Jumlahnya hanya 100-an lagi. Kami masih mencari cara baru menaikkan panen madu tanpa berhadapan dengan beruang,” kata Zulnasri.
Zulnasri masih terus berkiprah. Kelulut dan pembibitan tanaman buahnya terus dikembangkan sembari menjaga hutan. Bahkan sekarang mereka membuat pupuk racikan sendiri, yang siap untuk dibagi gratis kepada warga. Ke depan Zulnasri memiliki impian membangun usaha berbasis kelulut dan tanaman buah-buahan di desanya.
Zulnasri
Lahir : Koto Tibun, Kampar, 14 Januari 1988
Sekolah :
-SDN 022 Padang Mutung tamat tahun 2000
-Pondok Pesantren Alhidayah 2007
-Fakultas Tarbiyah Pendidikan Bahasa Arab, Universitas Islam Negeri Riau (2013)