Olahraga mempunyai peranan penting sebagai sarana diplomasi, perdamaian, dan persatuan. Penyelenggaraan kegiatan multicabang olahraga seperti Olimpiade juga mempunyai dampak signifikan dalam hubungan internasional. Namun, untuk menyelenggarakannya, diperlukan kerangka kerja jangka panjang terkait dengan olahraga dan aspek-aspek lain di luar olahraga.
Deputi Kepala Uni Olahraga Komisi Eropa Marisa Fernandez Esteban di Brussels, Belgia, Rabu (10/4/2019), mengatakan, Uni Eropa menaruh perhatian serius terhadap olahraga sebagai ajang diplomasi. Olahraga, yang berbasis pendidikan dan sosial, dipakai untuk membangun demokrasi, persatuan, perdamaian, dan menjalin hubungan antara Uni Eropa dan negara-negara di luar Uni Eropa.
Ada tiga rencana kerja UE terkait dengan olahraga, yakni meliputi dimensi sosial agar masyarakat lebih aktif dan inklusif; membangun ekonomi; serta menciptakan pemerintahan berintegritas, antidiskriminasi, dan mempromosikan kesetaraan jender. Untuk mewujudkan cita-cita itu, UE membentuk tim khusus yang berfokus pada pembangunan integritas dan keterampilan manusia.
Beberapa isu olahraga yang menjadi fokus adalah doping, pengaturan skor, akses inklusif di bidang olahraga dan pendidikan, kekerasan berbasis jender, dan ketimpangan penghasilan antara atlet perempuan dan laki-laki. Olahraga juga mempunyai peranan penting untuk mengatasi sejumlah masalah di UE, seperti kesehatan, obesitas, dan diskriminasi kelompok masyarakat.
Untuk itu, dibuatlah program rinci dengan dukungan anggaran sebesar 500.000 euro yang dapat dimanfaatkan dalam kurun waktu 2017-2020. Program yang dibuat misalnya pertukaran pelatih dan staf olahraga dari sejumlah lembaga olahraga di UE dengan lembaga lain di wilayah Balkan, Amerika Latin, dan Asia.
Esteban mengakui jumlah anggaran yang tersedia tergolong kecil untuk melaksanakan banyaknya program yang dibuat UE. ”Lembaga kami baru berusia 10 tahun. Setelah 2020, kami berusaha untuk meminta anggaran lebih. Tetapi, ini masih dalam proses,” katanya.
Minimnya anggaran bukan berarti pembinaan olahraga terhambat. Komite Olimpiade Eropa meyakini, untuk membangun olahraga, pemerintah di setiap negara harus bisa membuat fokus kebijakan berdasarkan parameter-parameter yang dibuat secara transparan dan profesional. Parameter kebijakan olahraga itu antara lain berkaitan dengan prestasi dan pembinaan atlet, juga memastikan kebijakan dibuat dengan semangat antidiskriminasi dan kesetaraan jender.
Asian Games
Di Indonesia, olahraga sebagai sarana diplomasi sudah dipakai sejak lama. Pada Asian Games 1962, Presiden Soekarno menggunakan ajang itu untuk menaikkan wibawa Indonesia di panggung dunia.
Olahraga sebagai ajang diplomasi dan persatuan masyarakat kembali terasa di Asian Games 2018. Pelukan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sebagai Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia, adalah bukti olahraga dapat menjadi penyejuk di antara panasnya hawa politik menjelang Pemilihan Presiden 2019.
Kesuksesan Asian Games 2018 kemudian membuat Indonesia antusias menyambut Olimpiade 2032 dengan resmi mencalonkan diri sebagai tuan rumah. Selain Indonesia, India dan Korea Bersatu juga mengajukan diri. Mewujudkan persatuan melalui olahraga, sebagai ajang promosi kebudayaan, pembangunan infrastruktur, dan membuka lapangan kerja membuat Olimpiade diminati.
Sayangnya, berbeda dengan UE, alokasi anggaran untuk pengembangan olahraga di Indonesia masih jauh dari ideal. Bukan hanya terkait dengan besarnya anggaran, melainkan juga kepastian dukungan jangka panjang. Jangankan membuat anggaran berbasis kesetaraan jender dan antidiskriminasi, memastikan gaji atlet dan pelatih tidak terlambat setiap bulannya saja kita masih perlu kerja keras.
Esteban mengatakan, untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, sebaiknya negara penyelenggara tidak hanya fokus pada pembinaan atlet serta pembangunan fasilitas olahraga yang menelan biaya besar.
”Perlu ada perhatian terhadap aspek-aspek lain di luar olahraga, seperti budaya dan pariwisata. Dengan begitu, Olimpiade bisa secara menyeluruh bermanfaat bagi tuan rumah,” katanya.
Aaron Hermann dari International Law and Policy Fellow University of Adelaide, Australia, mengatakan, hal lain yang perlu menjadi perhatian tuan rumah Olimpiade adalah konsep berkelanjutan dalam periode waktu 5-10 tahun setelah penyelenggaraan ajang multicabang olahraga.
”Tuan rumah Olimpiade harus menyiapkan skema proteksi lingkungan dan antisipasi terhadap polusi. Penting juga melakukan pemaparan konsep, kampanye, dan promosi agar ajang ini dapat diterima seluruh lapisan masyarakat,” tuturnya.