Dari mana Tambahan Dukungan Pemilih Jokowi?
Hasil prediksi Hitung Cepat Pemilu Presiden yang menunjukkan keunggulan Presiden Joko Widodo terhadap rival politiknya, Prabowo Subianto, dengan selisih tidak lebih dari 10 persen dapat dimaknai sebagai capaian yang relatif rendah bagi posisinya sebagai petahana. Dikatakan demikian, karena dibandingkan dengan hasil Pemilu 2014 lalu, kali ini ia hanya mampu memperluas jarak perbedaan sekitar tiga persen saja.
Dengan kondisi seperti itu, tampak jelas bahwa pola persaingan dan penguasaan suara pemilih di antara kedua pasangan calon presiden yang sudah berlangsung dalam dua pemilu tersebut tetap berlangsung ketat. Perlawanan Prabowo yang kini berpasangan dengan Sandiaga Uno, sedemikian masif menghadapi petahana.
Tidak kalah menarik, bagaimana Jokowi yang kini berpasangan dengan Ma’ruf Amin dengan segenap strategi penguasaan politik yang dilakukan, berupaya mempertahankan wilayah penguasaannya sekaligus mencoba menaklukkan basis dukungan rival politiknya.
Pola rivalitas penguasaan dukungan politik pemilih di antara kedua sosok calon presiden tersebut berujung pada persoalan evaluatif yang terkait dengan sebaran wilayah-wilayah kemenangan dan wilayah kekalahan dari kedua calon presiden tersebut.
Lebih jauh lagi, dengan menelusuri sumber-sumber tambahan suara dukungan yang terjadi sehingga memunculkan pemenang dalam pemilu kali ini. Kongkretnya, terhadap Jokowi-Amin, misalnya, dalam tekanan agresivitas politik penantangnya, dari mana pasangan ini berhasil meningkatkan dukungan pemilih? Sebaliknya, dari mana pula Prabowo-Sandi berhasil mempertahankan suara dukungan pemilih dari gempuran politik petahana?
Akurasi rujukan
Mencari tahu dari mana sumber tambahan suara dukungan terhadap Jokowi ataupun Prabowo sepenuhnya dapat ditelusuri dengan menggunakan data ataupun informasi dari berbagai hasil pencatatan pemilu. Paling utama, tentu saja dengan merujuk pada data fakta pilihan para pemilih.
Paling presisi informasi demikian diperoleh dengan mengolah data resmi hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait dengan Pemilu Presiden 2019. Sebagai pembanding, digunakan hasil Pemilu Presiden 2014, guna menggambarkan peta perubahan dukungan.
Persoalannya, data KPU Pemilu 2019 berupa perhitungan manual belum tersedia saat ini dan masih memerlukan waktu beberapa minggu ke depan untuk resmi ditetapkan. Sekalipun demikian, saat ini KPU mengeluarkan hasil perhitungan sementara KPU yang dapat diakses dari Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU.
Hasil Situng memang bukan hasil rujukan resmi. Saat tulisan ini dibuat pun, proses perhitungan masih berlanjut dan baru terhimpun sekitar 15 persen dari total suara TPS nasional. Hanya saja, semenjak pertama kalinya hasil Situng ditampilkan hingga kini, sudah tampak sebaran yang proporsional berdasarkan wilayah ataupun provinsi di seluruh Indonesia.
Baca juga: Siapa Unggul di Wilayah Paling Kompetitif
Rujukan data yang paling up to date digunakan dan tanpa mengurangi kadar keakuratannya, menggunakan hasil hitung cepat (quick count). Hitung cepat memang hakikatnya perhitungan terhadap sejumlah sampel TPS dan bukan seluruh TPS di negeri ini.
Akan tetapi, secara teoritis dan berdasar pada pembuktian empirik dalam sejarah pemilu di negeri ini, hitung cepat yang dilakukan oleh lembaga survei mampu menggambarkan realitas pemilu nasional dengan tepat dalam batas ketidakakuratan yang sangat kecil.
Menariknya, baik hasil hitung cepat (yang menggunakan sejumlah sampel TPS) maupun hasil perhitungan sementara KPU (yang menghitung seluruh TPS) sejauh ini relatif tidak jauh berbeda (Grafik 1). Terdapat beberapa perbedaan seperti gambaran Sulawesi secara keseluruhan. Gambaran semacam ini memang belum final, masih sangat sementara. Akan tetapi, informasi yang diperoleh dari kedua hasil perhitungan tersebut sudah cukup saling memvalidasi satu sama lain.
Sekalipun menjadi pijakan utama dalam kajian ini, baik hitung cepat maupun perhitungan sementara KPU, hanya dapat digunakan dalam mencermati proporsi ataupun besaran jumlah suara pemilih yang terkonsentrasi pada masing-masing pasangan calon presiden.
Kemenangan ataupun kekalahan berikut distribusi dukungan pemilih di setiap wilayah sangat akurat digambarkan dalam kedua sumber data tersebut. Namun, data demikian tidak mampu menginformasikan lebih jauh terkait dengan latar belakang sosial, ekonomi, maupun identitas lainnya dari para pemilih.
Guna memperkaya temuan, digunakan pula data dari hasil survei opini publik (pemilih) yang dilakukan sebelum (survei pra pemilu) maupun sesudah pemilu (exit poll). Dengan menggunakan hasil survei opini yang dilakukan sebelum dan setelah pemilu, pergerakan ataupun perubahan karakteristik pemilih berdasarkan latar belakang identitas sosial, ekonomi, maupun pilihan partai politik para pemilih, dapat ditelisik.
Pertanyaan metodologisnya, apakah penggunaan hasil-hasil survei opini yang dilakukan selama ini sejalan dengan hasil pemilu sesungguhnya, atau paling tidak sesuai dengan yang tergambarkan dalam hasil hitung cepat?
Hasil-hasil kedua jenis survei yang dilakukan Litbang Kompas, baik survei pra pemilu dan exit poll dalam pemilu kali ini sudah tervalidasi dengan hasil hitung cepat. Dalam hal ini, hasil prediksi survei opini tidak berbeda secara signifikan dengan hasil hitung cepat.
Pada grafik di atas, tidak banyak perbedaan antara berbagai hasil survei dengan hasil hitung cepat. Oleh karena itu, setiap sumber-sumber data yang digunakan dalam kajian ini sudah dapat diyakinkan mampu menggambarkan realitas yang berlangsung dalam pemilu kali ini. Berdasarkan segenap sumber data inilah berbagai dinamika penguasaan dan perubahan dukungan dilakukan.
Menyempit dan Membesar
Hasil Pemilu Presiden 2019 yang tersimpulkan dalam berbagai hasil hitung cepat menunjukkan keunggulan Jokowi-Amin atas Prabowo-Sandi. Hasil Hitung Cepat Kompas menunjukkan proporsi penguasaan Jokowi-Amin sebesar 54,4 persen, berbanding dengan penguasaan Prabowo-Sandi sebesar 45,6 persen.
Hasil demikian menunjukkan adanya selisih perbedaaan hampir sembilan persen, yang sekaligus menunjukkan adanya perluasan dukungan terhadap Jokowi, jika dibandingkan dengan capaian dalam Pemilu 2014 lalu tatakal ia bersama Jusuf Kalla berhasil menguasai hingga 53,2 persen dukungan pemilih.
Capaian perluasan dukungan Jokowi tentu saja dapat di satu sisi dapat dinilai sebagai suatu keunggulan paripurna, lantaran Jokowi tidak hanya mampu mempertahankan kemenangan dalam rivalitas kedua pemilu, namun ia juga berhasil memperluas basis dukungan pemilih dari lawan politiknya.
Hanya saja, jika dicermati lebih jauh, sebagai petahana kemenangan Jokowi tidak diperoleh dengan mudah. Di balik proporsi kemenangannya secara nasional, terdapat penetrasi masif dari pesaingnya, Prabowo, dalam upaya menguasai wilayah-wilayah pertarungan politik. Sebagai gambaran, pada pemilu kali ini, dari sebelumnya Prabowo hanya menguasai 10 provinsi, kini makin melebar diperkirakan menjadi 14 provinsi. Kendati secara nasional proporsi dukungan Prabowo menyusut, namun ia berhasil memperkuat konsentrasi suara dukungan di wilayah-wilayah yang sebelumnya ia kuasai.
Kondisi yang dialami Jokowi agak berbeda. Secara nasional, ia unggul. Akan tetapi, keunggulannya ditopang bukan oleh perluasan wilayah pertarungan, oleh karena ia berhasil meningkatkan secara maksimal suara para pendukungnya di wilayah-wilayah yang menjadi basis dukungan.
Dengan demikian, sekalipun beberapa wilayah kemenangannya pada Pemilu 2014 lalu kini berhasil dikuasai oleh Prabowo tetapi pada wilayah lainnya, Jokowi berhasil membesarkan konsentrasi penguasaan suara pemilih. Dengan cara inilah ia berhasil menaklukkan Prabowo dengan selisih yang lebih besar dibandingkan dengan Pemilu 2014 lalu.
Bagaimanakah kondisi di atas secara detil tergambarkan?
Pemilahan proporsi dukungan pemilih Jokowi maupun Prabowo secara regional pulau dan membandingkannya dengan hasil Pemilu 2014 akan mampu memotret kondisi perubahan dukungan tersebut.
Khusus pada para pemilih Jokowi (Grafik 3), menunjukkan bahwa pada sebagian wilayah telah terjadi peningkatan konsentrasi dukungan. Pulau Jawa dan kawasan Sunda Kecil yang meliputi Bali, NTT (kecuali NTB), menjadi contoh wilayah kemenangan. Sebaliknya, pada wilayah yang tidak berhasil ia kuasai dalam Pemilu 2014 lalu, seperti Sumatera kini justru semakin membesar jurang kekalahannya.
Terdapat pula wilayah kemenangan dalam Pemilu 2014 lalu yang kian menyusut. Kalimantan, misalnya, sekalipun masih dikuasai namun menyusut konsentrasi dukungannya. Kalimantan Selatan yang pada Pemilu 2014 Jokowi kalah tipis, kini justru semakin melebar. Bahkan, di Sulawesi seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, justru kemenangannya kini diambil alih oleh Prabowo.
Di balik keunggulan dan kekalahannya, wilayah Maluku, Papua, dan Papua Barat tetap menjadi basis pendukung yang tidak berubah. Secara keseluruhan wilayah ini mampu mempertahankan dukungan yang relatif sama, meliputi hampir dua pertiga bagian pemilih.
Dengan perubahan dukungan tersebut, praktis disimpulkan kemenangan Jokowi bersumber dari peningkatan dukungan dari wilayah yang menjadi basis kekuatan dirinya. Kawasan Pulau Jawa, Bali, NTT menjadi paling terkonsentrasi.
Secara khusus, menarik dicermati pada apa yang terjadi di Pulau Jawa. Jika pada Pemilu 2014 lalu Jokowi mampu menguasai 51,9 persen pemilih, kali ini melonjak hingga 57,7 persen. Jika dicermati, pada wilayah yang menjadi proporsi terbesar pemilih nasional ini (hampir 60 persen pemilih nasional) peningkatan dukungan disebabkan oleh wilayah yang memang menjadi kantong suara Jokowi sejak Pemilu 2014 lalu.
Pada wilayah kemenangan Pemilu 2014 lalu, besaran kemenangan Jokowi semakin terkonsentrasi. Para pemilih di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur menjadi semakin terkonsentrasi pada Jokowi ketimbang Prabowo.
Gambaran paling mencolok terjadi di Jawa Tengah. Suara dukungan pemilih terhadap Jokowi sedikitnya mencapai tiga perempat bagian dari total suara pemilih di sana. Padahal pada pemilu sebelumnya, ia mampu menguasai hingga dua pertiga suara dan saat itu menjadikan Jawa Tengah sebagai lumbung suara terbesar. Membandingkan dengan capaiannya saat ini, artinya Jokowi-Amin mampu meningkatkan hingga 10 persen suara dukungan di provinsi ini.
Fenomena yang tidak berbeda juga terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika pada Pemilu 2014 lalu ia berhasil menguasai 55,8 persen pemilih, kini melonjak 15 persen, mencapai hingga 71,2 persen. Pada kedua wilayah tersebut, Jawa Tengah maupun DI Yogyakarta tampaknya mencatatkan sejarah pemilu pasca 1999, yang berhasil mengkonsentrasikan pada satu pasangan pilihan hingga lebih di 70 persen.
Selain Jawa Tengah dan DIY, peningkatan dukungan riil juga terjadi di Jawa Timur. Pada provinsi nomer dua terbanyak pemilihnya itu, Jokowi-Amin diperkirakan meraih hingga 64,9 persen dukungan, atau sedikitnya meningkat 10 persen dibandingkan Pemilu 2014 lalu.
Pada wilayah kemenangan Jokowi di Pulau Jawa lainnya, seperti DKI Jakarta, tampak kurang signifikan perbedaannya. Pada wilayah pusat pemerintahan ini, dukungan terhadap Jokowi tidak berubah. Jika pun terjadi perubahan, akibat suara dukungan dari para pemilih luar negeri yang dalam pencatatannya masuk dalam DKI, tampaknya hanya mampu meningkatkan proporsi dukungan yang tidak sebesar lonjakan Jawa Tengah, DIY, maupun Jawa Timur.
adanya selisih perbedaaan hampir sembilan persen, menunjukkan adanya perluasan dukungan terhadap Jokowi, jika dibandingkan dengan capaian dalam Pemilu 2014
Justru yang menjadi kegagalan Jokowi di Pulau Jawa terkait dengan ketidakmampuannya menguasai Jawa Barat dan Banten. Berbagai upaya yang dilakukan dalam kapasitasnya sebagai presiden serta upaya yang dilakukan semasa kampanye pemilu tampaknya tidak mampu membalikkan pilihan pemilih untuk berpaling pada dirinya.
Di Jawa Barat, sebagai lumbung terbesar suara pemilih nasional (mencapai sekitar 17 persen suara nasional), proporsi dukungan terhadap Jokowi relatif tidak meningkat dalam proporsi yang masih sama dengan pemilu 2014 lalu. Bahkan di Banten, justru tampak kecenderungan adanya penurunan.
Tambahan dukungan yang signifikan di Pulau Jawa menjadi semakin diperkuat oleh wilayah-wilayah yang menjadi kantong dukungan Jokowi selama ini. Paling tinggi terjadi di Bali. Hasil hitung cepat menunjukkan dari tiap 10 pemilih di Bali, 9 di antaranya memilih Jokowi-Amin.
Konsentrasi semacam ini menjadi yang tertinggi dari seluruh wilayah pendukung Jokowi lainnya. Selain Bali, Provinsi NTT dan Sulawesi Utara juga menjadi yang terbanyak. Pada kedua provinsi tersebut tidak kurang dari 80 persen pemilih menjadi pendukung Jokowi. Semua besaran dukungan di berbagai wilayah pendukung Jokowi tampak meningkat signifikan jika dibandingkan dengan hasil Pemilu 2014 lalu.
Dengan pemaparan penguasaan dukungan yang tampak dinamis di masing-masing wilayah tersebut, tidak heran jika Jokowi mampu meningkatkan proporsi dukungan dan mengungguli rivalnya, Prabowo. Menjadi persoalan selanjutnya, justru pada pasangan Prabowo-Sandi.
Permasalahannya, jika pada pemilu kali ini ia berhasil memperluas wilayah penguasaannya menjadi sekitar 14 provinsi, namun secara nasional justru proporsi para pemilih pasangan Prabowo-Sandi menyusut dibandingkan pemilu lalu. Bagaimana kondisi demikian dapat terjadi? (Bersambung) (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)