Pemerintah Sulawesi Utara menyiapkan anggaran daerah sebesar Rp 2 miliar untuk memberi jaminan ketenagakerjaan bagi 10.000 pengemudi angkutan umum kota, antarkota, dan antarprovinsi di 15 kabupaten/kota. Kebijakan ini demi mencapai target penjaminan 75 persen tenaga kerja di Sulut hingga 2021.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pemerintah Sulawesi Utara menyiapkan anggaran sebesar Rp 2 miliar guna memberi jaminan ketenagakerjaan bagi 10.000 pengemudi angkutan umum kota, antarkota, dan antarprovinsi di 15 kabupaten/kota. Kebijakan ini demi mencapai target penjaminan 75 persen tenaga kerja di Sulut hingga 2021.
Bertepatan dengan Hari Buruh Internasional, Rabu (1/5/2019), Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw dan Kepala BPJS Ketenagakerjaan Sulut Tri Chandra Kartika menandatangani nota kesepahaman (MoU) pelaksanaan program tersebut. Para sopir angkutan nantinya dapat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan tanpa membayar iuran.
”Ini adalah inovasi Pak Gubernur (Olly Dondokambey) di bidang kesejahteraan sosial. Program ini satu-satunya di Indonesia,” kata Steven.
Sopir angkutan dalam kota, antarkota, dan antarprovinsi tergolong pekerja dengan risiko tinggi. Jaminan ketenagakerjaan dapat membantu mereka mengatur keuangannya lebih baik.
Sopir angkutan dalam kota, antarkota, dan antarprovinsi tergolong pekerja dengan risiko tinggi. Untuk itu, lanjut Steven, jaminan ketenagakerjaan dapat membantu mereka mengatur keuangannya lebih baik. Para sopir akan mendapatkan jaminan kematian sebesar Rp 24 juta dan jaminan kecelakaan kerja sebesar Rp 50 juta.
Tahun lalu, Pemprov Sulut juga mengadakan program serupa untuk 35.000 tenaga kerja keagamaan dengan dana sekitar Rp 6,8 miliar. ”Mudah-mudahan, inovasi di Sulut bisa menjamin seluruh penduduk Sulut yang berjumlah 2,6 juta jiwa,” kata Steven.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Sulut Erny Tumundo mengatakan, pemprov akan bekerja sama dengan asosiasi angkutan di seluruh provinsi untuk mendata jumlah pengemudi. Kemungkinan, jaminan akan diberikan kepada lebih dari 10.000 orang.
Erny mencontohkan, saat Hari Buruh 2018, pemprov awalnya hanya menargetkan 35.000 pekerja agama. Namun, setelah pendataan, akhirnya bisa menjamin 76.000 orang. ”Jika bisa dapat data lengkap, akan kami verifikasi dulu. Mungkin saja jumlah sopir angkutan yang dijaminbisa bertambah dari target,” katanya.
Jika bisa dapat data lengkap, akan kami verifikasi dulu. Mungkin saja jumlah sopir angkutan yang dijaminbisa bertambah dari target.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat lebih kurang 1,175 juta tenaga kerja di Sulut. Erny mengatakan, hingga April 2019 cakupan jaminan BPJS Ketenagakerjaan telah mencapai 60 persen atau 705.500 orang. Jumlah ini hampir setara dengan tingkat kepesertaan nasional selama 2018, yaitu 63 persen atau 50,6 juta dari total 80 juta orang (Kompas, 27 Februari 2019).
Adapun 57 persen atau 669.750 pekerja di Sulut tergolong tenaga kerja informal. Erny mengatakan, sebagian dari kelompok ini, yaitu sekitar 100.000 unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Sulut, sudah menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan secara mandiri.
”Jadi, jika kami bisa mencapai 75 persen kepesertaan sesuai roadmap sampai 2021, itu sudah sangat bagus. Pemprov memang bertekad melindungi semua warga di Sulut, tetapi kami juga berharap pemerintah kabupaten/kota bisa melakukan hal serupa sehingga kami hanya perlu menarget masyarakat di sektor tertentu yang belum tersentuh,” kata Erny.
Adapun dana jaminan bagi 10.000 pengemudi angkutan tersebut akan diambil dari dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) maupun APBD Perubahan. Hanya saja, menurut Erny, dana akan lebih mudah turun jika melalui CSR. Sebab, realisasi APBD Perubahan paling cepat sekitar September atau Oktober tahun ini.
Sementara itu, Tri Chandra mengatakan, pihaknya terus berupaya menyosialisasikan program ini. Tim BPJS Ketenagakerjaan juga turun ke masyarakat untuk sosialisasi setiap Sabtu dan Minggu. ”Kami enggak ada hari libur. Setiap ada kesempatan, dipanggil ke gereja atau masjid, kami selalu gunakan untuk sosialisasi,” katanya.
Apresiasi
Dihubungi dari Manado, Koordinator Advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Watch Timboel Siregar mengapresiasi kebijakan Pemprov Sulut. Menurut dia, kebijakan ini harus diterapkan pemerintah daerah lain demi memenuhi hak seluruh pekerja, termasuk di sektor informal seperti sopir angkot.
”Jika mengalami kecelakaan kerja, mereka tidak hanya disembuhkan secara kuratif dengan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sampai sembuh. Dengan demikian, rumah sakit bisa untung karena tarif yang berlaku adalah tarif yang ditetapkan sendiri, bukan tarif yang ditetapkan Kementerian Kesehatan,” kata Timboel.
Tenaga kerja yang mengalami kecelakaan akan mendapatkan santunan selama tidak bekerja sebesar 100 persen basis upah, yaitu Rp 1 juta, selama enam bulan. Ini bisa menjaga daya beli keluarga pekerja. Jika tenaga kerja meninggal, kkehidupan keluarga dan ahli waris pun terjamin dengan santunan 48 kali basis upah.
Di samping itu, program ini juga dinilai menguntungkan negara. Defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam BPJS Kesehatan tidak akan melebar. Sebab, tenaga kerja bisa ditanggung dana JKK dalam BPJS Ketenagakerjaan. Obligasi pemerintah juga dapat dibeli dengan dana iuran BPJS Ketenagakerjaan yang ditopang APBD.
”JKK dan JKM harus menjadi program strategis nasional supaya seluruh pemda bisa ikut menerapkan. Program ini bisa menjadi penyemangat pemerintah pusat untuk menerapkan sistem PBI (penerima bantuan iuran) untuk BPJS Ketenagakerjaan. Dengan demikian, lebih banyak tenaga kerja miskin yang bisa dijamin,” kata Timboel.